Jumat, 27 Juni 2025

YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi

 

YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi

Langkat, 27 Juni 2025 — Yayasan Pendidikan (YASPEND) Ar-Ridha, yang menaungi TK, SD Islam Terpadu, SMP Islam Terpadu, dan Rumah Qur’an Ar-Ridha, menggelar peringatan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H dengan penuh khidmat dan semarak. Acara bertajuk Anugerah Bintang Prestasi ini berlangsung pada Jumat pagi (27/6) di Masjid Ar-Ridha, Desa Pantai Cermin, Kecamatan Tanjung Pura, Kabupaten Langkat.

Kegiatan yang dimulai pukul 08.30 WIB tersebut diawali dengan pembukaan resmi dan pembacaan ayat suci Al-Qur’an oleh siswa, dilanjutkan dengan zikir dan doa bersama sebagai bentuk rasa syukur dan harapan akan keberkahan di tahun baru Hijriyah.

Semarak kegiatan semakin terasa dengan penampilan Hadroh dari siswa Rumah Qur’an Ar-Ridha yang menampilkan shalawat dengan iringan tabuhan rebana. Penampilan ini disambut hangat oleh peserta yang hadir, memberikan semangat dan nuansa islami yang mendalam.

Acara berlanjut dengan tausiyah bertema hijrah spiritual dan peningkatan iman oleh ustadz pembimbing. Dalam ceramahnya, beliau mengajak seluruh peserta untuk menjadikan tahun baru ini sebagai momentum memperbaiki diri, memperkuat akhlak, dan menumbuhkan semangat belajar.

Puncak kegiatan adalah penyerahan Anugerah Bintang Prestasi kepada siswa-siswi terbaik dari seluruh unit pendidikan di bawah naungan YASPEND Ar-Ridha. Penghargaan ini diberikan sebagai bentuk apresiasi terhadap prestasi akademik dan non-akademik, serta sebagai motivasi untuk terus berprestasi dan menjadi teladan dalam akhlak.

Kegiatan diakhiri dengan himbauan dan pemberitahuan dari pihak panitia kepada siswa dan wali murid. Peringatan Tahun Baru Islam kali ini tidak hanya menjadi ajang seremonial, tetapi juga sarana menanamkan nilai keislaman, motivasi belajar, dan semangat untuk hijrah menuju pribadi yang lebih baik.


Rabu, 25 Juni 2025

Siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat

 

Manusia tidak dapat hidup sendiri. Sejak lahir hingga akhir hayat, kita selalu membutuhkan bantuan orang lain. Kita butuh ibu yang melahirkan, bidan yang membantu persalinan, orang tua dalam membesarkan, tetangga saat membutuhkan pertolongan, hingga pengurus jenazah ketika kita wafat.

Oleh karena itu, Islam mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Kita harus menanamkan dalam diri bahwa menolong orang lain adalah bagian dari kehidupan yang tidak bisa dipisahkan.

**Ma'âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,**

Agama Islam sangat menganjurkan untuk saling tolong-menolong dan menjaga tali persaudaraan. Bantulah siapa saja yang membutuhkan, tanpa memandang status sosial, latar belakang pendidikan, bahkan agama. Selama bantuan itu dalam ranah sosial dan kebaikan, maka lakukanlah. Sebaliknya, jika itu berkaitan dengan kejahatan dan keburukan, maka hindarilah.

Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Māidah ayat 2:

**Ma'âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,**

Menolong orang lain, khususnya yang sedang dalam kesulitan, memiliki banyak manfaat baik bagi pemberi maupun penerima, serta masyarakat secara umum.

Nabi shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda:

 (HR. Muslim)

Artinya: “Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh ikut merasakan dengan tidak bisa tidur dan demam.”

Rasulullah juga bersabda:

 (HR. Muslim)

Artinya: “Siapa yang melapangkan satu kesusahan dunia dari seorang Mukmin, maka Allah melapangkan darinya satu kesusahan di hari Kiamat...”

**Ma'âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,**

Dalam hadits lain, Rasulullah memerintahkan umatnya untuk menolong saudara baik saat dizalimi maupun saat ia berbuat zalim:

Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, kami paham menolong orang yang dizalimi, tapi bagaimana mungkin menolong orang yang berbuat zalim?”

Rasulullah menjawab:

Artinya: “Tahanlah ia dari melakukan kezaliman, itulah bentuk pertolongan kepadanya.”

**Ma'âsyiral Muslimîn rahimakumullâh,**

Marilah kita bermurah hati membantu sesama, terutama saudara-saudara kita yang sedang berada dalam kesulitan. Bahkan, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan:

**“Tidak penting apa agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu.”**

Saudara-saudaraku yang dimuliakan,

Dalam sejarah Islam, kita melihat betapa luar biasanya para sahabat Rasulullah ﷺ dalam membantu sesama dan berjuang di jalan Allah. Mereka tidak hanya berbicara tentang keimanan, tetapi mereka membuktikan iman itu dengan pengorbanan harta, tenaga, bahkan jiwa.

Perhatikanlah kisah agung Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, sahabat terbaik Nabi ﷺ. Ketika Rasulullah ﷺ menyeru umat Islam untuk bersedekah dalam rangka mempersiapkan Perang Tabuk, Abu Bakar datang membawa seluruh hartanya. Rasulullah bertanya,

"Apa yang kau sisakan untuk keluargamu, wahai Abu Bakar?"
Dia menjawab dengan penuh keyakinan, "Aku tinggalkan untuk mereka Allah dan Rasul-Nya."

Begitu pula Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia datang membawa separuh hartanya, karena ingin mengungguli Abu Bakar dalam kebaikan. Subhanallah, inilah persaingan dalam kebaikan yang sesungguhnya.

