BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ushul Fiqih adalah pengetahuan
mengenai berbagai kaidah dan bahasa yang menjadi sarana untuk mengambil
hukum-hukum syara’ mengenai perbutan manusia mengenai dalil-dalilnya yang
terinci. Ilmu Ushul Fiqih dan Ilmu Fiqih adalah dua hal yang tidak bisa
dipisahkan. Ilmu Ushul Fiqih dapat diumpamakan seperti sebuah pabrik yang
mengolah data-data dan menghasilkan sebuah produk yaitu Ilmu Fiqih.
Menurut sejarahnya, Fiqih merupakan
suatu produk ijtihad lebih dulu dikenal dan dibukukan disbanding dengan Ushul
Fiqih. Tetapi jika suatu produk telah ada maka tidak mungkin tidak ada
pabriknya. Ilmu Fiqih tidak mungkin ada jika tidak ada Ilmu Ushul Fiqih. Ushul
Fiqih adalah ilmu untuk berijtihad dalam beberapa masalah yang hadir silih
berganti pada setiap zaman, terkadang kasus-kasus itu timbul yang belum pernah
ada dalam kata lain yaitu masalah baru yang belum ada hukumnya dalam Al-Qur’an
dan Sunnah.
Ilmu Ushul Fiqih selalu berkembang
di setiap zaman, mulai dari zaman para sahabat sampai saat ini. Para Mujtahid
saling mengedepankan argument kuat selama tidak bertentangan dengan syariah.
Ada penambahan bahkan penyempurnaan Ilmu Ushul Fiqih pada ijtihad para sahabat
sampai dengan para mujtahid setelah sahabat, terutama pada masa Imam Syafi’i
mulai membukukan kitab Ushul Fiqih dengan nama Ar-Risalah yang dijadikan
sebagai acuan para Ulama Fiqih berlomba-lomba membukukan pemikiran Ushul Fiqih
mulai dari perkara yang diajarkan guru Madzhab sampai kepada kasus-kasus
masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
1).
Bagaimana sejarah pertumbuhan dan perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqih
C.
Tujuan Penulisan
1).
Untuk memgetahui sejarah pertumbuhan dan perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqih
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan Ushul Fiqih dan Fiqih
1. Peroide Nabi Muhammad SAW
Ushul Fiqih baru lahir pada abad
kedua Hijriah. Pada abad ini daerah kekuasaan Umat Islam semakin luas dan
banyak orang yang bukan arab memeluk agama Islam karena itu banyak menimbulkan
kesamaran dalam memahami nash, sehingga dirasa perlu menetapkan kaidag-kaidah
bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu Ushul Fiqih
yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Ushul Fiqih sebagai sebuah bidang
keilmuan lahir terlebih dahulu dibandingkan Fiqih sebagai sebuah metode
memecahkan hukum. Musthafa Said Al-Khin memberikan argumentasi bahwa Ushul
Fiqih ada sebelum Fiqih. Alasannya adalah Ushul Fiqih merupakan pondasi,
sedangkan Fiqih merupakan bangunan yang didirikan diatas pondasi. Karena itulah
sudah tentu Ushul Fiqih ada mendahului Fiqih.
Jawaban demikian benar apabila Ushul
Fiqih dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebagai
sebuah bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya duhadapkan
persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Al-Qur’an atau mencari jawaban dari
Rasulullah SAW, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan hukum. Ia
sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari dari Al-Qur’an
atau bertanya kepada Rasulullah SAW, akan tetapi cara pemecahan demikian belum
bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu. Pemecahan demikian adalah bentuk dasar,Ushul Fiqih yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut.[1]
Bentuk-bentuk dasar Ushul Fiqih
demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah SAW sendiri.
Rasulullah SAW dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan yang tidak
ada wahyunya. Ijtihad tersebut masih dilakukan para sahabat dalam bentuk
sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang dirumuskan para Ulama
dikemudian hari.
Contoh ijtihad yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW adalah menetapkan hukum dari berbagai kasus di zaman Rasulullah
SAW yang tidak ada ketentuannya dalam Al-Qur’an, para Ulama Ushul Fiqih
menyimpulkan bahwa ada isyarat bahwa Rasulullah SAW menetapkannya melalui
ijtihad. Hasil ijtihad Rasulullah SAW ini secara otomatis menjadi Sunnah
sebagai sumber hukum dan dalil umat Islam.
Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW
juga menggunakan qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya, beliau
menggunakan qiyas ketka menjawab pertanyaan Umar Bin Khattab tentang batal
tidaknya puasa seseorang yang mencium istrinya. Menurut Para Ulama Uhul Fiqih,
Rasulullah SAW mengqiyaskan hukum mencium istri dalam keadaan berpuasa dengan
hukum berkumur-kumur bagi orang yang berpuasa. Jika berkumur-kumur tidak
membatalkan puasa, maka mencium istripun tidak membatalkan puasa.
Cara-cara Rasulullah SAW dalam
menetapkan hukum inilah yang menjadi bibit munculnya Ilmu Ushul Fiqih.
Karenanya, para Ulama Ushul Fiqih menyatakan bahwa Ushul Fiqih ada bersamaan
dengan hadirnya Fiqih yaitu sejak zaman Rasulullah SAW.[2]
Pada masa Rasulullah SAW masih
hidup, seluruh permasalahan Fiqih dikembalikan kepada Rasul. Pada masa ini
dapat dikatakan bahwa sumber hukum Fiqih adalah wahyu Allah SWT. Namun demikian
terdapat juga usaha dari beberapa sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam
menentukan keputusan hukum.
Ushul Fiqih secara teori telah
digunakan oleh beberapa sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum
menjadi nama keilmuan tertentu, Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika
terdapat masalah yang membutuhkan kepastian hukum, maka pertama adalah mencari
jawaban keputusanya di dalam Al-Qur’an, kemudian Hadits. Jika dari kedua sumber
hukum Islam tersebut tidak ditemukan maka dapat berjihad.[3]
2.
Peroide Sahabat
Masa sahabat sebenarnya adalah masa
transisi dari masa hidup dan adanya bimbingan dari Rasulullah SAW kepada masa
Rasulullah SAW tidak ada lagi mendampingi umat Islam. Ketika Rasulullah SAW
masih hidup, sahabat menggunakan tiga sumber penting dalam pemecahan hukum
yaitu Al-Qur’an, Sunnah, dan Ra’yu atau nalar.
Meninggalnya Rasulullah SAW
memunculkan tantangan bagi para sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut
para sahabat untuk memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki kelebihan di bidang
hukum, diantaranya Ali Bin Abi Thalib, Umar Bin Khattab, Abdullah Ibn Mas’ud,
Abdullah Ibn Abbas, dan Abdullah Ibn Umar. Karir mereka berfatwa sebagaian
telah dimulai pada masa Rasulullah SAW sendiri.
Peroide sahabat dalam melakukukan
ijtihad untuk melahirkan hukum pada hakikatnya sahabat menggunakan Ushul Fiqih
sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, Ushul Fiqih yang mereka gunakan baru
dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam
rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal
sekarang.[4]
Pada era sahabat ini digunakan
beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, para sahabat telah mempraktikkan
ijma’, qiyas, dan istilahah (maslahah mursalah) bilamana hukum suatu masalah
tidak ditemukan tertulis dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Pertama khalifah biasa
melakukan musyawarah untuk mencari kesepakan bersama tentang persoalan hukum.
Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli dalam bidang hukum.
Keputusan musyawarah tersebut biasanya diikuti oleh para sahabat yang lain
sehingga memunculkan kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’
sahabat, yang kemudian hari diakui oleh sebagian Ulama, khususnya oleh Imam
Ahmad Bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma’ yang paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan
pertimbangan akal (ra’yu) yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu
(nalar) untuk mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk menjawab
kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa Rasululllah SAW. Qiyas dilakukan
dengan mencarikan kasus-kasus baru contoh pemecahan hukum yang sama dan
kemudian hukumnya disamakan.
Penggunaan maslahah juga memjadi
bagian penting Fiqih sahabat. Umar Bin Khattab dikenal sebagai sahabat yang
banyak memperkenalkan pemggunaan pertimbangan maslahah dalam pemecahan hukum.
Hasil pengggunaan pertimbangan maslahah tersebut dapat dilihat dalam
pengumpulan Al-Qur’an dalam satu mushaf, pengucapan talak tiga kali dalam satu
majlis dipandang sebagai talak tiga, tidak memberlakukan hukuman potong
tangandi waktu paceklik, penggunaan pajak tanah (kharaj), pemberhentian jatah
zakat bagi mualaf, dan sebagainya.[5]
Contoh lain, ketika Ali Bin Abi
Thalib berpendapat bahwa hukum orang yang meminum khamar disamakan dengan
hukuman orang yang melakukan qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina), yaitu 80
kali dera. Ali Bin Abi Thalib mengemukakan argumentasi bahwa orang yang minum
khamar akan mabuk, orang yang mabuk akan mengigau, ucapannya tidak akan
terkontrol dan akan menuduh orang lain berbuat zina.
