BAGIAN 1
MENGANALISIS KONSEP USHUL FIQH,TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP
A. Pengertian Ushul
Fiqih
Kata “fiqh (ﻪﻘﻔﻟﺍ)” secara etimologi berarti
“paham yang mendalam”. Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh
berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu
tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari
dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua
bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua
tentang dalil- dalil
tafsili.
Ulama Syafi’iyah
mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu tentang dalil-dalil hukum syara’
secara umum, metode penetapan hukum
dari dalil dan kriteria seorang mujtahid.
Sedangkan ulama Hanafiyah,
Malikiyyah dan Hanabilah mendefinisikan ushul fiqh adalah
kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum dari dalil tafsili
(terperinci), dengan kata lain ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah
tersebut (Haroen, 1996 : 8).
Dari definisi
di atas dapat
dipahami bahwa ushul
fiqh merupakan seperangkat ilmu
yang membahas secara
komprehensif berkaitan dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan
dengan dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid. Pemahaman
terhadap ushul fiqh akan membuat seseorang mampu memahami dalil-dalil hukum
syara’ yang bersifat asl (primer) maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum
Islam adalah berupa Alquran dan Hadist, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’,
qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.
Tidak sebatas itu,
seseorang juga akan memahami pengertian dari dalil maupun sumber hukum, serta
hubungan antara dalil, seperti hubungan Alquran dengan Hadist, hubungan ijma’
dengan nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan
hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis dalil dan dalil
mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling bertentangan.
Jadi dapat
disimpulkan bahwa Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum
syara’ secara global dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya.
Dari definisi di
atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis
besarnya ada tiga (Abdul, 1972 : 7) :
a. Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.
b. Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari
sumbernya.
c. Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua
permasalahannya.
a. Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun
yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.
b. Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang
melakukan ijtihad.
c. Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat
dengan ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan
pengomromian (Al-Jam’u’wa At-taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran
salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)
d. Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam-
macamnya,baik yang bersifat
tuntutan,larangan,pilihan atau
keringanan (rukhsah).Juga di
bahas tentang hukum,hakim,mahkum alaih
(orang di bebani) dan lain-lain.
e. Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan
cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al-
Juhaili:23)
1. Pembahasan Tentang Dalil.
Pembahasan tentang
dalil dalam Ilmu Usul Fiqh adalah secara global. Disini dibahas tentang
macam-macam dalil, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu,
kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu
per-satu dalil bagi setiap perbuatan.
olah pikir
yang sehat, rasional
dan hasil dari
penelitian hukum yang mendalam. Dalil ini disebut sebagai
dalil al-istidlaly. Misalnya, al-Qiyas, al- Istihasan, al-Maslahah dan lainnya.
2. Pembahasan Tentang Hukum.
Pembahasan tentang
hukum dalam Ilmu Usul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci
hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hokum ini, meliputi pembahasan
tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya.
Pihak yang
menetapkan hukum, sebagai sang Legislator Utama (alhakim), orang yang dibebani
dengan Perintah Hukum, atau Subyek Hukum (al-mahkum 'alaih) dan
syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan
status perbuatan-perbuatan yang
dikenakan hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.
Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan sebagai jalan/media untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai macammacam kaidah kebahasaan, misalnya: kaidah fi‘il amar, fi‘il nahy, nakirah dan ma‘rifah, Am dan khas, Mutlaq dan Muqayyad dan kehujjahan / argumentasinya, dan kaidah-kaidah kemaslahatan umum dan tujuan dasar hukum Islam dalam mengamalkannya. Misalnya konsep Maqasid al-Shariah dan Penyelesaian Ta’arud al-adillah.
Dalam pembahasan
ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syaratsyarat bagi orang yang boleh
melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan mujtahid dilihat dari kacamata ketentuan
ijtihad dan hukum melakukan ijtihad dan metodologi yang benar bagi mujtahid.
Objek Ushul Fiqh
berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala objek
ushul fiqh mengenai
metdologi penetapan hukum-hukum tersebut. Kedua-dua
disiplin ilmu tersebut
sama –sama membahas
dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda. Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk
menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia.
Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi
argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut. Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad. Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:
Ada beberapa
definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut
Ali Hasaballah, Al Hukm adalah (Abu, 1958 : 4) :
Artinya: Firman
Allah yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf
yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu)
ataupun perkondisian tertentu.
Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:
- Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah.
- Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang sudah dewasa (baliqh) meliputi seluruh gerak gerinya, pembicaraan ataupun niat.
- Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas bermakna perintah untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh. Manakala takhyir bermakna adanya keizinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
- Berisi perkondisian sesuatu. Yaitu kondisi hukum terhadap sesuatu itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.