Tidak hanya dalam harta, para sahabat juga berjuang dalam dakwah dan jihad. Lihatlah Mus'ab bin Umair radhiyallahu ‘anhu, pemuda Quraisy yang dahulu hidup mewah, namun memilih meninggalkan semuanya demi menyebarkan Islam di Madinah. Ia wafat sebagai syahid di Uhud, dan saat akan dikafani, tidak ada kain yang cukup untuk menutupi seluruh tubuhnya. Kepalanya ditutupi, kakinya terbuka. Kakinya ditutupi, kepalanya terbuka. Begitu besar pengorbanannya.

Mereka semua memahami satu hal penting: bahwa menolong sesama, membantu yang kesusahan, dan memperjuangkan agama Allah adalah bentuk ketakwaan sejati.

Jamaah Jumat yang berbahagia,

Ketika kita melihat di sekitar kita, begitu banyak saudara-saudara kita yang hidup dalam kesusahan. Ada yang kelaparan, kehilangan pekerjaan, atau ditimpa musibah. Apakah kita akan diam saja?

Rasulullah ﷺ bersabda:

"Barangsiapa melepaskan satu kesusahan dari seorang mukmin di dunia, maka Allah akan melepaskan satu kesusahan darinya pada hari kiamat." (HR. Muslim)

Janganlah kita pelit dalam membantu, baik dengan tenaga, harta, atau sekadar doa dan perhatian. Terkadang, pertolongan kecil yang kita berikan bisa menjadi penyelamat besar bagi orang lain.

Dan jangan lupa untuk terus berjuang di jalan Allah, dengan cara yang sesuai kemampuan kita. Dakwah, pendidikan, sedekah, menjadi orang jujur dalam pekerjaan—semuanya bagian dari perjuangan.

Semoga khutbah ini menjadi pengingat dan motivasi bagi kita untuk terus berbuat baik dan menolong siapa pun yang membutuhkan.

TAHUN BARU ISLAM

 

Sebentar lagi kita akan memasuki Tahun Baru Islam 1447 Hijriah, tepatnya pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Pergantian tahun hijriyah bukanlah sekadar perubahan angka dalam kalender, melainkan merupakan momen yang sangat penting dan mulia untuk kita jadikan sebagai sarana **muhasabah** — yaitu evaluasi dan introspeksi diri terhadap perjalanan hidup yang telah kita lalui selama satu tahun ke belakang.

**Muhasabah** berasal dari kata "hasaba" yang berarti menghitung. Dalam konteks spiritual Islam, muhasabah berarti mengevaluasi diri, menghitung amal dan dosa, dan memperbaiki kesalahan serta kekhilafan yang telah dilakukan. Ini adalah proses yang diajarkan langsung oleh Al-Qur'an dan dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam banyak aspek kehidupannya.

 

Allah berfirman dalam QS. Al-Hasyr ayat 18:

﴿ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨ ﴾ ( الحشر/59: 18)

 

*"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."* (QS. Al-Hasyr: 18)

 

Ayat ini mengandung perintah penting untuk **takwa dan evaluasi diri**, dua hal yang sangat berkaitan erat. Orang yang bertakwa akan selalu mengevaluasi dirinya agar tidak terjatuh dalam kelalaian. Ia sadar bahwa setiap amal akan diperhitungkan di hadapan Allah, sekecil apa pun itu.

 

Muhasabah menjadi penting karena manusia adalah makhluk yang lemah dan mudah terpedaya oleh hawa nafsu, syahwat, dunia, dan bisikan setan. Tanpa muhasabah, seseorang bisa merasa aman dan puas dengan amalnya, padahal bisa jadi ada kekurangan besar dalam niat dan pelaksanaan amal tersebut.

 

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, muhasabah mencakup:

 

1. **Amal ibadah**: Apakah salat kita sudah khusyuk dan tepat waktu?

2. **Hubungan sosial**: Apakah kita sudah bersikap jujur, adil, dan amanah terhadap sesama manusia?

3. **Tanggung jawab pribadi**: Apakah kita telah menunaikan kewajiban sebagai suami/istri, ayah/ibu, anak, pekerja, dan warga masyarakat?

4. **Waktu dan usia**: Apakah kita sudah memanfaatkan waktu sebaik mungkin? Ataukah kita masih sering mengabaikan waktu dengan kesia-siaan?

 

Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah menyatakan bahwa siapa yang melakukan muhasabah dengan baik, maka dia akan mampu memperbaiki kehidupannya secara menyeluruh. Ia akan tahu di mana letak kelemahannya, dan berusaha memperbaikinya dengan istiqamah.

 

Imam Hasan Al-Bashri rahimahullah juga berkata:

 

> *"Orang beriman itu penjaga dirinya. Ia mengevaluasi dirinya karena Allah. Perhitungan di akhirat akan terasa ringan bagi orang yang sudah memperhitungkan dirinya di dunia."*

 

Karena itu, menyambut tahun baru hijriyah bukanlah dengan pesta dan hura-hura, melainkan dengan **merenung dan memperbarui niat**. Seperti halnya perusahaan yang menyusun laporan tahunan, seorang Muslim pun harus menyusun 'laporan amalnya' secara jujur dan bertanggung jawab.

**3. Spirit Hijrah Sebagai Landasan Perubahan**

Jamaah yang berbahagia,

Tahun Baru Hijriyah erat kaitannya dengan peristiwa **Hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Peristiwa ini bukan hanya perpindahan secara fisik dari satu tempat ke tempat lain, tetapi merupakan **transformasi besar** dalam sejarah umat Islam. Inilah momen di mana pondasi masyarakat Islam dibentuk, tidak hanya dengan spiritualitas, tetapi juga melalui aspek sosial, politik, ekonomi, dan budaya.

Hijrah adalah simbol **perubahan dan pembaruan**, dan menjadi inspirasi utama bagi kita dalam menyambut tahun baru Islam. Spirit hijrah mengajarkan kepada kita bahwa untuk meraih kejayaan, diperlukan pengorbanan, keteguhan hati, serta perencanaan matang dan ketundukan total kepada Allah.