Pada perode sahabat sering terjadi
perbedaan pendapat (perbedaan ijtihad)
dalam menetapkan suatu hukum masalah, antara lain tentang iddah seorang wanita
yang sedang hamil dan suaminya meninggal. Menurut Umar Bin Khattab iddahnya
sampai lahir anak berdasarkan Surah At-Thalaq ayat 4. Sedangkan menurut Ali Bin
Abi Thalib iddah yang paling lama diantara iddah yang hamil dengan iddah
kematian suami (4 bulan 10 hari menurut Surah Al-Baqarah ayat 234), yakni
apabila lahir anak sebelum 4 bulan 10 hari maka iddahnya harus iddah kematian
suami (4 bulan 10 hari), tetapi bila sudah 4 bulan 10 hari anak belum lahir
maka iddahnya sampai anak lahir.
Hasil-hasil ijtihad pada peroide ini
belum dibukukan sehingga belum dapat diangggap sebagai sebuah ilmu, hanya
sebagai pemecahan masalah terhadap kasus yang mereka hadapi. Oleh sebab itu
hasil ijtihad mereka belum disebut Fiqih atau Ushul Fiqih. Pada peroide sahabat
sumber-sumber hukum Islam adalah Al-Qur’an, Sunnah dan ijtihad sahabat.[6]
Secara umum, sebagaimana pada masa
Rasulullah SAW, Ushul Fiqih pada era sahabat masih belum menjadi bahan kajian
ilmiah. Sahabat memang sering berbeda pandangan dan beragumenatsi untuk
mengkaji persoalan hukum. Akan tetapi, dialog semacam itu belum mengarah kepada
pembentukan sebuah bidang kajian khusus tentang metodologi. Pertukaran fikiran
yang dilakukan sahabat masih terbatas pada pemberian fatwa atas pertanyaan atau
masalah yang muncul, belum sampai pada perluasan kajian hukum Islam kepada
masalah metodologi.
Pada zaman sahabat dan tabi’in,
pengetahuan mereka sempurna tentang hukum-hukum yang terdapat di dalam
Al-Qur’an dan mengetahui pula sebab-sebab turunnya, serta rahasia syariat dan
tujuan karena pergaulan mereka pada zaman Nabi SAW. Karena itu mereka tidak
memerlukan peraturan-peraturan dalam mengambil suatu hukum. Mereka tidak
menggunakan Ushul Fiqih dalam teori, tetapi dalam praktek sesungguhnya ilmu ini
telah diterapkan dan menjadi umat Islam sesudahnya.[7]
3.
Periode Mutaqaddimin (Tabi’in dan Tabit Tabi’in)
Tabi’in adalah generasi setelah
sahabat. Mereka bertemu dengan sahabat dan belajar kepada sahabat. Pada masa
tabi’in metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan bertambah
luasnya daerah Islam, sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. Banyak
para tabi’in hasil didikan para sahabat yang mengkhususkan diri untuk berfatwa
dan berijtihad, antara lain Sa’id Ibn Al-Musayyab di Madinah dan Alqamah Ibn
Al-Qays serta Ibrahim Al-Nakha’i di Irak.
Metode istinbath tabi’in umumnya
tidak berbeda dengan metode istinbath sahabat. Hanya saja pada masa tabi’in ini
mulai muncul dua fenomena penting: 1). Pemalsuan hadits. 2). Perdebatan
mengenai penggunaan ra’yu yang memunculkan kelompok Irak (ahl al-ra’yi) dan kelompok Madinah (ahl -al-hadts).[8]
Dengan demikian muncul bibit-bibit
perbedaan metodologis yang lebih jelas disertai dengan perbedaan kelompok ahli
hukum (fuqaha) berdasarkan wilayah geografis. Dalam melakukan ijtihad,
sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in juga menempuh
langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu mereka. Akan
tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al-Qur’an dan Sunnah, mereka telah
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl
al-madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan maslahah mursalah yang telah dihasilkan
oleh generasi sahabat.
