Minggu, 04 Juli 2021

MENGANALISIS KONSEP USHUL FIQH,TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

 

BAGIAN 1

MENGANALISIS KONSEP USHUL FIQH,TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP


A. Pengertian Ushul Fiqih

 Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul (ﻝﻮﺻﺃ)” dan kata “fiqh (ﻪﻘﻔﻟﺍ)”. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal (ﻞﺻﻷﺍ)” secara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”.

Kata “fiqh (ﻪﻘﻔﻟﺍ)” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”. Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’  yang bersifat amali  dan kedua  tentang dalil- dalil tafsili.

Ulama Syafi’iyah mendefinisikan usul fiqh sebagai ilmu tentang dalil-dalil hukum syara’ secara  umum, metode penetapan hukum dari  dalil  dan kriteria seorang  mujtahid.  Sedangkan  ulama  Hanafiyah,  Malikiyyah  dan  Hanabilah mendefinisikan ushul fiqh adalah kaidah-kaidah yang digunakan untuk mengistinbatkan hukum dari dalil tafsili (terperinci), dengan kata lain ushul fiqh adalah ilmu tentang kaidah-kaidah tersebut (Haroen, 1996 : 8).

Dari   definisi   di   atas   dapat   dipahami   bahwa   ushul   fiqh   merupakan seperangkat   ilmu   yang   membahas   secara   komprehensif   berkaitan   dengan penetapan hukum Islam, baik berkaitan dengan dalil, metode istinbath maupun persyaratan seorang mujtahid. Pemahaman terhadap ushul fiqh akan membuat seseorang mampu memahami dalil-dalil hukum syara’ yang bersifat asl (primer) maupun furu’ (sekunder). Dalil primer hukum Islam adalah berupa Alquran dan Hadist, sedangkan dalil sekunder adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah dan lain sebagainya.

Tidak sebatas itu, seseorang juga akan memahami pengertian dari dalil maupun sumber hukum, serta hubungan antara dalil, seperti hubungan Alquran dengan Hadist, hubungan ijma’ dengan nash, hubungan qiyas dengan nash dan seterusnya. Berkaitan dengan hubungan dalil cukup penting diketahui, guna memahami hirarkis dalil dan dalil mana yang harus lebih diutamakan saat dalil saling bertentangan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa Ushul Fiqih yaitu ilmu pengetahuan yang objeknya dalil hukum syara’ secara global dengan seluk beluknya dan metode pengaliannya.

 B. Objek Kajian Ushul Fiqih

Dari definisi di atas,terlihat jelas bahwa yang menjadi objek kajian ushul fiqih secara garis besarnya ada tiga (Abdul, 1972 : 7) :

a.   Sumber hukum dengan semua seluk beluknya.

b.   Metode pendaya gunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya.

c.    Persyaratan orang yang berwewenang melakukan istinbath dengan semua permasalahannya.

 Sementara itu,Muhammad Al-Juhaili merinci objek kajian ushul fiqih sebagai berikut:

a.   Sumber-sumber hukum syara’baik yang di sepakati seperti Al-Qur’an dan sunah,maupun yang di perselisihkan,seperti istihsan dan maslahah mursalah.

b.   Pembahasan tentang ijtihad, yakni syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukan ijtihad.

c.    Mencarikan jalan keluar dari dua dalil yang bertentangan secara zahir,ayat dengan ayat atau sunah dengan sunah ,dan lain-lain baik dengan jalan pengomromian (Al-Jam’u’wa At-taufiq).meguatkan salah satu (tarjih),pengguguran salah satu atau kedua dalil yang bertentangan (nasakh/tatsaqut Ad-dalilain)

d.   Pembahasan hukum syara’yang meliputi syarat-syarat dan macam- macamnya,baik  yang  bersifat  tuntutan,larangan,pilihan atau  keringanan (rukhsah).Juga di  bahas tentang hukum,hakim,mahkum alaih  (orang di bebani) dan lain-lain.

e.   Pembahasan kaidah-kaidah yang akan di gunakan dalam mengistinbath hukum dan cara menggunakannya. (Al-Ghazali :7,Al-Amidi, 1:9,Al- Juhaili:23)

 Sedangkan mengenai kandungan dari objek pembahasan Ilmu Ushul Fiqh itu meliputi :

1.      Pembahasan Tentang Dalil.

Pembahasan tentang dalil dalam Ilmu Usul Fiqh adalah secara global. Disini dibahas tentang macam-macam dalil, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak dibahas satu per-satu dalil bagi setiap perbuatan.