Dalam konteks kekinian, **spirit hijrah** dapat kita terapkan dalam berbagai aspek:

1. **Hijrah dari maksiat ke taat**

   Tinggalkan segala bentuk dosa dan keburukan, baik yang besar maupun kecil, dan berusaha menuju taat yang konsisten. Tahun baru adalah waktu tepat untuk taubat nasuha.

2. **Hijrah dari malas menjadi produktif**

   Seringkali kita menunda amal shalih dan menyia-nyiakan waktu. Spirit hijrah mendorong kita menjadi pribadi yang aktif, kreatif, dan disiplin.

3. **Hijrah dari sifat individualis ke peduli sosial**

   Rasulullah membangun masyarakat Madinah dengan prinsip saling menolong, saling menjaga, dan adil. Ini menjadi dasar dalam membangun masyarakat yang harmonis.

4. **Hijrah dalam skala komunitas dan bangsa**

   Kita juga perlu mendorong hijrah dalam skala yang lebih luas: dari sistem yang tidak adil menuju sistem yang adil; dari ekonomi yang timpang menjadi ekonomi yang merata; dari infrastruktur yang lamban menjadi pelayanan yang tangguh dan cepat.

Jamaah yang mulia,

Perubahan yang hakiki dimulai dari **diri sendiri**. Allah berfirman dalam QS. Ar-Ra'd ayat 11:

ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْ... ١١ ﴾ ( الرّعد/13: 11)

> *"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."*

Jika kita ingin tahun baru ini menjadi titik balik perubahan, maka kita harus mulai dari niat dan langkah konkret untuk memperbaiki diri.

Kita harus menyadari bahwa waktu tidak akan pernah menunggu. Umur terus berjalan, dan ajal bisa datang kapan saja. Maka siapa yang hari ini tidak lebih baik dari kemarin, ia termasuk orang yang rugi.

**Penutup:**

Mari jadikan Tahun Baru Islam 1447 Hijriah ini sebagai awal perubahan besar dalam hidup kita. Hijrahkan hati kita dari lalai menjadi sadar, hijrahkan keluarga kita dari jauh dari agama menjadi dekat dengan masjid, hijrahkan lingkungan kita dari permisif menjadi peduli dan bermartabat.

 

Semoga Allah memberkahi langkah kita, menerima tobat kita, dan menetapkan kita dalam jalan kebaikan hingga akhir hayat.

 

Amin. Ya Rabbal ‘Alamin.

Selasa, 24 Juni 2025

“Kampus Keluarga Besar”

 

“Kampus Keluarga Besar”

Di sebuah kota kecil, berdirilah Kampus Kembang Ilmu—dulu harum namanya, harum pula prestasinya.
Sampai suatu hari, Pak Magnus diangkat menjadi Rektor. Warga kampus menyambut gembira, sebab kabarnya beliau “visioner.”

Tapi tak lama, papan pengumuman dipenuhi nama-nama baru:

PosisiNama BaruHubungan dengan Rektor
Dosen Tetap FilsafatBu MelatiIstri
Dosen Tetap KimiaMas AngkasaPutra
Dosen Tetap SejarahMbak CempakaPutri
Dosen Tetap SeniOm KenangaKakak ipar
Dosen Tetap BahasaKeponakan DahliaKeponakan

Mahasiswa berbisik, “Sepertinya kampus kita sudah ganti nama: Kampus Keluarga Besar.”

Bab I – Sesi Kuliah

  • “Selamat pagi,” sapa Bu Melati di kelas Filsafat.
    “Hari ini kita bahas Etika Nepotisme Modern.”
    Mahasiswa menahan tawa, sebab slide pertama berbunyi:

    “Nepotisme? Asal semua senang, apa salahnya?”

  • Mas Angkasa mengajar Kimia, tapi tabel periodiknya tertukar dengan silsilah keluarga.
    Mahasiswa yang bertanya soal valensi malah disuruh hafal nama sepupu.

  • Om Kenanga memberi ujian Seni. Soalnya:

    “Gambarkan betapa tampannya Pak Magnus saat rapat senat.”

Nilai yang tinggi tentu hanya milik mereka yang menggambar hidung Pak Magnus dengan sudut terbaik.

Bab II – Reuni Akbar Akreditasi

Tim asesor datang. Mereka bertanya,
“Publikasi ilmiah terkini?”
Mbak Cempaka menjawab, “Kami punya jurnal keluarga—Jurnalia Saudara—semua editor bersaudara!”

Asesor tercengang, akreditasi pun meluncur turun layaknya daun gugur. SK pengumuman tiba: Akreditasi C.
Spanduk lama yang bertuliskan “Unggul dan Mandiri” diganti:

“Unggul dalam Persaudaraan, Mandiri dalam Penilaian Sendiri.”

Bab III – Bisik-bisik Perpustakaan

Di pojok perpustakaan, dua mahasiswa berdiskusi:

A: “Kalau begini terus, skripsi kita diterima enggak ya?”
B: “Tenang, asal judulnya tentang kejayaan keluarga Magnus, pasti lulus.”

Dan begitulah, judul-judul skripsi bermunculan:
“Pengaruh Kumis Pak Magnus terhadap Motivasi Akademik Mahasiswa”
“Strategi Silaturahmi sebagai Kurikulum Inti”

Epilog

Pada akhirnya, Kampus Kembang Ilmu merindukan masa kejayaannya.
Suatu malam, patung di halaman—dulu melambangkan Dewi Pengetahuan—berbisik tertiup angin:

“Ilmu tak pernah pilih kasih;
Yang merawatnya haruslah bersih.”

Namun patung itu kini dikelilingi papan nama baru bertuliskan:
“Didonasikan oleh Keluarga Besar Magnus—dengan penuh kebanggaan.”