Masa tabi’in banyak yang melakukan
istinbath dengan berbagai sudut pandang dan akhirnya juga mempengaruhi
konsekuensi hukum dari suatu masalah. Contohnya Ulama Fiqih Irak lebih dikenal
dengan penggunaan ar-ra’yu, dalam setiap kasus yang dihadapi mereka mencari
illatnya, sehingga illat ini mereka dapat menyamakan hukum kasus yang dihadapi
dengan kasus yang sudah ada nashnya. Adapun para Ulama Madinah banyak
menggunakan hadits- hadits Rasulullah SAW, karena mereka dengan mudah melacak
sunnah Rasulullah SAW di daerah tersebut. Disinilah awal perbedaan dalam
mengistinabthkan hukum di kalangan Ulama Fiqih. Akibatnya, muncul tiga kelompok
Ulama, yaitu Madrasah Al-Iraq, Madrasah Al-Kufah, dan Madrasah Al-Madinah.
Pada perkembangan selanjutnya
madrasah Al-Iraq dan madrasah Al-Kufah dikenal dengan sebutan madrasah
Ar-Ra’yi, sedangkan madrasah Al-Madinah dikenal dengan sebutan Al-Hadits.
Pada masa tabi’in, tabi’ al-tabi’in
dan para Imam Mujtahid kekuasaan Islam meluas ke daerah-daerah yang dihuni oleh
orang-orang yang bukan berbahasa Arab atau bukan bangsa Arab, kondisi budayanya
cukup berbeda-beda. Banyak diantara Ulama yang bertebaran ke daerah-daerah
tersebut dan tidak sedikit pula penduduk daerah tersebut yang masuk Islam.
Semakin kompleknya
persoala-persoalan hukum yang ketetapannya tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an
dan Hadits. Karena itu ulama-ulama yang tinggal di daerah tersebut melakukan
ijtihad, mencari ketetapan hukumnya berdasarkan penalaran mereka terhadap
ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ditambah pula dengan pengaruh kemajuan
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidangnya pada masa itu, kegiatan ijtihad
menjadi pesat.[9]
4.
Periode Tabi-Tabi’in
a).
Imam Abu Hanifah
1).
Biografi
Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan
sebutan Imam Hanafi bernama asli Abu Hanifah Nu’man Bin Tsabit Al-Kufi, lahir
di Irak pada tahun 80 Hijriah (699 M), pada masa kekhalifahan Bani Umayyah,
Abdul Malik Bin Marwan. Beliau digelari Abu Hanifah karena salah satu anaknya
yang bernama Hanifah. Menurut riwayat lain beliau bergelar Abu Hanifah, karena
begitu taatnya dalam beribadah kepada Allah. Ada juga yang meriwayatkan karena
beliau begitu dekat dan eratnya berteman dengan tinta.[10]
Imam Abu Hanifah dikatakan banyak
belajar berbagai Ilmu Fiqih, Tafsir, Hadits, dan Tauhid dari para ulama yang
alim. Diantara ulama yang menjadi gurunya selain Imam Hammad ibn Sulayman ialah
‘Ata’ ibn Abi Ribah, Hisyam ibn ‘Urwah, dan Nafi’ Ibn ‘Umar. Beliau juga
berkesempatan menimba ilmu dari beberapa orang sahabat Nabi SAW yang masih
hidup, seperti Abdullah ibn Mas’ud, Abdulah ibn Abi Aufa dan Sahal bin Sa’ad.
Abu Hanifah adalah seorang mujtahid
yang ahli ibadah. Dalam bidang fiqih beliau belajar kepada Hammad bin Abu
Sulayman pada awal abad kedua hijriah dan banyak belajar pada ulama-ulama
tabi’in, seperti Atha bin Abi Rabah dan Nafi’ Maula ibn Umar. Imam Abu Hanifah
wafat dalam bulan Rajab tahun 150 H (767 M) dalam usia 70 tahun pada masa pemerintahan
khalifah Abu Ja’far Al-Manshur, khalifah Abbasiyyah yang kedua dan dimakamkan
di kota Baghdad.[11]
2).
Sebab Kemunculan
Perkembangan berbagai madzhab,
selain didukung oleh fuqaha serta para pengikut mereka, juga mendapat pengaruh
dan dukungan dari penguasaan politik. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika
Abu Yusuf, murid Abu Hanifah diangkat menjadi qadhi dalam pemerintahan tiga
khalifah Abbasiyyah yaitu Al-Mahdi, Al-Hadi, dan Al-Rasyid. Al-Kharaj adalah
kitab yang disusun atas permintaan khalifah Ar-Rasyid dan kitab ini adalah
rujukan pertama rujukan Hanifah.[12]
3).