2. Hakim (Pembuat
Hukum)
4. Mahkum alaih
(Subjek Hukum)
C. Tujuan
Mempelajari Ushul Fiqih
Pengetahuan tentang
dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak
syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh
menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sarana untuk
mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan di
amalkan sebaik-baiknya.
Dengan demikian,
yang menjadi tujuan
yang sebenarnya ialah mempedomani dan mengamalkan
hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.
Secara sistematis,
para ulama ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain:
Dengan menggunakan
analogi ushul fiqh sebagai bagian dari proses produksi, sulit
membayangkan suatu barang/produk
dapat dihasilkan, tanpa adanya alat/ mesin produksi yang
menghasilkan suatu produk, dimana ushul fiqh berperan sebagai mesin produksi
tersebut. Karena itu, secara metodologis dapat dikatakan, seseorang baru dapat
dikatakan sebagai ahli hukum islam/ulama fiqh, apabila menguasai ilmu ushul
fiqh. Sebaliknya, orang yang hanya mengetahui ilmu fiqh tanpa menguasai ilmu
ushul fiqh, dapat dengan mudah keliru dan salah dalam menerapkan pengetahuannya
pada kasus-kasus hukum yang dihadapkan kepadanya. Sebab, pengetahuan fiqhnya
itu hanya berdasarkan hafalan saja, tanpa landasan yang kokoh dan pemahaman
yang mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum islam.
Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan, tujuan utama mempelajari ushul fiqh ialah, untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh pada dalil-dalil syara’, baik Alqur’an maupun sunnah sehingga menghasilkan hukumhukum syara’
Keberhasilan seorang
ulama yang menerapkan
ilmu ushul fiqh
untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ itu sendiri mengandung tiga
kemungkinan sebagai berikut.
Kemungkinan pertama,
hukum-hukum yang dihasilkan itu pada hakikatnya merupakan pengulangan dari apa
yang telah dihasilkan para ulama mujtahid terdahulu. Dalam hal ini, penerapan
ilmu ushul fiqh yang dilaksanakan mengandung makna, memahami cara-cara
menemukan hukum melalui ushul fiqh yang dipraktikan para ulama mujtahid yang
lalu.
Kemungkinan kedua,
dengan menerapkan ilmu ushul fiqh, dapat menghasilkan hukum-hukum yang berbeda
dengan apa yang ditemukan ulama terdahulu. Kemungkinan ini dapat terjadi,
disebabkan adanya perbedaan waktu atau tempat atau keadaan dari peristiwa hukum
yang terjadi pada masa ulama yang dahulu dengan waktu atau tempat atau keadaan
yang dialami sekarang ini. Dengan demikian, meskipun secara sepintas terlihat
bahwa peristiwanya sama, tetapi hukum yang dihasilkan dapat berbeda.
Kemungkinan ketiga, hukum-hukum yang dihasilkan itu sama sekali baru, dan belum pernah dihasilkan oleh para mujtahid dahulu. Dalam konteks ini, ushul fiqh digunakan untuk menjawab persoalan hukum atas peristiwa-peristiwa yang baru muncul dewasa ini, di mana pada masa lalu sama sekali belum pernah terjadi peristiwanya, sehingga terhadap peristiwa itu tidak ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh warisan para ulama sebelumnya. Misalnya, hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan bidang kedokteran, ekonomi, dan politik.
D. Ruang Lingkup
Ushul Fiqih
- Sumber hukum islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati (seperti kehujjahan AL-Quran dan Sunah), maupun yang diperselisihksn (seperti kehujjahan istihsan dan maslahah al-mursalah).
- Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil), tarikh (penguatan salah satu dari dalil yang bertentangan), nash atau tasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
- Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun yang berkaitan dengan sebab syarat, mani,’, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum ‘alaih, ketetapan hokum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
- Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dan cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadis).
Dalil kulli ialah
dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu seperti
amar,,nahi, ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk kedalamnya
beberapa macam, seperti wajib, haram,
sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena kedalamnya dapat
dimasukkan
berbagai perbuatan yang wajib,umpamanya,wajib memenuhi janji, wajib mengadakan saksi dalam perkawinan. Haram adalah hukum kulli yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti haram berbuat zina, haram menuduh berbuat zina,haram mencuri, haram membunuh, dan sebagainya.
Ahli ushul tidak
membahas dalil juz’i ,namun yang mereka
bahas adalah dalil dan hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat
diterapkan oleh para fuqaha pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak
membahas dalil dan hukum kulli, namun
yang mereka bahas adalah dalil dan hukum
juz’i .
Rahman Dahlan, Abd. Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH. 2010.
Syafe’i, Rachmat . Ilmu Ushul Fiqih Cet.3. Bandung:CV.Pustaka Setia..2007. Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. cet.3. Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi. 2009.