Minggu, 15 Juni 2025

SD IT Ar-Ridha Tegakkan Budaya Bersih: Sediakan Tong Sampah Demi Sekolah Sehat dan Nyaman

SD IT Ar-Ridha Tegakkan Budaya Bersih: Sediakan Tong Sampah Demi Sekolah Sehat dan Nyaman


Langkat — Dalam upaya menciptakan lingkungan belajar yang bersih, sehat, dan nyaman, SD IT Ar-Ridha mengambil langkah nyata dengan menyediakan sejumlah tong sampah di berbagai sudut sekolah. Langkah ini merupakan bagian dari komitmen sekolah untuk menanamkan kesadaran lingkungan dan kedisiplinan sejak dini kepada seluruh siswa.

Kepala SD IT Ar-Ridha, Dr. H. Muamar Al Qadri, M.Pd, menyampaikan bahwa pendidikan bukan hanya tentang pelajaran di kelas, tetapi juga tentang pembentukan karakter dan kebiasaan positif. Salah satunya adalah menjaga kebersihan lingkungan sekolah sebagai tanggung jawab bersama.

“Kami ingin membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga peduli terhadap kebersihan dan kesehatan. Sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan dan sehat, karena dari situlah semangat belajar tumbuh,” ujar beliau.

Lingkungan Bersih, Belajar Jadi Nyaman

Dengan adanya tong-tong sampah yang disediakan di tempat strategis seperti halaman, lorong kelas, dan kantin sekolah, siswa diharapkan dapat terbiasa membuang sampah pada tempatnya. Inisiatif ini juga melibatkan guru dan staf sekolah dalam mengawasi serta memberikan contoh langsung kepada siswa.

“Kami terus mengingatkan siswa bahwa membuang sampah pada tempatnya adalah bagian dari akhlak mulia. Ini adalah bentuk cinta kita kepada lingkungan dan rasa syukur atas fasilitas sekolah yang kita nikmati,” tambah Dr. Muamar.

Program kebersihan ini juga didukung dengan kegiatan rutin seperti gotong royong mingguan, edukasi lingkungan melalui cerita dan permainan, serta penilaian kelas terbersih yang diumumkan setiap bulan sebagai bentuk motivasi.

Menjadi Teladan dan Inspirasi

Langkah SD IT Ar-Ridha ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi sekolah-sekolah lain bahwa membangun budaya bersih dimulai dari kesadaran kecil namun konsisten. Dengan lingkungan yang bersih, para siswa dapat belajar dengan lebih nyaman, sehat, dan produktif.

“Mari kita jadikan sekolah sebagai rumah kedua yang kita jaga bersama. Kebersihan adalah awal dari kenyamanan dan kemajuan,” pungkas Kepala Sekolah.

Sabtu, 31 Mei 2025

Hajjah Maslurah Wafat

 

Hajjah Maslurah Wafat

Pada tahun 1320 H, Tuanku Hajjah Maslurah—istri dari almarhum Sultan Musa Al-Muazzamsyah sekaligus ibu dari Sultan Abdul Aziz Abdul Jalil Rahmatsyah—meninggal dunia di Tanjung Pura. Untuk mengenang kepergian beliau, selama 40 hari 40 malam dilaksanakan tahlilan dan pembacaan Al-Qur’an di makam beliau. Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Tuan Guru Syekh Abdul Wahab bersama putra-putranya.

Di masa berkabung tersebut, shalat berjamaah pun tetap dilaksanakan secara rutin di Istana, dengan imam yang bergantian antara Tuan Guru Syekh Abdul Wahab dan Zakaria H. Bakri.

Usai masa 40 hari itu, Sultan Abdul Aziz menyampaikan kepada Tuan Guru bahwa semasa hidup, ibundanya secara rutin memberikan bantuan berupa 100 rupiah dan 1.000 gantang padi setiap bulan untuk mendukung perjuangan dakwah Tuan Guru. Oleh karena itu, Sultan berjanji akan melanjutkan niat mulia tersebut dengan meningkatkan bantuannya menjadi 350 rupiah dan 30 kaleng padi setiap bulan. Ia pun menyampaikan harapan tulusnya, “Saya berharap Tuan Guru dapat menggantikan ibu dan ayah saya, serta membimbing dan menunjukkan saya jalan dunia dan akhirat.”

Namun, pada 1 Muharram 1346 H (1 Juli 1927 M) pukul 03.20 dini hari, Sultan Abdul Aziz wafat di Istana Darul Aman, Tanjung Pura, setelah berjuang melawan penyakit sesak napas. Beliau wafat pada usia 54 tahun dan dimakamkan di Tanjung Pura, berdekatan dengan makam ayahanda dan ibundanya di sekitar Masjid Azizi—dikenal pula sebagai kompleks makam almarhum Darul Aman.

Keteguhan dan Kewaspadaan Tuan Guru

Sejak Tuan Guru Syekh Abdul Wahab memimpin Kampung Babussalam, daerah itu berkembang menjadi wilayah yang makmur dan religius, sehingga pengaruh beliau kian besar. Kondisi ini menimbulkan kekhawatiran di pihak Belanda yang saat itu masih berkuasa. Sebagai langkah politik untuk meredam pengaruh Tuan Guru, pemerintah kolonial mencoba meraih simpatinya dengan cara memberikan penghargaan.

Pada 1 Jumadil Awal 1347 H (1929 M), Asisten Residen Van Aken bersama Sultan Abdul Jalil Rahmatsyah menghadiahkan sebuah bintang kehormatan yang terbuat dari emas kepada Tuan Guru. Sebelum acara penyerahan, Sultan terlebih dahulu memberikan uang kepada Tuan Guru agar membeli pakaian khusus yang layak dikenakan dalam upacara tersebut. Acara berlangsung di Madrasah Besar dan dihadiri banyak tamu undangan. Dalam acara itu pula, Syekh Abdul Wahab dipercaya menjadi imam shalat dan memimpin perpindahan arah kiblat.