 Dalam konteks ilmu usul fiqh, maka kategori dalil dapat berupa dalil yang berupa nash-nash shara‘ yang disebut dalil alistinbaty; dalil ini dari teks ayat al-Quran, teks Hadis, dan Ijma’; dan dalil-dalil yang terbentuk dari

olah  pikir  yang  sehat,  rasional  dan  hasil  dari  penelitian  hukum  yang mendalam. Dalil ini disebut sebagai dalil al-istidlaly. Misalnya, al-Qiyas, al- Istihasan, al-Maslahah dan lainnya.

2.      Pembahasan Tentang Hukum.

Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Usul Fiqh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hokum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya.

Pihak yang menetapkan hukum, sebagai sang Legislator Utama (alhakim), orang yang dibebani dengan Perintah Hukum, atau Subyek Hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan  macam-macamnya  dan  status  perbuatan-perbuatan  yang  dikenakan hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya.

 3.      Pembahasan Tentang Kaidah.

Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan sebagai jalan/media untuk   memperoleh   hukum   dari   dalil-dalilnya,   antara   lain   mengenai macammacam kaidah kebahasaan, misalnya: kaidah fi‘il amar, fi‘il nahy, nakirah dan ma‘rifah, Am dan khas, Mutlaq dan Muqayyad dan kehujjahan / argumentasinya, dan kaidah-kaidah kemaslahatan umum dan tujuan dasar hukum Islam dalam mengamalkannya. Misalnya konsep Maqasid al-Shariah dan Penyelesaian Ta’arud al-adillah.

 4.      Pembahasan Tentang Ijtihad.

Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syaratsyarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan mujtahid dilihat dari kacamata ketentuan ijtihad dan hukum melakukan ijtihad dan metodologi yang benar bagi mujtahid.

Objek Ushul Fiqh berbeda dengan Fiqh. Objek fiqh adalah hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia beserta dalil-dalilnya yang terinci. Manakala  objek  ushul   fiqh  mengenai  metdologi  penetapan  hukum-hukum tersebut.  Kedua-dua  disiplin  ilmu  tersebut  sama  –sama  membahas  dalil-dalil syara’ akan tetapi tinjauannya berbeda.  Fiqh membahas dalil-dalil tersebut untuk menetapkan hukum-hukum cabang yang berhubungan dengan perbuatan manusia. Sedangkan ushul fiqh meninjau dari segi penetapan hukum, klasifikasi

argumentasi serta siatuasi dan kondisi yang melatar belakangi dalil-dali tersebut. Jadi objek pembahasan ushul fiqh bermuara pada hukum syara’ ditinjau dari segi hakikatnya, kriteria, dan macam-macamnya. Hakim (Allah) dari segi dalil-dali yang menetapkan hukum, mahkum ‘alaih (orang yang dibebani hukum) dan cara untuk menggali hukum yakni dengan berijtihad. Ada beberapa peristilahan mendasar yang perlu di ketahui dalam ilmu ushul fiqh ini:

  1. Hukum Syar’i

 Di dalam bahasa arab arti lafaz al hukm adalah menetapkan sesuatu di atas sesuatu  (….)  atau  dengan  kata lain  memberi  nilai  terhadap  sesuatu.  (Alyasa’ Abubakar: Ushul Fiqh I). Seperti ketika kita melihat sebuah buku lalu kita mengatakan “buku itu tebal” maka berarti kita telah memberi hukum (menetapkan atau memberi nilai) tebal kepada buku tersebut.

Ada beberapa definisi secara istilah yang dikemukakan oleh para ulama tentang hukum. Menurut Ali Hasaballah, Al Hukm adalah (Abu, 1958 : 4) :

Artinya:    Firman  Allah  yang  berhubungan  dengan  perbuatan  mukallaf  yang berisi perintah, keizinan (melakukan atau meninggalkan sesuatu) ataupun perkondisian tertentu.

