Senin, 05 Mei 2025

SEJARAH PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQIH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

            Ushul Fiqih adalah pengetahuan mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil hukum-hukum syara’ mengenai perbutan manusia mengenai dalil-dalilnya yang terinci. Ilmu Ushul Fiqih dan Ilmu Fiqih adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Ilmu Ushul Fiqih dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu Ilmu Fiqih.

            Menurut sejarahnya, Fiqih merupakan suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan disbanding dengan Ushul Fiqih. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak mungkin tidak ada pabriknya. Ilmu Fiqih tidak mungkin ada jika tidak ada Ilmu Ushul Fiqih. Ushul Fiqih adalah ilmu untuk berijtihad dalam beberapa masalah yang hadir silih berganti pada setiap zaman, terkadang kasus-kasus itu timbul yang belum pernah ada dalam kata lain yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

            Ilmu Ushul Fiqih selalu berkembang di setiap zaman, mulai dari zaman para sahabat sampai saat ini. Para Mujtahid saling mengedepankan argument kuat selama tidak bertentangan dengan syariah. Ada penambahan bahkan penyempurnaan Ilmu Ushul Fiqih pada ijtihad para sahabat sampai dengan para mujtahid setelah sahabat, terutama pada masa Imam Syafi’i mulai membukukan kitab Ushul Fiqih dengan nama Ar-Risalah yang dijadikan sebagai acuan para Ulama Fiqih berlomba-lomba membukukan pemikiran Ushul Fiqih mulai dari perkara yang diajarkan guru Madzhab sampai kepada kasus-kasus masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1). Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqih

C. Tujuan Penulisan

1). Untuk memgetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqih

 

 

BAB II

    PEMBAHASAN

A. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih dan Fiqih

1. Peroide Nabi Muhammad SAW

            Ushul Fiqih baru lahir pada abad kedua Hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan Umat Islam semakin luas dan banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidag-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu Ushul Fiqih yang menjadi penuntun dalam memahami nash.

            Ushul Fiqih sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan Fiqih sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Musthafa Said Al-Khin memberikan argumentasi bahwa Ushul Fiqih ada sebelum Fiqih. Alasannya adalah Ushul Fiqih merupakan pondasi, sedangkan Fiqih merupakan bangunan yang didirikan diatas pondasi. Karena itulah sudah tentu Ushul Fiqih ada mendahului Fiqih.

            Jawaban demikian benar apabila Ushul Fiqih dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebagai sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya duhadapkan persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Al-Qur’an atau mencari jawaban dari Rasulullah SAW, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Al-Qur’an atau bertanya kepada Rasulullah SAW, akan tetapi cara pemecahan demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah  bentuk dasar,Ushul Fiqih yang masih perlu pengembangan lebih lanjut.[1]

            Bentuk-bentuk dasar Ushul Fiqih demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah SAW sendiri. Rasulullah SAW dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak ada wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan para sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para Ulama dikemudian hari.

            Contoh ijtihad yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah SAW yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para Ulama Ushul Fiqih menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW menetapkannya melalui ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi Sunnah sebagai sumber hukum dan dalil umat Islam.

            Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau menggunakan qiyas ketka menjawab pertanyaan Umar Bin Khattab tentang batal tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Menurut Para Ulama Uhul Fiqih, Rasulullah SAW mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak membatalkan puasa, maka mencium istripun tidak membatalkan puasa.

            Cara-cara Rasulullah SAW dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya Ilmu Ushul Fiqih. Karenanya, para Ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa Ushul Fiqih ada bersamaan dengan hadirnya Fiqih yaitu sejak zaman Rasulullah SAW.[2]

            Pada masa Rasulullah SAW masih hidup, seluruh permasalahan Fiqih dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber hukum Fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian terdapat juga usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan keputusan hukum.

            Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi nama keilmuan tertentu, Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika terdapat masalah yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari jawaban keputusanya di dalam Al-Qur’an, kemudian Hadits. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berjihad.[3]

2. Peroide Sahabat

            Masa sahabat sebenarnya adalah masa transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan dari Rasulullah SAW kepada masa Rasulullah SAW tidak ada lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu atau nalar.