Namun, di balik pemberian itu, terselip pesan tersirat dari Raja Belanda yang disampaikan oleh utusannya: penghargaan tersebut merupakan isyarat agar pengaruh keagamaan tidak dikembangkan secara berlebihan, karena dianggap dapat mengancam kekuasaan kolonial.

Tuan Guru, yang bijak dan berhati-hati, tidak terpengaruh oleh penghargaan tersebut. Beliau menyadari bahwa bintang emas itu adalah bentuk tipu daya penjajah. Maka, bintang itu tidak pernah beliau pakai, dan hanya disimpan di rumah hingga akhirnya dikembalikan kepada Sultan setelah wafatnya beliau.

Dalam suatu kesempatan di hadapan para pembesar kerajaan, Tuan Guru menyampaikan nasihat mendalam, “Lihatlah, kerajaan Belanda yang jahat ini berniat menjebak kita melalui pekerjaan duniawi. Jangan sampai hal-hal dunia membuat kita lalai dari tujuan akhirat.”

Beliau melanjutkan, “Bintang itu ibarat cemeti yang mengingatkan kita untuk lebih bersungguh-sungguh dalam menjunjung perintah Tuhan, lebih tekun belajar, dan menjauhi hal-hal yang dilarang. Bila semua ajaran yang telah saya sampaikan diteruskan oleh saudara-saudara, maka saya pun akan merasa tenang. Sebab bintang ini bukanlah penghargaan, melainkan isyarat halus untuk meningkatkan kesungguhan kita dalam beribadah.”

Meski usianya sudah sangat lanjut dan kondisi fisiknya semakin lemah, Tuan Guru tetap istiqamah dalam menjalankan ibadah tanpa henti.

Rahasia Keberhasilan Tuan Guru

Keberhasilan Tuan Guru Syekh Abdul Wahab dalam membangun masyarakat terletak pada tiga pilar utama:

a. Latar belakang yang kuat dan spiritual.
Beliau lahir dan besar di desa, dalam lingkungan keluarga yang religius. Kesederhanaan, keikhlasan, serta kerendahan hatinya menjadi fondasi utama dalam membentuk jiwa kepemimpinan dan keteladanan. Pendidikan ini menempa beliau menjadi pribadi yang gigih, sabar, dan istiqamah dalam menghadapi tantangan.

b. Konsistensi antara ucapan dan tindakan.
Tuan Guru tidak pernah mengajarkan sesuatu yang belum beliau amalkan sendiri. Beliau menganjurkan banyak berzikir, shalat, sedekah, puasa sunnah, serta hidup sederhana—semua itu beliau teladankan secara nyata kepada murid-muridnya.

c. Bergantung hanya kepada Allah.
Beliau tidak pernah mengandalkan kekuatan makhluk. Backing sejatinya adalah Allah SWT—Maha Kuasa, Kekal, dan Abadi. Ketergantungan total kepada Tuhan ia wujudkan dalam ibadah yang penuh kesungguhan dan keikhlasan.


Seluruh uraian mengenai keteladanan, prinsip hidup, serta warisan pemikiran dan perjuangan Tuan Guru Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam) sebagaimana telah dipaparkan, bersumber dari buku Biografi Ulama Besar Langkat: Syekh Abdul Wahab (Tuan Guru Babussalam) yang diterbitkan oleh Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Langkat, halaman 108–111. Buku ini menjadi dokumen historis penting yang merekam jejak perjuangan beliau dalam membina umat dengan pendekatan agama yang kuat, sederhana, dan penuh keikhlasan.

Senin, 05 Mei 2025

Tata Cara Sholat Jenazah







Makna dan Tata Cara Ibadah Kurban dalam Islam

Pengertian Kurban

Kata kurban berasal dari bahasa Arab "Qaruba–Yaqrubu–Qurbanan" yang berarti “dekat”. Maksudnya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan melaksanakan perintah-Nya.

Menurut syariat Islam, kurban adalah menyembelih hewan ternak tertentu pada hari Idul Adha dan hari-hari Tasyrik (11–13 Zulhijjah) sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Ini didasarkan pada firman Allah:

"Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu dan berkurbanlah."
(QS. Al-Kautsar: 2)


Hukum Berkurban

Mayoritas ulama (jumhur) menyatakan bahwa hukum berkurban adalah sunnah muakkadah bagi muslim yang mampu, berdasarkan hadis:

"Aku diperintahkan untuk menyembelih kurban, dan itu adalah sunnah bagi kalian."
(HR. Tirmidzi no. 1496)

Namun, jika seseorang bernazar (berjanji) untuk berkurban, maka hukumnya menjadi wajib.


Syarat Orang yang Berkurban

  1. Muslim

  2. Baligh dan berakal

  3. Mampu secara finansial

  4. Bukan dalam keadaan musafir (menurut sebagian pendapat)


Jenis dan Syarat Hewan Kurban

Jenis Hewan Kurban

  • Kambing/Domba: 1 ekor untuk 1 orang

  • Sapi/Kerbau: 1 ekor bisa untuk 7 orang

  • Unta: 1 ekor bisa untuk 7 orang

Syarat Hewan Kurban

  • Hewan ternak, bukan liar.

  • Tidak cacat: buta, pincang, sakit, atau sangat kurus.

  • Usia minimal:

    • Unta: 5 tahun

    • Sapi: 2 tahun

    • Kambing: 2 tahun

    • Domba: 1 tahun
      (Sesuai hadis riwayat Muslim no. 1963 dan fikih empat mazhab)


Waktu dan Tempat Penyembelihan

Penyembelihan dilakukan mulai 10 Zulhijjah setelah salat Idul Adha, hingga 13 Zulhijjah (hari Tasyrik). Disunnahkan tempat penyembelihan berada dekat dari lokasi pelaksanaan salat Id.