Dari definisi diatas ada empat unsur yang terkandung dalam pengertian hukum:

  • Firman Allah : Yaitu yang berwenang membuat hukum adalah Allah.
  • Secara otomatis bersumberkan kepada Al Qur’an, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  • Perbuatan Mukallaf, adalah perbuatan  yang dilakukan oleh orang yang sudah  dewasa  (baliqh)  meliputi  seluruh  gerak  gerinya,  pembicaraan ataupun niat.
  • Berisi Perintah (larangan) dan keizinan memilih. Iqtidha’ dalam definisi diatas   bermakna   perintah   untuk   mengerjakan   atau   meninggalkan pekerjaan. Begitu juga berlaku mutlak atau hanya sebatas anjuran. Dari sini lahirlah apa yang kita kenal pekerjaan wajib, mandub (sunat), haram, makruh.  Manakala  takhyir  bermakna  adanya  keizinan  untuk  memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Dengan kata lain kedua pekerjaan tersebut sama saja dikerjakan atau tidak dikerjakan. Dalam bahasa arab dikenal dengan mubah sedangkan keizinannya dinamakan ibahah. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum taklifi.
  • Berisi  perkondisian  sesuatu.  Yaitu  kondisi  hukum  terhadap  sesuatu  itu sangat tergantung oleh sebab, syarat atau mani’ (larangan). Artinya   ada satu kondisi yang harus dipenuhi sebelum pekerjaan dilakukan oleh seseorang. Unsur ketiga ini nantinya dikenal dengan hukum wadh’i.

2. Hakim (Pembuat Hukum)

 Pengertian hukum menurut ulama ushul adalah Firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, ini mengisyaratkan bahwa alHakim adalah Allah.  Para ulama telah sepakat bahkan seluruh umat Islam bahwa al Hakim adalah Allah SWT dan tidak ada syari’at (undang-undang) yang sah melainkan dari Allah. Al Qur’an telah mengisyaratkan hal ini dengan firman Allah yang artinya: Hak menetapkan hukum itu hanyalah milik Allah (al An’am: 57) (Abu, 1958 : 5).

 3. Mahkum Fih (objek hukum)

 Mahkum fih sering juga disebut mahkum bih ialah:  objek hukum syara’ atau perkara-perkara yang berhubungan dengannya.   Objek hukum yang   menjadi pembahasan ulama ushul hanyalah terbatas pada perbuatan orang-orang mukallaf.  Ia  tidak  membahas  hukum  wadh’i  (perkondisian  )  yang  berasal bukan dari perbuatan manusia. Seperti bergesernya matahari dari cakrawala dan datangnya awal bulan. Sehingga dapat di tarik kesimpulan bahwa mahkum fih: Perbuatan orang mukallaf yang menjadi objek hukum syara’, baik berupa perintah, larangan maupun kebolehan.

4. Mahkum alaih (Subjek Hukum)

 Mahkum alaih adalah   subjek hukum yaitu mukallaf yang melakukan perbuatan-perbuatan taklif.   Jika mahkum fih berbicara mengenai perbuatan mukallaf maka  mahkum  alaih  berbicara mengenai  orangnya,  karena  dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima atau ditolak.

 

C. Tujuan Mempelajari Ushul Fiqih

 Para ulama ushul Fiqh menyimpulkan bahwa tujuan utama ushul iqh ialah mengetahui dalil-dalil syara’, yang menyangkut persoalan ‘aqidah, ibadah, mu’amalah, ‘uqubah, dan akhlak.

Pengetahuan tentang dalil-dalil tersebut pada gilirannya dapat diamalkan, sesuai dengan kehendak syari’ (Allah SWT dan Rasul-Nya). Oleh sebab itu, para ulama ushul fiqh menyatakan bahwa ushul fiqh bukan merupakan “tujuan”, melainkan sarana untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan di amalkan sebaik-baiknya.

Dengan    demikian,    yang    menjadi    tujuan    yang    sebenarnya    ialah mempedomani dan mengamalkan hukum-hukum Allah yang diperoleh melalui kaidah-kaidah ushul fiqh tersebut.