            Meninggalnya Rasulullah SAW memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut para sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang hukum, diantaranya Ali Bin Abi Thalib, Umar Bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah Ibn Umar. Karir mereka berfatwa sebagaian telah dimulai pada masa Rasulullah SAW sendiri.

            Peroide sahabat dalam melakukukan ijtihad untuk melahirkan hukum pada hakikatnya sahabat menggunakan Ushul Fiqih sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, Ushul Fiqih yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal  sekarang.[4]

            Pada era sahabat ini digunakan beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat telah mempraktikkan ijma’, qiyas, dan istilahah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pertama khalifah biasa melakukan musyawarah untuk mencari kesepakan bersama tentang persoalan hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum. Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat, yang kemudian hari diakui oleh sebagian Ulama, khususnya oleh Imam Ahmad Bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.

            Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu) yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasululllah SAW. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya disamakan.

            Penggunaan maslahah juga memjadi bagian penting Fiqih sahabat. Umar Bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang banyak memperkenalkan pemggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum. Hasil pengggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong tangandi waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah zakat bagi mualaf, dan sebagainya.[5]

            Contoh lain, ketika Ali Bin Abi Thalib berpendapat bahwa hukum orang yang meminum khamar disamakan dengan hukuman orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), yaitu 80 kali dera. Ali Bin Abi Thalib mengemukakan argumentasi bahwa orang yang minum khamar akan mabuk, orang yang mabuk akan mengigau, ucapannya tidak akan terkontrol dan akan menuduh orang lain berbuat zina.

            Pada perode sahabat sering terjadi perbedaan pendapat  (perbedaan ijtihad) dalam menetapkan suatu hukum masalah, antara lain tentang iddah seorang wanita yang sedang hamil dan suaminya meninggal. Menurut Umar Bin Khattab iddahnya sampai lahir anak berdasarkan Surah At-Thalaq ayat 4. Sedangkan menurut Ali Bin Abi Thalib iddah yang paling lama diantara iddah yang hamil dengan iddah kematian suami (4 bulan 10 hari menurut Surah Al-Baqarah ayat 234), yakni apabila lahir anak sebelum 4 bulan 10 hari maka iddahnya harus iddah kematian suami (4 bulan 10 hari), tetapi bila sudah 4 bulan 10 hari anak belum lahir maka iddahnya sampai anak lahir.

            Hasil-hasil ijtihad pada peroide ini belum dibukukan sehingga belum dapat diangggap sebagai sebuah ilmu, hanya sebagai pemecahan masalah terhadap kasus yang mereka hadapi. Oleh sebab itu hasil ijtihad mereka belum disebut Fiqih atau Ushul Fiqih. Pada peroide sahabat sumber-sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat.[6]

            Secara umum, sebagaimana pada masa Rasulullah SAW, Ushul Fiqih pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan beragumenatsi untuk mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran fikiran yang dilakukan sahabat masih terbatas pada pemberian fatwa atas pertanyaan atau masalah yang muncul, belum sampai pada perluasan kajian hukum Islam kepada masalah metodologi.

            Pada zaman sahabat dan tabi’in, pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan tujuan karena pergaulan mereka pada zaman Nabi SAW. Karena itu mereka tidak memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka tidak menggunakan Ushul Fiqih dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini telah diterapkan dan menjadi umat Islam sesudahnya.[7]

3. Periode Mutaqaddimin (Tabi’in dan Tabit Tabi’in)

            Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Pada masa tabi’in metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan bertambah luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa dan berijtihad, antara lain Sa’id Ibn Al-Musayyab di Madinah dan Alqamah Ibn Al-Qays serta Ibrahim Al-Nakha’i di Irak.

            Metode istinbath tabi’in umumnya tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini mulai muncul dua fenomena penting: 1). Pemalsuan hadits. 2). Perdebatan mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak     (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl -al-hadts).[8]

            Dengan demikian muncul bibit-bibit perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan perbedaan kelompok ahli hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis. Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan Sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.