Sumber Hukum Dalam Istinbath
Abu Bakar Muhammad Ali Thaib
Al-Baghdadi dalam kitabnya, Al-Baghdadi menjelaskan bahwa dasar-dasar pemikiran
Fiqih Abu Hanifah sebagai berikut: “aku (Abu Hanifah) mengambil kitab Allah,
bila tidak ditemukan didalamnya, aku ambil dari sunah Rasul, jika aku tidak
menemukan pada kitab dan sunahnya, aku ambil pendapat sahabat-sahabat. Aku
ambil perkataan yang aku kehendaki dan aku tinggalkan pendapat-pendapat yang
tidak aku kehendaki. Dan aku tidak keluar dari pendapat mereka kepada pendapat
orang lain selain mereka. Adapun apabila telah sampai urusan itu atau telah
datang kepada Ibrahim, Asy-Syaibani, Ibnu Sirin, Al-Hasan, ‘Atha, Said, dan Abu
Hanifah menyebut beberapa orang lagi mereka orang-orang yang telah berijitihad.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa dasar-dasar madzhab Hanafi adalah: 1). Kitab Allah (Al-Qur’an), 2).
Sunnah Rasulullah yang telah masyhur dikalangan ahlu, 3). Fatwa-fatwa dari
sahabat, 4). Al-Qiyas, 5). Istihsan, 6). Al-‘Urf.[13]
b).
Imam Malik
1).
Biografi
Nama lengkap beliau adalah Malik bin
Anas bin Malik bin Abi ‘Amar Al-Asyibahi Al-‘Arabiy Al-Yamniyyah. Ibunya
bernama ‘Aisyah binti Syarik Al-Azdiyyah dari Kabilah Al-Yamaniyyah. Beliau
dilahirkan tahun 93 H/ 712 M di kota Madinah dan meninggal tahun 197 H/789 M
dalam usia 87 tahun. Kakeknya yang bernama Malik datang ke Madinah setelah
Rasulullah SAW wafat. Sedangkan kakeknya termasuk golongan tabi’in yang banyak
meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Thalhah,
sehingga wajar jika beliau tumbuh sebagai sosok ulama terkemuka dalam bidang
ilmu hadits dan fiqih. Guru yang dianggapnya paling berpengaruh adalah Abdullah
ibn Yazid ibn Hurmuz, seorang tabi’in muda. Diantara gurunya juga adalah Nafi’
tabi’in tua dan budak dari Abdullah Ibn Umar.
2).
Sebab Kemunculan
Madzhab Malik berkembang di khilafah
timur atas dukungan Al-Mansyur dan di khilafah barat atas dukungan Yahya Ibnu
Yahya ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika,
Al-Mu’iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki.
3).
Sumber Hukum Dalam Istinbath
Sistematika sumber hukum atau
istinbath Imam Malik, pada dasarnya ia tidak menulis secara sistematis. Akan
tetapi para muridnya atau madzhabnya menyusun sistematika Imam Malik.
Sebagaimana Qadhi’iyyad dalam kitabnya Al-Mudharrak, sebagai berikut
“seseungguhnya manhaj Imam dar Al-Hijrah, pertama ia mengambil kitabullah, jika
tidak ditemukan dalam kitabullah ia mengambil as-Sunnah (kategori Sunnah
menurutnya hadits-hadits Nabi dan fatwa-fatwa sahabat), amal ahl Al-Madinah,
Al-Qiyas, Al-Maslahah Al-Mursalah, Sadd Adz-Dzara’i, Al-‘Urf, dan Al-‘Adat.[14]
c).
Imam Syafi’i
1).
Biografi
Al-Imam Al-Shafi’i lahir pada masa
pemerintahan Abbasiyyah, tepatnya pada tahun 150 H/767 M di Gazza Palestina
dengan nama kecil Muhammad. Orang tua Al-Shafi’I berasal dari Mekkah yang
merantau ke Palestina. Nama lengkapnya ialah Abu ‘Abdullah Muhammad Bin Idris
Bin Al-Abbas bin Usman bin Shafi’i bin Al-Sa’ib bin Ubayd bin Abd Yazid bin
Hashim bin Al-Muthallib bin ‘Abd Manaf. Sedangkan nama Al-Shafi’i diambil dari
nama kakeknya, Shafi’i.
2).
Sebab Kemunculan
Madzhab Malik berkembang di khilafah
timur atas dukungan Al-Mansyur dan khlifah barat atas dukungan Yahya Ibnu Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di Afrika Al-Mu’iz
Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk mengikuti madzhab Maliki. Madzhab
Syafi’i membesar di Mesir ketika Shalaluddin Al-Ayyubi merebut negeri itu.