Secara sistematis, para ulama ushul fiqh mengemukakan kegunaan ilmu ushul fiqh, yaitu antara lain: 1)   Mengetahui kaidah-kaidah dan  cara-cara  yang digunakan mujtahid dalam memperoleh hukum melalui metode ijtihad yang mereka susun.2)   Memberikan gambaran mengenai syarat-syarat yang harus dimiliki seorang mujtahid, sehingga ia dengan tepat dapat menggali hukum-hukum syara’ dari nash. 3)   Menentukan  hukum  melalui  berbagai  metode  yang  dikembangkan  para mujtahid 4)   Memelihara agama dari penyalah gunaan dalil 5)   Menyusun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan. 6)   Mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu pendapat sejalan  dengan  dalil yang digunakan dalam berijtihad.

Dengan menggunakan analogi ushul fiqh sebagai bagian dari proses produksi,  sulit  membayangkan  suatu  barang/produk  dapat  dihasilkan,  tanpa adanya alat/ mesin produksi yang menghasilkan suatu produk, dimana ushul fiqh berperan sebagai mesin produksi tersebut. Karena itu, secara metodologis dapat dikatakan, seseorang baru dapat dikatakan sebagai ahli hukum islam/ulama fiqh, apabila menguasai ilmu ushul fiqh. Sebaliknya, orang yang hanya mengetahui ilmu fiqh tanpa menguasai ilmu ushul fiqh, dapat dengan mudah keliru dan salah dalam menerapkan pengetahuannya pada kasus-kasus hukum yang dihadapkan kepadanya. Sebab, pengetahuan fiqhnya itu hanya berdasarkan hafalan saja, tanpa landasan yang kokoh dan pemahaman yang mendalam terhadap prinsip-prinsip hukum islam.

Berdasarkan uraian di atas, secara singkat dapat dikatakan, tujuan utama mempelajari ushul fiqh ialah, untuk menerapkan kaidah-kaidah ushul fiqh pada dalil-dalil   syara’,   baik   Alqur’an   maupun   sunnah   sehingga   menghasilkan hukumhukum syara’

Keberhasilan  seorang  ulama  yang  menerapkan  ilmu  ushul  fiqh  untuk menghasilkan hukum-hukum syara’ itu sendiri mengandung tiga kemungkinan sebagai berikut.

Kemungkinan pertama, hukum-hukum yang dihasilkan itu pada hakikatnya merupakan pengulangan dari apa yang telah dihasilkan para ulama mujtahid terdahulu. Dalam hal ini, penerapan ilmu ushul fiqh yang dilaksanakan mengandung makna, memahami cara-cara menemukan hukum melalui ushul fiqh yang dipraktikan para ulama mujtahid yang lalu.

Kemungkinan kedua, dengan menerapkan ilmu ushul fiqh, dapat menghasilkan hukum-hukum yang berbeda dengan apa yang ditemukan ulama terdahulu. Kemungkinan ini dapat terjadi, disebabkan adanya perbedaan waktu atau tempat atau keadaan dari peristiwa hukum yang terjadi pada masa ulama yang dahulu dengan waktu atau tempat atau keadaan yang dialami sekarang ini. Dengan demikian, meskipun secara sepintas terlihat bahwa peristiwanya sama, tetapi hukum yang dihasilkan dapat berbeda.

Kemungkinan ketiga, hukum-hukum yang dihasilkan itu sama sekali baru, dan belum pernah dihasilkan oleh para mujtahid dahulu. Dalam konteks ini, ushul fiqh digunakan untuk menjawab persoalan hukum atas peristiwa-peristiwa yang baru muncul dewasa ini, di mana pada masa lalu sama sekali belum pernah terjadi peristiwanya, sehingga terhadap peristiwa itu tidak ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh warisan para ulama sebelumnya. Misalnya, hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan bidang kedokteran, ekonomi, dan politik.

 Disamping tiga kemungkinan di atas, maka dengan mempelajari ilmu ushul fiqh, kita dapat pula menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk melakukan perbandingan (muqaranah, comparative) terhadap hukum-hukum fiqh yang telah ada. Pada gilirannya langkah ini dapat pula menghasilkan pendapat yang dianggap paling kuat dan relevan dengan kebutuhan hukum masa kini (Rahman, 2010 : 18).