Sunnah-Sunnah dalam Berkurban

  • Tidak memotong kuku dan rambut sejak awal Zulhijjah hingga hewan disembelih (HR. Muslim no. 1977)

  • Sebaiknya yang berkurban menyembelih sendiri jika mampu

  • Daging kurban dibagikan dalam keadaan mentah, bukan matang


Tata Cara Penyembelihan

  1. Niat karena Allah SWT

  2. Gunakan alat yang tajam

  3. Bacalah basmalah, takbir, dan shalawat

  4. Hadapkan hewan ke arah kiblat

  5. Potong tenggorokan dan dua urat lehernya
    (HR. Bukhari & Muslim)


Hikmah dan Manfaat Kurban

  • Menghilangkan sifat tamak dan egois

  • Melatih keikhlasan dan ketaatan

  • Menumbuhkan rasa syukur

  • Mempererat silaturahmi dan kepedulian sosial

  • Meningkatkan gizi masyarakat

  • Menghidupkan sunnah Nabi Ibrahim a.s.


Daftar Rujukan

  1. Al-Qur’an surah Al-Kautsar: 2

  2. Shahih Muslim no. 1963 dan 1977

  3. Shahih Bukhari no. 5558

  4. Sunan Tirmidzi no. 1496

  5. Fikih Sunnah oleh Sayyid Sabiq

  6. Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab oleh Imam Nawawi

  7. Ensiklopedi Fiqih (Kuwait), Juz 5

BUKU USHUL FIQIH DR. H. MUAMAR AL QADRI, M.Pd

 

 

KATA PENGANTAR

 

 

Segala puji bagi Allah Swt. Salawat dan salam kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya yang telah memberi taufiq dan hidayah-Nya sehingga diktat Fikih-Usul Fikih ini telah selesai penyusunannya. Semoga dapat membantu pengadaan bahan bacaan di kalangan mahasiswa  Fakultas Ilmu Tarbiyah  STAI Jam’iyah Mahmudiyah.

Usul fikih merupakan ilmu alat yang paling mendasar bagi peminat  studi hukum Islam untuk mengantarkan mereka pada pemahaman yang akurat menuju realisasi hasilnya fikih yang benar.

Sementara itu, pada dataran realitas, ada semacam kesulitan bagi mahasiswa, utamanya tingkat pemula,  mempelajari fikih - usul fikih. Gejala  keengganan mendalami bidang ini juga terasa, karena orang terlanjur  merasa  “takut”.  Padahal ilmu ini mengasyikkan dipelajari kalau disikapi secara tepat. Mempertimbangkan argumentasi az-Zuhaili di atas dan menyadari kebutuhan mahasiswa pada penyajian fikih-usul fikih yang  mudah dipahami bagi tingkat pemula, diktat ini kemudian dihadirkan untuk menyahutinya. Apalagi bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan yang selalu berkecimpung di tengah masyarakat, diktat ini Sengaja disesuaikan dengan kurikulum agar pembahasannya sekaligus memenuhi kewajiban akademis, baik bagi mahasiswa maupun dosen pengajar, guna mencapai Tujuan


 

Pembelajaran Umum (TPU), yaitu: “Agar mahasiswa mengetahui dan memahami  fikih- usul fikih sebagai alat untuk mengistinbatkan hukum dari Alquran dan Hadis dengan menggunakan kaedah-kaedahnya”.

Mengingat luasnya masalah yang bertalian dengan pokok bahasan yang telah diterapkan, maka pada beberapa bagian ada materi-materi yang dipersempit dan ada yang dikembangkan yang dianggap erat kaitannya dengan pokok yang dimaksud

Namun demikian, apa yang dapat dikemukakan dalam buku ini tentunya  belum sempurna jika ditinjau dari sudut luasnya kajian Fikih-Ushul Fikih. Sadar akan keterbatasan penulis, sumbang saran yang konstruktif akan sangat penulis hargai. Demikian, semoga bermanfaat.

 

 

 

Tanjung Pura,   Januari2020

Penulis,

 

H. Muamar Al Qadri, M.Pd


 

DAFTAR ISI

 

Halaman

 

KATA PENGANTAR........................................................................................

i

DAFTAR ISI.......................................................................................................

iii

BAB    I         PENDAHULUAN........................................................................

1

A. Definisi Ilmu Fikih-Usul Fikih................................................

1

B. Objek Kajian Fikih-Usul Fikih................................................

5

C. Ruang Lingkup (Sistematika)..................................................

6

D. Tujuan dan Kegunaan Fikih dan Usul Fikih............................

9

E. Perbedaan Fikih dan Usul Fikih...............................................

11

F. Sejarah dan Perkembangan Fikih-Usul Fikih..........................

13

BAB    II       HUKUM DAN DALIL - DALIL HUKUM................................. .

19

A. Pengertian Hukum dan Dalil-Dalil Hukum..............................

19

B. Pembagian Hukum Islam..........................................................

19

1. Taklifi ..................................................................................

21

2. Wad`i ...................................................................................

23

C. Dalil-Dalil Hukum Islam..........................................................

24

1. Muttafaq `Alaihi (disepakati)...............................................

24

2. Ghairu Muttafaq `Alaihi (tidak disepakati).........................

38

BAB    III      IJTIHAD ITTIBA` DAN TAQLID.............................................. ....

45

A. Pengertian Ijtihad.....................................................................

45

B. Pengertian Ittiba`.....................................................................

48

C. Pengertian Taqlid.....................................................................

50

BAB    IV      KAEDAH-KAEDAH USHULIYYAH........................................

53

A. Pengertian Kaedah Usuliyyah ................................................

53

                        B. `Am dan Khas........................................................................

53

                        C. Amr dan Nahi ........................................................................

55

D. Mutlaq dan Muqayyad..............................................................

58

BAB    V       KAEDAH-KAEDAH FIQHIYYAH .............................................

61

A. Definisi Kaedah Fiqhiyyah.......................................................

61

B. Urgensi Kaedah Fiqhiyyah........................................................

62


 

 

 

C. Perbedaan Kaidah Fiqhiyyah dengan Kaidah Ushuliyyah........

63

D. Kaedah Asasiyyah.................................................................... .

64

BAB

VI

MAQASID AL-SHAR`IYYAH........................................................

