Sabtu, 31 Mei 2025

Hajjah Maslurah Wafat

 

Hajjah Maslurah Wafat

Pada tahun 1320 H, Tuanku Hajjah Maslurah—istri dari almarhum Sultan Musa Al-Muazzamsyah sekaligus ibu dari Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah—meninggal dunia di Tanjung Pura. Untuk mengenang kepergian beliau, selama 40 hari 40 malam dilaksanakan tahlilan dan pembacaan Al-Qur’an di makam beliau. Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Tuan Guru Syekh Abdul Wahab bersama putra-putranya.

Di masa berkabung tersebut, shalat berjamaah pun tetap dilaksanakan secara rutin di Istana, dengan imam yang bergantian antara Tuan Guru Syekh Abdul Wahab dan Zakaria H. Bakri.

Usai masa 40 hari itu, Sultan Abdul Aziz menyampaikan kepada Tuan Guru bahwa semasa hidup, ibundanya secara rutin memberikan bantuan berupa 100 rupiah dan 1.000 gantang padi setiap bulan untuk mendukung perjuangan dakwah Tuan Guru. Oleh karena itu, Sultan berjanji akan melanjutkan niat mulia tersebut dengan meningkatkan bantuannya menjadi 350 rupiah dan 30 kaleng padi setiap bulan. Ia pun menyampaikan harapan tulusnya, “Saya berharap Tuan Guru dapat menggantikan ibu dan ayah saya, serta membimbing dan menunjukkan saya jalan dunia dan akhirat.”

Namun, pada 1 Muharram 1346 H (1 Juli 1927 M) pukul 03.20 dini hari, Sultan Abdul Aziz wafat di Istana Darul Aman, Tanjung Pura, setelah berjuang melawan penyakit sesak napas. Beliau wafat pada usia 54 tahun dan dimakamkan di Tanjung Pura, berdekatan dengan makam ayahanda dan ibundanya di sekitar Masjid Azizi—dikenal pula sebagai kompleks makam almarhum Darul Aman.

Keteguhan dan Kewaspadaan Tuan Guru

Sejak Tuan Guru Syekh Abdul Wahab memimpin Kampung Babussalam, daerah itu berkembang menjadi wilayah yang makmur dan religius, sehingga pengaruh beliau kian besar. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di pihak Belanda yang saat itu masih berkuasa. Sebagai langkah politik untuk meredam pengaruh Tuan Guru, pemerintah kolonial mencoba meraih simpatinya dengan cara memberikan penghargaan.

Pada 1 Jumadil Awal 1347 H (1929 M), Asisten Residen Van Aken bersama Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah menghadiahkan sebuah bintang kehormatan yang terbuat dari emas kepada Tuan Guru. Sebelum acara penyerahan, Sultan terlebih dahulu memberikan uang kepada Tuan Guru agar membeli pakaian khusus yang layak dikenakan dalam upacara tersebut. Acara berlangsung di Madrasah Besar dan dihadiri banyak tamu undangan. Dalam acara itu pula, Syekh Abdul Wahab dipercaya menjadi imam shalat dan memimpin perpindahan arah kiblat.

Namun, di balik pemberian itu, terselip pesan tersirat dari Raja Belanda yang disampaikan oleh utusannya: penghargaan tersebut merupakan isyarat agar pengaruh keagamaan tidak dikembangkan secara berlebihan, karena dianggap dapat mengancam kekuasaan kolonial.

Tuan Guru, yang bijak dan berhati-hati, tidak terpengaruh oleh penghargaan tersebut. Beliau menyadari bahwa bintang emas itu adalah bentuk tipu daya penjajah. Maka, bintang itu tidak pernah beliau pakai, dan hanya disimpan di rumah hingga akhirnya dikembalikan kepada Sultan setelah wafatnya beliau.

Dalam suatu kesempatan di hadapan para pembesar kerajaan, Tuan Guru menyampaikan nasihat mendalam, “Lihatlah, kerajaan Belanda yang jahat ini berniat menjebak kita melalui pekerjaan duniawi. Jangan sampai hal-hal dunia membuat kita lalai dari tujuan akhirat.”

Beliau melanjutkan, “Bintang itu ibarat cemeti yang mengingatkan kita untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menjunjung perintah Tuhan, lebih tekun belajar, dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Bila semua ajaran yang telah saya sampaikan diteruskan oleh saudara-saudara, maka saya pun akan merasa tenang. Sebab bintang ini bukanlah penghargaan, melainkan isyarat halus untuk meningkatkan kesungguhan kita dalam beribadah.”

Meski usianya sudah sangat lanjut dan kondisi fisiknya semakin lemah, Tuan Guru tetap istiqamah dalam menjalankan ibadah tanpa henti.

Rahasia Keberhasilan Tuan Guru

Keberhasilan Tuan Guru Syekh Abdul Wahab dalam membangun masyarakat terletak pada tiga pilar utama:

a. Latar belakang yang kuat dan spiritual.
Beliau lahir dan besar di desa, dalam lingkungan keluarga yang religius. Kesederhanaan, keikhlasan, serta kerendahan hatinya menjadi fondasi utama dalam membentuk jiwa kepemimpinan dan keteladanan. Pendidikan ini menempa beliau menjadi pribadi yang gigih, sabar, dan istiqamah dalam menghadapi tantangan.

b. Konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Tuan Guru tidak pernah mengajarkan sesuatu yang belum beliau amalkan sendiri. Beliau menganjurkan banyak berzikir, shalat, sedekah, puasa sunnah, serta hidup sederhana—semua itu beliau teladankan secara nyata kepada murid-muridnya.

c. Bergantung hanya kepada Allah.
Beliau tidak pernah mengandalkan kekuatan makhluk. Backing sejatinya adalah Allah SWT—Maha Kuasa, Kekal, dan Abadi. Ketergantungan total kepada Tuhan ia wujudkan dalam ibadah yang penuh kesungguhan dan keikhlasan.


Seluruh uraian mengenai keteladanan, prinsip hidup, serta warisan pemikiran dan perjuangan Tuan Guru Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam) sebagaimana telah dipaparkan, bersumber dari buku Biografi Ulama Besar Langkat: Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam) yang diterbitkan oleh Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat, halaman 108–111. Buku ini menjadi dokumen historis penting yang merekam jejak perjuangan beliau dalam membina umat dengan pendekatan agama yang kuat, sederhana, dan penuh keikhlasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi

  YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi Langkat, 27 Juni 2025 — Yay...