 

D. Ruang Lingkup Ushul Fiqih

 Berdasarkan pengertian yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqih, maka Muhammad Al-Zuhaili (seorang ahli fiqih dan ushul fiqih dari syariah) mengatakan bahwa yang menjadi objek pembahasan ushul fiqih yang dapat membedakan dengan kajian fiqih adalah sebagai berikut (Nasrun, 1997 : 5) :

  1. Sumber  hukum  islam  atau  dalil-dalil  yang  digunakan  dalam  menggali hukum syara’, baik yang disepakati   (seperti kehujjahan   AL-Quran dan Sunah), maupun yang diperselisihksn (seperti   kehujjahan istihsan dan maslahah al-mursalah).
  2. Mencari   jalan   keluar   dari   dalil-dalil   yang   secara   zahir   dianggap bertentangan, baik melalui al-jam’u wa al-taufiq (pengompromian dalil), tarikh (penguatan salah satu dari dalil yang bertentangan), nash   atau tasaqutal-dalilain (pengguguran kedua dalil yang bertentangan).Misalnya, pertentangan ayat dengan ayat, ayat dengan hadis, atau pertentangan hadis dengan pendapat akal.
  3.  Pembahasan  ijtihad,  sayarat-syarat,  dan  sifat-sifat  orang  yang melakukannya (mujtahit), baik syarat-syarat umum, maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid.
  4. Pembahasan  tentang  hukum  syara’,   yang  meliputi  syarat-syarat  dan macam-macamnya , baik yang bersifat tuntutan untuk berbuat, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan , memilih antara berbuat atau tidak, maupun  yang berkaitan  dengan sebab   syarat,  mani,’, sah, batal/fasad, azimah, dan rukhsah. Dalam pembahasan hukum ini juga dibahas tentang pembuat hukum   (hakim), orang yang dibebani hukum (mahkum   ‘alaih, ketetapan hokum dan syarat-syaratnya serta perbuatan-perbuatan yang dikenai hukum.
  5. Pembahasan  tentang  kaidah-kaidah  yang  digunakan  dan  cara menggunakannya dalam mengistinbatkan hokum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadis).

Dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan kedalamnya beberapa kasus tertentu seperti amar,,nahi, ‘am, mutlaq, ijma’, dan qiyas.

Hukum kulli   ialah hukum umum yang masuk kedalamnya beberapa macam, seperti  wajib, haram, sah, batal, dan sebagainya Wajib dinamakan hukum kulli karena kedalamnya dapat dimasukkan

berbagai  perbuatan  yang wajib,umpamanya,wajib memenuhi  janji, wajib mengadakan  saksi dalam perkawinan. Haram  adalah hukum   kulli  yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan, seperti  haram berbuat zina, haram menuduh berbuat  zina,haram mencuri, haram membunuh, dan sebagainya.

Ahli ushul tidak membahas dalil juz’i   ,namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang diletakkan dalam kaidah umum yang dapat diterapkan oleh para fuqaha pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqaha tidak membahas dalil dan hukum  kulli, namun yang  mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i .

 DAFTAR PUSTAKA

Nasrun, Haroen. Ushul Fiqh 1, Ciputat: PT LOGOS Wacana Ilmu,1996. Khallaf, Abdul Wahhab . Ilmu Ushul Fiqh. Jakarata: Al-Majlis al-a’la ai-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972.
Rahman Dahlan, Abd. Ushul Fiqh, Jakarta: AMZAH. 2010.
Syafe’i, Rachmat . Ilmu Ushul Fiqih Cet.3. Bandung:CV.Pustaka Setia..2007. Koto, Alaidin. Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh. cet.3. Jakarta:Pt Rajagrafindo Prasada,Ed.Revisi. 2009.
 Azhar,Ushul Fiqih .Medan : Fakultas Tarbiyah IAIN SU.2015. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 1,( Jakarta: Kencana,cet.3,2008.