3).
Sumber Hukum Dalam Istinbath
Pola pikir Imam As-Syafi’i secara
garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Umm yang menguraikan sebagai berikut:
“ilmu itu bertingkat secara berurutan pertama-tama adalah Al-Qur’an dan
As-Sunnah apabila telah tetap, kedua kemudian ijma’ apabila tidak ada dalam
Al-Qur’an dan Sunnah dan ketiga sahabat Nabi (fatwa sahabi) dan kami tahu dalam
fatwa tersebut tidak adanya ikhtilat diantara mereka, keempat ikhtilat sahabat
Nabi, kelima qiyas yang tidak diqiyaskan selain pada Al-Qur’an dan Sunnah
karena hal itu telah berada di dalam kedua sumber, sesunggunya mengambil ilmu
dari yang teratas.”[15]
d).
Imam Ahmad Ibn Hambal
1).
Biografi
Imam Ahmad Ibn Hambal adalah Abu
Abdullah Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilal Al-Syaibani. Beliau dilahirkan
di Baghdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H/780 M.
2).
Sebab Kemunculan
Madzhab Hambali menjadi kuat pada
masa pemerintahan Al-Mutawakkil. Waktu itu Al-Mutawakkil tidak mengangkat
seorang qadhi kecuali dengan persetujuan Imam Ahmad Ibnu Hambal.
3).
Sumber Hukum Istinbath
Adapun dasar-dasar hukum yang
digunakan Imam Ahmad Ibn Hambal adalah:
a.
Al-Qur’an dan Hadits, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak
lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan
pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
b.
Ahmad Ibn Hambal berfatwa dengan fatwa para sahabat, ia memilih pendapat
sahabat yang tidak menyalahinya (ikhtilaf) dan yang sudah sepakat.
c.
Apabila fatwa para sahabat berbeda-beda, Ahmad Ibn Hambal memilih salah satu
pendapat mereka yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
d.
Ahmad Ibn Hambal menggunakan hadits Mursal dan Dhaif apabila tidak ada Atsar,
qaul sahabat atau ijma’ yang menyalahinya.
e.
Apabila tidak ada dalam nash Sunnah, qaul sahabat, riwayat masyhur, hadits
mursal dan dhaif, Ahmad ibn Hambal menganalogikan (menggunakan qiyas), dan
qiyas baginya adalah dalil yang digunakan dalam keadaan terpaksa.[16]
5.
Periode Mutaakhirin (Generasi Para Murid Imam Madzhab)
Tiap-tiap Mujtahid memiliki
kaidah-kaidah istinbath hukum sendiri. Kaidah-kaidah itu ditulis dan dibukukan
oleh murid-muridnya. Dan sebelum dibukukan, didiskusikan terlebih dahulu. Karena
itulah dalam ilmu ushul fiqih juga timbul aliran-aliran. Orang yang pertama
kali menghimpun kaidah-kaidah yang bercerai berai dalam suatu himpunan yang
berdiri sendiri dalam suatu kitab secara cermat adalah Imam Abu Yusuf, murid
Imam Abu Hanifah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu An-Nadim dalam kitab
Al-Fihrasar, akan tetapi yang dia tulis tidak pernah sampai kita.
Awal perkembangan ilmu ushul fiqih
diawali pada perkembangan pemikiran mujtahid, dipelopori oleh Imam Syafi’i
dengan metode pembukuan ushul fiqihnya Ar-Risalah, kemudian mujtahid pada
masing-masing madzhab sebagai penerus madzhabnya itupun ikut serta dalam
mempelopori madzhabnya bahwa mereka mempuyai metode ushul fiqih sendiri.
Perkembangan ini terus berlanjut, baik dari golongan dari ahlu ra’yi sampai
golongan ahlu hadits sampai pada masa ulama mutaakhirrin.
Dari Ulama Syafi’iyyah semua
pemikirannya itu dapat dilihat dari hasil karya dalam bentuk tiga kitab, yang
kemudian dikenal dengan sebutan Al-Arkan Al-Thalathah, yaitu sebagai berikut:
a.
Kitab Al-Mu’tamad, karya Abu Husein Muhammad Ibnu ‘Ali Al-Bashriy (wafat 412
H).
b.
Kitab Al-Burhan, karya Al-Imam Al-Haramain (wafat 474 H).
c.
Kitab Al-Mustashfa Min ‘Ilm Al-Usul, karya Al-Ghazali (wafat 500 H).
d.