            Masa tabi’in banyak yang melakukan istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya juga mempengaruhi konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya Ulama Fiqih Irak lebih dikenal dengan penggunaan ar-ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari illatnya, sehingga illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para Ulama Madinah banyak menggunakan hadits- hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam mengistinabthkan hukum di kalangan Ulama Fiqih. Akibatnya, muncul tiga kelompok Ulama, yaitu Madrasah Al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, dan Madrasah Al-Madinah.

            Pada perkembangan selanjutnya madrasah Al-Iraq dan madrasah Al-Kufah dikenal dengan sebutan madrasah Ar-Ra’yi, sedangkan madrasah Al-Madinah dikenal dengan sebutan Al-Hadits.

            Pada masa tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan para Imam Mujtahid kekuasaan Islam meluas ke daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab, kondisi budayanya cukup berbeda-beda. Banyak diantara Ulama yang bertebaran ke daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut yang masuk Islam.

            Semakin kompleknya persoala-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Karena itu ulama-ulama yang tinggal di daerah tersebut melakukan ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan penalaran mereka terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad menjadi pesat.[9]

4. Periode Tabi-Tabi’in

a). Imam Abu Hanifah

1). Biografi

            Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man Bin Tsabit Al-Kufi, lahir di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Abdul Malik Bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah karena salah satu anaknya yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena begitu taatnya dalam beribadah kepada Allah. Ada juga yang meriwayatkan karena beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta.[10]

            Imam Abu Hanifah dikatakan banyak belajar berbagai Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadits, dan Tauhid dari para ulama yang alim. Diantara ulama yang menjadi gurunya selain Imam Hammad ibn Sulayman ialah ‘Ata’ ibn Abi Ribah, Hisyam ibn ‘Urwah, dan Nafi’ Ibn ‘Umar. Beliau juga berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih hidup, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdulah ibn Abi Aufa dan Sahal bin Sa’ad.

            Abu Hanifah adalah seorang mujtahid yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqih beliau belajar kepada Hammad bin Abu Sulayman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula ibn Umar. Imam Abu Hanifah wafat dalam bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dalam usia 70 tahun pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyyah yang kedua dan dimakamkan di kota Baghdad.[11]

2). Sebab Kemunculan

            Perkembangan berbagai madzhab, selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh dan dukungan dari penguasaan politik. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga khalifah Abbasiyyah yaitu Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah kitab yang disusun atas permintaan khalifah Ar-Rasyid dan kitab ini adalah rujukan pertama rujukan Hanifah.[12]

3). Sumber Hukum Dalam Istinbath

            Abu Bakar Muhammad Ali Thaib Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran Fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah, bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunah Rasul, jika aku tidak menemukan pada kitab dan sunahnya, aku ambil pendapat sahabat-sahabat. Aku ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah datang kepada Ibrahim, Asy-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, ‘Atha, Said, dan Abu Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah berijitihad.

            Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar madzhab Hanafi adalah: 1). Kitab Allah (Al-Qur’an), 2). Sunnah Rasulullah yang telah masyhur dikalangan ahlu, 3). Fatwa-fatwa dari sahabat, 4). Al-Qiyas, 5). Istihsan, 6). Al-‘Urf.[13]

b). Imam Malik

1). Biografi

            Nama lengkap beliau adalah Malik bin Anas bin Malik bin Abi ‘Amar Al-Asyibahi Al-‘Arabiy Al-Yamniyyah. Ibunya bernama ‘Aisyah binti Syarik Al-Azdiyyah dari Kabilah Al-Yamaniyyah. Beliau dilahirkan tahun 93 H/ 712 M di kota Madinah dan meninggal tahun 197 H/789 M dalam usia 87 tahun. Kakeknya yang bernama Malik datang ke Madinah setelah Rasulullah SAW wafat. Sedangkan kakeknya termasuk golongan tabi’in yang banyak meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah, sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok ulama terkemuka dalam bidang ilmu hadits dan fiqih. Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang tabi’in muda. Diantara gurunya juga adalah Nafi’ tabi’in tua dan budak dari Abdullah Ibn Umar.