 

 

 

 

 

 

 

 

Sabtu, 03 Juli 2021

PEMBAHASAN USHUL FIQIH UNTUK SEMESTER IV PRODI PAI DOSEN. H. MUAMAR AL QADRI, M.Pd

MATERI USHUL FIQIH III

  1. Menganalisis konsep ushul fikih, tujuan dan ruang lingkupnya
  2. Menganalisis sejarah pertumbuhan dan perkembangan fikih dan ushul fikih
  3. Menganalisis madzhab dalam fikih dan ushul fikih
  4. Menganalisis kedudukan AlQur'an sebagai sumber hukum Islam muttafaq (disepakati)
  5. Menganalisis kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam kedua yang muttafaq (disepakati)
  6. Menganalisis fungsi dan kedudukan ijma` sebagai sumber hukum Islam muttafaq (disepakati)
  7. Menganalisis fungsi dan kedudukan qiyas sebagai sumber hukum Islam keempat yang muttafaq (disepakati)
  8. Menganalisis istihsan sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  9. Menganalisis maslahatulmursalah sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  10. Menganalisis `urf sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  11. Menganalisis istishab sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  12. Menganalisis syar`u man qablana sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  13. Menganalisis qaulusshahabi sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  14. Menganalisis saddud- dzara'i dan fathud-dzara'i sebagai sumber hukum Islam mukhtalaf (yang diperselisihkan)
  15. Memahami kaidah pokok fikih al-umuru bi maqashidiha
  16. 3Menganalisis kaidah pokok fikih al-yaqinu la yuzalu bi sy-syak
  17. Menganalisis kaidah pokok fikih al-masyaqqatu tajlibut- taysir
  18. Menyajikan contoh penerapan kaidah pokok fikih al-masyaqqatu tajlibut- taysir dalam kasu
  19. Menganalisis kaidah pokok fikih adh-dhararu yuzal
  20. Menganalisis kaidah pokok fikih al- 'adatu muhakkamah
  21. Memahami ketentuan kaidah amar dan nahi
  22. Memahami ketentuan kaidah am dan khas
  23. Memahami ketentuan kaidah takhsis dan mukhassis
  24. Memahami ketentuan kaidah mujmal dan mubayyan
  25. Memahami ketentuan kaidah muradif dan musytarak
  26. Memahami ketentuan kaidah mutlaq dan muqayyad
  27. Memahami ketentuan kaidah zahir dan takwil
  28. Memahami ketentuan kaidah manthuq dan mafhum
  29. Memahami konsep: al hakim, al hukmu, al mahkum fih dan al mahkum'alaih dan kedudukannya
  30. Memahami ijtihad sebagai suatu metode pengambilan hukum Islam
  31. Memahami nasikh Mansukh dan ketentuannya
  32. Memahami ta'arudul adillah dan ketentuannya
  33. Memahami tarjih dan ketentuannya
  34. Memahami ittiba` dan hukum ittiba`
  35. Memahami ketentuan taqlid
  36. Memahami ketentuan talfiq