67

 

 

A. Pengertian Maqasid al-Shar`iyyah .........................................

67

 

 

B. Pembagian Maqasid al-Shar`iyyah .........................................

67

 

 

C. Kedudukan Maqasid al-Shar`iyyah…………………………...

71

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................


BAB I

 

PENDAHULUAN

 

 

 

 

1.       Definisi Ilmu Fikih dan Ilmu Usul Fikih

 

Pengertian ilmu fikih sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu ilmu  dan fikih dapat dilihat sebagai nama suatu bidang disiplin ilmu dari ilmu-ilmu  Syari`ah. Kata “ilmu” secara mutlak memuat  tiga kemungkinan arti, pertama, rangkaian permasalahan atau hukum-hukum (teori-teori) yang dibahas dalam  sebuah  bidang ilmu tertentu. Kedua, idrak (menguasai)1 masalah-masalah  ini atau mengetahui hukumnya dengan cara yang meyakinkan. Akan tetapi pengertian seperti ini sesungguhnya hanya terbatas pada masalah akidah, adapun  dalam  hukum-hukum fikih tidak disyaratkan mengetahui dengan cara demikian, cukup dengan dugaan kuat saja. Ketiga, pemahaman awal tentang suatu permasalahan melihat tampilan luarnya. Misalnya dengan istilah ilmu nahu, orang akan paham bahwa yang dibahas adalah sekitar permasalahan kebahasaan seperti mubtada` itu marfu’, atau dengan  istilah ilmu fikih orang lalu paham bahwa pokok bahasannya adalah sekumpulan hukum- hukum syari`ah praktis, dan sebagainya.


Dilihat  dari  sudut  bahasa,  fikih  berasal  dari  kata  faqaha  (فقه  )  yang  berarti “memahami” dan “mengerti”. Dalam peristilahan syar`i, ilmu fikih dimaksudkan sebagai ilmu yang berbicara tentang hukum-hukum syar`I amali (praktis) yang

1Hans Wer mengulas kata idrak dengan memberikan arti sebagai reaching, attaintment, achievement, accompilshment, realization, perception, discernment, awareness and consciousness (Wer, 1980:279).


 

penetapannya diupayakan melalui pemahaman yang mendalam terhadap dalil- dalilnya  yang terperinci (al-tafsili)  dalam  Alquran dan hadis.2                                                   Sedangkan “fikih”


menurut istilah adalah:


 

Artinya : Himpunan hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diambil dari dalil-dalilnya yang terperinci.

sebagaimana dikemukakan oleh al-Jurjani4 adalah sebagai berikut:

 

Artinya: Ilmu tentang hukum syara` tentang perbuatan manusia (amaliah) yang diperoleh melalui dalil-dalilnya yang terperinci.

Hukum syar`i yang dimaksud dalam defenisi di atas adalah segala perbuatan yang diberi hukumnya itu sendiri dan diambil dari syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Adapun kata `amali dalam defenisi itu dimaksudkan sebagai penjelasan bahwa yang menjadi lapangan pengkajian ilmu ini hanya yang berkaitan dengan perbuatan (`amaliyah) mukallaf dan tidak termasuk keyakinan atau iktikad (`aqidah) dari mukallaf itu. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil-dalil terperinci (al-tafshili) adalah dalil-dalil yang terdapat dan terpapar dalam nash di mana satu per satunya menunjuk pada satu hukum tertentu.5


Sebagai perbandingan, al-Kasani mendefinisikan fikih sebagai ilmu halal dan haram, ilmu syariat  dan hukum. Pengertian seperti ini menggambarkan secara

2Hasbi al-Shiddiqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: CV. Mulia, 1967), hlm. 17. Lihat juga Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : Proyek Pembinanan Perguruan Tinggi Agama IAIN, 1981) hlm. 10, Abd. Al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta : Al-Majlis al-A`la al-Indonesia li al-Dakwah al- Islamiyah, 1972) hlm. 11. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh (sebuah Pengantar), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 2.

3Rachmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 19.  4Kamal Mukhtar, dkk., Ushul Fiqh I, (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, 1995), hlm. 2. 5Alaiddin Koto, Ibid..


 

sederhana bidang kajian fikih yang umumnya bicara tentang halal atau  haramnya  suatu perbuatan tertentu. Sementara itu Abu Hanifah  sebagaimana dikutip6, menyebut fikih sebagai pengetahuan diri tentang apa yang  menjadi hak dan kewajibannya. Kemudian dijelaskan bahwa ada satu penekanan yang melekat pada fiqh, yaitu pencapaiannya yang berdasarkan zann (dugaan kuat) sehingga ulama (terutama usuliyyin) menyebut fikih sebagai bab dugaan (al-fikih min bab az-zunun).

Adapun Kata “Usul al-fikih” terdiri dari dua kata, yaitu “Usul” dan “al- Fikihyang dipakai menjadi nama sesuatu tertentu dan kata-kata tersebut tidak terlepas dari makna dasar setiap kata sebelum disatukan menjadi nama sesuatu tertentu itu.7

Dilihat dari sudut tata bahasa Arab, rangkaian kata ushul dan fikih tersebut dinamakan tarkib idhafi, sehingga dua kata itu memberi pengertian ushul bagi fikih, Usul ) أصول) adalah bentuk jamak dari kata asl  ( اصو) yang menurut bahasa diartikan dengan dasar suatu bangunan atau tempat suatu bangunan.8 Asl berarti dasar, seperti dalam kalimat “Islam didirikan atas lima usul (dasar atau fondasi)”. Masih banyak pengertian yang dapat diambil dari kata asl seperti, cabang, yang kuat, fondasi suatu bangunan dan seterusnya. Jadi Usul fikih berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fikih. Akan tetapi pengertian yang lazim digunakan dalam ilmu  usul  fikih  adalah dalil, yang berarti usul fikih adalah dalil-dalil bagi fikih.