2). Sebab Kemunculan

            Madzhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan Al-Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika, Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki.

3). Sumber Hukum Dalam Istinbath

            Sistematika sumber hukum atau istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik. Sebagaimana Qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut “seseungguhnya manhaj Imam dar Al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika tidak ditemukan dalam kitabullah ia mengambil as-Sunnah (kategori Sunnah menurutnya hadits-hadits Nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahl Al-Madinah, Al-Qiyas, Al-Maslahah Al-Mursalah, Sadd Adz-Dzara’i, Al-‘Urf, dan Al-‘Adat.[14]

c). Imam Syafi’i

1). Biografi

            Al-Imam Al-Shafi’i lahir pada masa pemerintahan Abbasiyyah, tepatnya pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina dengan nama kecil Muhammad. Orang tua Al-Shafi’I berasal dari Mekkah yang merantau ke Palestina. Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas bin Usman bin Shafi’i bin Al-Sa’ib bin Ubayd bin Abd Yazid bin Hashim bin Al-Muthallib bin ‘Abd Manaf. Sedangkan nama Al-Shafi’i diambil dari nama kakeknya, Shafi’i.

2). Sebab Kemunculan

            Madzhab Malik berkembang di khilafah timur atas dukungan Al-Mansyur dan khlifah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalaluddin Al-Ayyubi merebut negeri itu.

3). Sumber Hukum Dalam Istinbath

            Pola pikir Imam As-Syafi’i secara garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Umm yang menguraikan sebagai berikut: “ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah apabila telah tetap, kedua kemudian ijma’ apabila tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan ketiga sahabat Nabi (fatwa sahabi) dan kami tahu dalam fatwa tersebut tidak adanya ikhtilat diantara mereka, keempat ikhtilat sahabat Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain pada Al-Qur’an dan Sunnah karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesunggunya mengambil ilmu dari yang teratas.”[15]

d). Imam Ahmad Ibn Hambal

1). Biografi

            Imam Ahmad Ibn Hambal adalah Abu Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.

2). Sebab Kemunculan

            Madzhab Hambali menjadi kuat pada masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Waktu itu Al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad Ibnu Hambal.

3). Sumber Hukum Istinbath

            Adapun dasar-dasar hukum yang digunakan Imam Ahmad Ibn Hambal adalah:

a. Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.

b. Ahmad Ibn Hambal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.

c. Apabila fatwa para sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn Hambal memilih salah satu pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

d. Ahmad Ibn Hambal menggunakan hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada Atsar, qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.

e. Apabila tidak ada dalam nash Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits mursal dan dhaif, Ahmad ibn Hambal menganalogikan (menggunakan qiyas), dan qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[16]

5. Periode Mutaakhirin (Generasi Para Murid Imam Madzhab)

            Tiap-tiap Mujtahid memiliki kaidah-kaidah istinbath hukum sendiri. Kaidah-kaidah itu ditulis dan dibukukan oleh murid-muridnya. Dan sebelum dibukukan, didiskusikan terlebih dahulu. Karena itulah dalam ilmu ushul fiqih juga timbul aliran-aliran. Orang yang pertama kali menghimpun kaidah-kaidah yang bercerai berai dalam suatu himpunan yang berdiri sendiri dalam suatu kitab secara cermat adalah Imam Abu Yusuf, murid Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu An-Nadim dalam kitab Al-Fihrasar, akan tetapi yang dia tulis tidak pernah sampai kita.

            Awal perkembangan ilmu ushul fiqih diawali pada perkembangan pemikiran mujtahid, dipelopori oleh Imam Syafi’i dengan metode pembukuan ushul fiqihnya Ar-Risalah, kemudian mujtahid pada masing-masing madzhab sebagai penerus madzhabnya itupun ikut serta dalam mempelopori madzhabnya bahwa mereka mempuyai metode ushul fiqih sendiri. Perkembangan ini terus berlanjut, baik dari golongan dari ahlu ra’yi sampai golongan ahlu hadits sampai pada masa ulama mutaakhirrin.