PEMBAHASAN AKHLAK TASAWUF UNTUK SEMESTER II PRODI PAI DOSEN. H. MUAMAR AL QADRI, M.Pd


MATERI AKHLAK TASAWUF


  1. KONSEP KAJIAN TASAWUF, DAN HUBUNGANNYA DENGAN ILMU AKHLAK DAN ILMU FIKIH
  2. MENGEVALUASI AKHLAK TERPUJI DALAM PERGAULAN REMAJA (GHADHDHUL BASHAR, MENGHINDARI KHALWAT, IKHTILATH, DAN TIDAK MELAKUKAN SENTUHAN FISIK DENGAN LAWAN JENIS) DI UNIA NYATA MAUPUN DUNIA MAYA
  3. BAHAYA PERILAKU TERCELA (SERAKAH, TAMAK, BAKHIL, DAN ISRAF/TABZIR) SERTA CARA MENGHINDARINYA
  4. PERILAKU TOLERAN (TASAMUH) DAN MODERAT (TAWASSUT) UNTUK MEWUJUDKAN PERSATUAN DAN KESATUAN UMAT
  5. INDUK-INDUK AKHLAK TERPUJI (HIKMAH, IFFAH, SYAJA'AH, DAN `ADALAH) DAN CARA MEMBIASAKANNYA DALAM KEHIDUPAN
  6. PANDANGAN ISLAM KONSEP TASKHIR, INTIFA, DAN IHTIFADZ DALAM KELESTARIAN LINGKUNGAN
  7. KETELADANAN AKHLAK AL-KHULAFA'UR RASYIDUN (ABU BAKAR ASSIDDIQ RA., UMAR BIN ALKHATHTHAB RA., UTSMAN BIN AFFAN RA., DAN ALI BIN ABI TALIB RA.), SERTA AKTUALISASINYA DALAM KEHIDUPAN MODERN.
  8. KONSEP FITRAH, NAFSU, AKAL DAN QALB DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PERBUATAN
  9. HUBUNGAN SYARIAT, TAREKAT DAN HAKIKAT SERTA KONSEP MAQAMAT DAN AHWAL DALAM AJARAN TASAWUF
  10. KONSEP TENTANG TAUBAT, SABAR, ZUHUD, QANA'AH, TAWAKAL, SYUKUR, IKHLAS DAN MAHABBAH
  11. ADAB PARA SUFI DALAM BERGAUL DENGAN KEDUA ORANG TUA, GURU, DAN SAHABAT
  12. KISAH-KISAH ORANG SALEH: ABU DZAR GHIFARI, UWAIS AL-QARNI, UMAR BIN ABDUL `AZIZ, DAN IBRAHIM BIN ADHAM.
  13. KONSEP TAZKIYATUN NUFUS MELALUI PRAKTIK TAKHALLI, TAHALLI DAN TAJALLI SEBAGAI SARANA PENDEKATAN DIRI KEPADA ALLAH SWT.
  14. MAKSIAT LAHIR (MENCURI, KORUPSI, MEMBUNUH, MABUK-MABUKAN, MENGKONSUMSI NARKOBA, BERJUDI, ZINA, PERGAULAN BEBAS, DAN LGBT) SERTA CARA MENGHINDARINYA
  15. MAKSIAT BATIN (SYIRIK, HASUD, RIYA, UJUB, TAKABUR) SERTA CARA MENGHINDARINYA
  16. POKOK-POKOK AJARAN TASAWUF DARI HASAN AL-BASRI, ABU YAZID ALBUSTAMI, RABI'AH ALADAWIYAH, ZUN NUN ALMISRI, JUNAID AL-BAGDADI, AL-HALLAJ, MUHYIDDIN IBNU ARABI, DAN AL-GHAZALI
  17. KONSEP TASAWUF'AMALI DAN TASAWUF FALSAFI SERTA TOKOH-TOKOHNYA
  18. KONSEP DAN SEJARAH PERKEMBANGAN TAREKAT DALAM ISLAM
  19. POKOK-POKOK AJARAN TAREKAT MUTABARAH`DI NUSANTARA (QADIRIYAH, NAQSABANDIYAH, QADIRIYAH WA NAQSABANDIYAH [TQN], SYAJILIYAH, SYATARIYAH, KHALWATIYAH, TIJANIYAH, DAN SAMANIYAH) BESERTA TOKOHNYA
  20. PERILAKU TERCELA DARI KISAH QARUN DAN FIR'AUN
  21. AJARAN TASAWUF DALAM MENGHINDARI PROBLEMATIKA MASYARAKAT MODERN, (MATERIALISME, KONSUMERISME, HEDONISME, DAN INDIVIDUALISME)
  22. KONSEP MUHASABAH, MURAQABAH DAN MUSYAHADAH DALAM MEMBENTUK PRIBADI INSAN KAMIL
  23. KONSEP KEWALIAN DAN KAROMAH DALAM TASAWUF 
  24. KETELADANAN AKHLAK TOKOH-TOKOH SUFI NUSANTARA (HAMZAH FANSURI, SYAMSUDDIN SUMATRANI, ABDUR RA'UF ASSINQILI, ABDUL MUHYI PAMIJAHAN, YUSUF ALMAKASARI, AFIS AL-BANJARI )


TOPIK DALAM AL-QUR'AN DISUSUN OLEH. Dr. H. MUAMAR AL QADRI, M.Pd

  Pemeliharaan Al Quran: 15:9 , 75:17 Keutamaan Al Quran Al Quran menerangkan segala sesuatu: 7:52 , 10:37 , 11:1 , 12:111 , 16:89 , 17:89...