Al-Luma’ karya Al-Syirazi
e.
Al-Waraqat karya Al-Juwayni
f.
Al-Mahsul karya Fakhruddin Al-Razi, Al-Burhan
g.
Al-Ihkam Fi Ushul Al -Ahkam karya Al-Amidi
h. Minhaj
Al-Wushul Ila Ilm Al-Ushul karya Al-Baidlawi dan sebagainya.
Sebutan mutakallimin adalah sesuai
dengan karakteristik penulisannya. Kaum Mutakallimin adalah orang-orang yang
banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak memanfaatkan pemikiran
dedukatif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti Qadli Abdul Jabbar
adalah seorang Teolog Muktazilah. Sementara itu Imam Abu Bakar Al-Baqillani,
yang menulis buku Al-Taqrib Wa Al-Irsyad dan diringkas oleh Imam Al-Juwayni,
dipandang sebagai syeikh Al-Ushuluhiyyin. Imam Al-Juwayni sendiri, Imam
Al-Ghazali, dan Fakhruddin Ar-Razi adalah diantara tokoh-tokoh besar
Asy’ariyyah penulis ushul fiqih. Ada pula penulis yang tidak menunjukkan
kejelaasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin seperti
Imam Abu Ishaq Al-Syirazi.
Dari ulama Hanafiyyah karya ushul
fiqih di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk. Adapun ciri khas
penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul fiqih adalah
persoalan-persoalan hukum yang furu’ yang dibahas oleh para imam mereka, lalu
membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi,
kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari kasus-kasus hukum.
Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa
berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang
lain. Kitab-kitab Ushul Fiqih yang menunjukkan metode Hanafiyah antara lain:
a.
Al-Fushul Fi Ushul Fiqih karya Imam Abu Bakar Al-Jashshash (Ushul Al-Jashshash)
sebagai pengantar Ahkam Al-Qur’an.
b.
Taqwim Al-Adillah karya Imam Abu Zayd Al-Dabbusi.
c.
Kanz Al-Wushul Ila Ma’rifat Al-Ushul karya Fakhr Al-Islam Al-Bazdawi.
d.
Ushul Fiqih karya Imam Al-Sarakhsi
(Ushul Al-Sarakhsi).
Kitab-kitab yang berkembang pada
zaman kontemporer saat ini, yaitu:
a.
Ushul Fiqih, oleh A. Wahab Khalaf.
b.
Mabadi’ul Awaliyyah, Assulam, Al Bayan, oleh A. Hamid Hakim.
c.
Al-Mustasyfa, oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Asyafi’iy.
d.
Tankihul Ushul, oleh Syadrus Syariah Ubaidillah bin Masudi Al-Bukhary
Al-Hanafi.
Semua itu menjadikan dorongan dan
motivasi untuk menyusun batasan dan bahasan mengenai dalil-dalil syara’ dan
syarat-syarat dan metode-metode menggunakan dalil-dalil. Timbullah pemikiran
untuk membuat peraturan dalam melakukan ijtihad dan penetapan hukum.
Keseluruhan peraturan itu merupakan kaidah-kaidah yang harus dipegang pleh para
mujtahid dalam mengistinbathkan hukum. Ushul fiqih dikenal dengan sebagai suatu
cabang ilmu yang berdiri sendiri pada abad kedua Hijriah.
Aliran yang menggabungkan kedua
system yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran Syafi’iyyah dan
aliran Hanafiyyah. Ulama-ulama mutaakhirin melakukan tahqiq terhadap
kaidah-kaidah Ushuliyyah yang dirumuskan kedua alim tersebut. Lalu mereka
meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada
furu’ fiqhiyyah. Para ulama yang menggunakan aliran mutaakhirrin ini berasal
dari kalangan Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Aliran ini muncul setelah aliran
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah sehingga disebut sebagai aliran mutaakhirrin.
Dalam aliran gabungan (mutaakhirrin)
pada perkembangannya muncul trend untuk menggabungkan kitab ushul fiqih aliran
mutakallin dan Hanafiyyah. Metode penulisan ushul fiqih aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah kedalam realitas persoalan-persoalan fiqih. Persoalan
hukum yang dibahas Imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan kaidah yang menjadi
sandarannya.
Karya-karya aliran gabungan lahir
dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan Syafi’iyyah, diantaranya
adalah kalangan dari Hanafi lahir kitab Badi’ Al-Nidzam Al-Jami’ Bayn Kitabay
Al-Bazdawi Wa Al-Ihkam yang merupakan gabungan antara kitab Ushul karya
Al-Bazdawi dan Al-Ihkam karya Al-Amidi.
Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar Al-Din Ahmad bin Ali Al-Hanafi.
Adapula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr Al-Syariah Al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari kitab
Al-Mashlul karya Imam Al-Razi, Muntaha Al-Wushul karya Imam Ibnu Hajib.[17]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejarah Ushul Fiqih terbagi menjadi
beberapa periode, yaitu periode Rasulullah SAW, periode sahabat, periode tabiin
dan tabit tabiin. Dan pada abad kedua dan awal abad ketiga Imam Syafi’i tampil
berperan dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqih.
Secara garis besarnya, perkembangan
ushul fiqih dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu tahap awal (abad 3 H), tahap
perkembangan (abad 4 H), dan tahap
penyempurnaan (abad 5 H). Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal dua
aliran yang terjadi antara lain akibat adanya perbedaan dalam membangun ushul
fiqih untuk menggali ilmu hukum. Aliran pertama disebut Syafiiyah dan jumhur
mutakallimin (ahli kalam). Aliran ini membangun Ushul Fiqih secara teoritis
murni tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Aliran kedua
dikenal aliran fuqaha yang dianut oleh para ulam mazhab Hanafi. Dinamakan
aliran fuqaha, karena dalam menyusun teori aliran ini, banyak dipenagruhi oleh
furu’ yang ada dalam madzhab mereka. Dan ada juga aliran mutaakhirrin yaitu
aliran gabungan dari madzhab Syafiiyah dan Hanafiyah yang lahir setelah
lahirnya kedua aliran tersebut.
B.
Saran
Apabila terdapat kesalahan dan
kekhilafan dengan penulisan makalah ini saya memohon maaf yang
sebesar-besarnya, karena saya masih dalam proses belajar, serta tidak ada
manusia yang luput dari kesalahan serta kekhilafan. Saya berharap para pembaca
dapat memahami, mengetahui, mengamalkan serta mengambil manfaat dan pengetahuan
yang ada dalam makalah ini, serta saya berharap semoga makalah ini bermanfaat
bagi semuanya, terutama bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ali
Hasan, M, 2002, Perbandingan Madzhab, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Al-Qadri,
Muamar, 2020, Ushul Fiqih, Surabaya: CV. Pustaka Media Guru
Effendi,
Satria, 2005, Ushul Fiqih, Jakarta: Prenada Media
Haroen,
Nasrun, 1997, Ushul Fiqih I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Koto,
Alaiddin, 2009, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Mubarak,
Jaih, 2002, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: PT Remaja
Rosda Karya
Rahman
Dahlan, Abd, 2011, Ushul Fiqih, Jakarta: Amzah
Rahmat,
Jalaluddin, 2007, Dahulukan Akhlak diatas Fiqih, Bandung: PT.Mirzan
Rifai,
Mohammad, 1973, Ushul Fiqih, Bandung: PT. Al-Ma’arif
Syafi’i,
A, 2006, Fiqih Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia
Wahhab
Khallaf, Abdul, Cet VIII 2002, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta:
PT. Grafindo Persada
[1] A. Syafi’i, Fiqih
Ushul Fiqih (Bandung: Pustaka Setia,2006), h.45-47
[2] Nasrun Haroen, Ushul
Fiqih I, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.6-7
[3]
Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih, (Jakarta: PT.
Grafndo Persada, 2002), Cet VIII, h.11
[4] Abd.Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih, (Jakarta: Amzah, 2011), h.21
[5] Satria Effendi,
Ushul Fiqih, (Jakarta: Prenada Media,2005), h.17
[6] Muamar
Al-Qadri, Ushul Fiqih, (Surabaya: CV. Pustaka Media Guru,2020), h.17-18
[7] Mohammad
Rifa’i, Ushul Fiqih, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1973), h.9
[8] Satria Effendi,
Ibid, h.17-18
[9] Alaiddin Koto, Ilmu
Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), Cet III,
h.32
[10] M. Ali Hasan, Perbandingan
Madzhab, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.185
[11]
Jaih Mubarak, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,2000), h.74
[12]
Jalaluddin
Rahmat, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih (Bandung: PT. Mizan, 2007), h.183
[13]
Ibid, h.185
[14] Ibid, h.190
[15] M. Ali Hasan, Ibid,
h.211-212
[16] Ibid, h. 215
[17] Ibid, h.188-193
Tidak ada komentar:
Posting Komentar