            Dari Ulama Syafi’iyyah semua pemikirannya itu dapat dilihat dari hasil karya dalam bentuk tiga kitab, yang kemudian dikenal dengan sebutan Al-Arkan Al-Thalathah, yaitu sebagai berikut:

a. Kitab Al-Mu’tamad, karya Abu Husein Muhammad Ibnu ‘Ali Al-Bashriy (wafat 412 H).

b. Kitab Al-Burhan, karya Al-Imam Al-Haramain (wafat 474 H).

c. Kitab Al-Mustashfa Min ‘Ilm Al-Usul, karya Al-Ghazali (wafat 500 H).

d. Al-Luma’ karya Al-Syirazi

e. Al-Waraqat karya Al-Juwayni

f. Al-Mahsul karya Fakhruddin Al-Razi, Al-Burhan

g. Al-Ihkam Fi Ushul Al -Ahkam karya Al-Amidi

h. Minhaj Al-Wushul Ila Ilm Al-Ushul karya Al-Baidlawi dan sebagainya.

            Sebutan mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran dedukatif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar adalah seorang Teolog Muktazilah. Sementara itu Imam Abu Bakar Al-Baqillani, yang menulis buku Al-Taqrib Wa Al-Irsyad dan diringkas oleh Imam Al-Juwayni, dipandang sebagai syeikh Al-Ushuluhiyyin. Imam Al-Juwayni sendiri, Imam Al-Ghazali, dan Fakhruddin Ar-Razi adalah diantara tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqih. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan kejelaasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin seperti Imam Abu Ishaq Al-Syirazi.

            Dari ulama Hanafiyyah karya ushul fiqih di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Adapun ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul fiqih adalah persoalan-persoalan hukum yang furu’ yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.

            Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:

a. Al-Fushul Fi Ushul Fiqih karya Imam Abu Bakar Al-Jashshash (Ushul Al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam Al-Qur’an.

b. Taqwim Al-Adillah karya Imam Abu Zayd Al-Dabbusi.

c. Kanz Al-Wushul Ila Ma’rifat Al-Ushul karya Fakhr Al-Islam Al-Bazdawi.

d. Ushul Fiqih karya Imam  Al-Sarakhsi (Ushul Al-Sarakhsi).

            Kitab-kitab yang berkembang pada zaman kontemporer saat ini, yaitu:

a. Ushul Fiqih, oleh A. Wahab Khalaf.

b. Mabadi’ul Awaliyyah, Assulam, Al Bayan, oleh A. Hamid Hakim.

c. Al-Mustasyfa, oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asyafi’iy.

d. Tankihul Ushul, oleh Syadrus Syariah Ubaidillah bin Masudi Al-Bukhary Al-Hanafi.

            Semua itu menjadikan dorongan dan motivasi untuk menyusun batasan dan bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan syarat-syarat dan metode-metode menggunakan dalil-dalil. Timbullah pemikiran untuk membuat peraturan dalam melakukan ijtihad dan penetapan hukum. Keseluruhan peraturan itu merupakan kaidah-kaidah yang harus dipegang pleh para mujtahid dalam mengistinbathkan hukum. Ushul fiqih dikenal dengan sebagai suatu cabang ilmu yang berdiri sendiri pada abad kedua Hijriah.

            Aliran yang menggabungkan kedua system yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran Syafi’iyyah dan aliran Hanafiyyah. Ulama-ulama mutaakhirin melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah Ushuliyyah yang dirumuskan kedua alim tersebut. Lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu’ fiqhiyyah. Para ulama yang menggunakan aliran mutaakhirrin ini berasal dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Aliran ini muncul setelah aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah sehingga disebut sebagai aliran mutaakhirrin.

            Dalam aliran gabungan (mutaakhirrin) pada perkembangannya muncul trend untuk menggabungkan kitab ushul fiqih aliran mutakallin dan Hanafiyyah. Metode penulisan ushul fiqih aliran gabungan adalah dengan membumikan kaidah kedalam realitas persoalan-persoalan fiqih. Persoalan hukum yang dibahas Imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi sandarannya.

            Karya-karya aliran gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah, diantaranya adalah kalangan dari Hanafi lahir kitab Badi’ Al-Nidzam Al-Jami’ Bayn Kitabay Al-Bazdawi Wa Al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya Al-Bazdawi  dan Al-Ihkam karya Al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar Al-Din Ahmad bin Ali Al-Hanafi.

            Adapula kitab Tanqih Ushul karya Shadr Al-Syariah Al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari kitab Al-Mashlul karya Imam Al-Razi, Muntaha Al-Wushul karya Imam Ibnu Hajib.[17]

           

 

                                                BAB III

        PENUTUP

A. Kesimpulan

            Sejarah Ushul Fiqih terbagi menjadi beberapa periode, yaitu periode Rasulullah SAW, periode sahabat, periode tabiin dan tabit tabiin. Dan pada abad kedua dan awal abad ketiga Imam Syafi’i tampil berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqih.

            Secara garis besarnya, perkembangan ushul fiqih dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap awal (abad 3 H), tahap perkembangan  (abad 4 H), dan tahap penyempurnaan (abad 5 H). Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal dua aliran yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun ushul fiqih untuk menggali ilmu hukum. Aliran pertama disebut Syafiiyah dan jumhur mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun Ushul Fiqih secara teoritis murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Aliran kedua dikenal aliran fuqaha yang dianut oleh para ulam mazhab Hanafi. Dinamakan aliran fuqaha, karena dalam menyusun teori aliran ini, banyak dipenagruhi oleh furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Dan ada juga aliran mutaakhirrin yaitu aliran gabungan dari madzhab Syafiiyah dan Hanafiyah yang lahir setelah lahirnya kedua aliran tersebut.

B. Saran

            Apabila terdapat kesalahan dan kekhilafan dengan penulisan makalah ini saya memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena saya masih dalam proses belajar, serta tidak ada manusia yang luput dari kesalahan serta kekhilafan. Saya berharap para pembaca dapat memahami, mengetahui, mengamalkan serta mengambil manfaat dan pengetahuan yang ada dalam makalah ini, serta saya berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya, terutama bagi pembaca.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ali Hasan, M, 2002, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Al-Qadri, Muamar, 2020, Ushul Fiqih, Surabaya: CV. Pustaka Media Guru

Effendi, Satria, 2005, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media

Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqih I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

Koto, Alaiddin, 2009, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Mubarak, Jaih, 2002, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Rahman Dahlan, Abd, 2011, Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah

Rahmat, Jalaluddin, 2007, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, Bandung: PT.Mirzan

Rifai, Mohammad, 1973, Ushul Fiqih, Bandung: PT. Al-Ma’arif

Syafi’i, A, 2006, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia

Wahhab Khallaf, Abdul, Cet VIII 2002, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: PT. Grafindo Persada

 

 

 



[1] A. Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia,2006), h.45-47

[2] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.6-7

[3] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT. Grafndo Persada, 2002), Cet VIII, h.11

[4] Abd.Rahman Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011), h.21

[5] Satria Effendi, Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media,2005), h.17

[6] Muamar Al-Qadri, Ushul Fiqih, (Surabaya: CV. Pustaka Media Guru,2020), h.17-18

[7] Mohammad Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), h.9

[8] Satria Effendi, Ibid, h.17-18

[9] Alaiddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), Cet III, h.32

[10] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.185

[11] Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), h.74

[12] Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Bandung: PT. Mizan, 2007), h.183

[13] Ibid, h.185

[14] Ibid, h.190

[15] M. Ali Hasan, Ibid, h.211-212

[16] Ibid, h. 215

[17] Ibid, h.188-193

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi

  YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi Langkat, 27 Juni 2025 — Yay...