Sedang menurut istilah, asl dapat berarti dalil (landasan  hukum),  seperti dalam ungkapan “asl dari wajibnya salat adalah firman Allah dan Sunnah Rasul”.


6Wahbah az-Zuhaili, Usul al-Fiqh al-Islami, jilid 1, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1986) hlm.19.

7Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, Al-Ihkam fi Usul al-Ahkam, (Beirut : Dar al- Kutub al-Arabi, 1404 H.) hlm. 9

8Muhammad Abu Zahrah, Malik Hayatuh wa `Ara`uh wa Fiqhuh, (Kairo: Dar al-Fikr al-`Araby, tt.), hlm. 7


 

Maksudnya ialah bahwa dalil yang menyatakan salat itu  wajib  adalah ayat  Alquran dan Sunnah Rasulullah.

Berdasarkan pengertian tiga kata (ilmu usul fiqh) di atas, maka pengertiannya sebagai rangkaian kata adalah mengetahui dalil-dalil bagi hukum syara’ mengenai perbuatan dan aturan-aturan untuk pengambilan hukum-hukum dari dalil-dalil yang terperinci.9 memberi pengertian usul fiqh sebagai berikut:

العلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الى استفادة االحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية

 

Artinya: Ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum- hukum syara` mengenai perbuatan manusia (amaliah) dari dalil-dalil yang terperinci.

Maksud dari kaedah-kaedah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan, yakni bahwa kaedah-kaedah tersebut merupakan cara atau jalan yang harus digunakan untuk memperoleh hukum-hukum syara’, sebagaimana yang terdapat di dalam rumusan pengertian usul fikih yang dikemukakan oleh Jumhur ulama, sebagai berikut:


ِ َية  من األدلَة.


القواعد التي يتوصل بها استنباط األحكام الشر


 

artinya: Himpunan kaidah (norma-norma) yang berfungsi sebagai alat penggalian hukum syara` dari dalil-dalilnya.

Upaya mendeduksi hukum-hukum fikih dari indikasi-indikasi yang terdapat dalam sumber-sumbernya merupakan tujuan pokok usul fikih, dan fikih semacam ini merupakan produk akhir dari usul fikih, tetapi keduanya merupakan dua hal yang masing-masing berdiri sendiri.

 

 


9Abd. Al-Wahhab Khallaf, op.cit., hlm.12.


 

Pengertian yang lebih detail dikemukakan oleh Muhammad Abu  Zahrah, ilmu usul fikih adalah ilmu yang menjelaskan cara-cara yang harus ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam menetapkan hukum dari dalil-dalil yang berupa nas-nas syara’ dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya.10

B.      Objek Kajian Fikih dan Usul Fikih

 

Objek pembahasan dalam ilmu fikih adalah perbuatan mukallaf dilihat dari sudut hukum syara`.11 Perbuatan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok besar : ibadah, muamalah, dan `uqubah.

Pada bagian ibadah tercakup segala persoalan yang pada pokoknya berkaitan dengan urusan akhirat. Artinya, segala perbuatan yang dikerjakan dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah, seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.

Bagian muamalah mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harta, seperti jual-beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, amanah, dan harta peninggalan. Pada bagian ini juga dimasukkan persoalan munakahat dan siyasah.

Bagian `uqubah mencakup segala persoalan yang menyangkut tindak pidana, seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, pemberontakan dan  lain-lain.  Bagian ini juga membicarakan hukuman-hukuman, seperti qisas, had, diyat dan ta`zir. 12

Objek kajian Usul Fikih Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ulama usul fikih di atas, seorang ahli fikih dan usul fikih dari Syiria, Wahbah az-Zuhaili13 mengatakan bahwa yang menjadi objek kajian usul fikih adalah dalil-dalil (sumber- sumber)   hukum  syar’i   yang  bersifat  umum   yang  digunakan  dalam menemukan


10Sekalipun Ali  Hasaballah  ketika menawarkan  definisinya  pada  ilmu ini  menyebut istilah

‘Ilm al-Usul, kiranya tidak ada perbedaan sebab maksudnya sama persis.

11Abdul Wahhab Khallaf, op.cit., hlm. 12.

12Alaiddin Koto, op.cit., hlm. 5.

13Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm.27.


 

kaidah-kaidah yang  global dan hukum-hukum syar’i yang digali dari dalil-dalil tersebut. Pendapat ini sedikit berbeda dengan kebanyakan ahli usul yang biasanya membatasi hanya pada  dalil-dalilnya  saja,  sementara  Wahbah  az-Zuhaili kelihatannya lebih teknis dan lebih operasional.

Pembahasan tentang dalil ini adalah secara global, baik tentang macam- macamnya, rukun atau syarat, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.  Sementara dalam ilmu usul fikih tidaklah dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan.

C.     Ruang Lingkup (Sistematika) Fikih dan Usul Fikih

 

Ruang lingkup fikih secara umum mencakup dua bidang, yaitu fikih ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti shalat, zakat, haji, memenuhi nazar, dan membayar kafarat terhadap pelanggaran sumpah. Kedua, fikih muamalah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya. Kajiannya mencakup seluruh bidang  fikih selain persoalan ubudiyah, seperti ketentuan- ketentuan jual beli, sewa menyewa, perkawinan, jinayah dan lain-lain.14

Sementara itu, Musthafa A.Zarqa membagi kajian fikih mejadi enam bidang,

 

yaitu :

 

1)  Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiyah, seperti shalat, puasa, dan ibadah haji, inilah yang kemudian disebut fikih ibadah.

2)  Ketentuan –ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian, nafkah, dan ketentuan nasab. Inilah yang kemudian disebut ahwal as-syakhsiyah.

 

 

 

 


14Hafsah, Pembelajaran Fikih, (Bandung: Citapustaka media, 2013) hlm. 5.


 

3)  Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara umat Islam dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti  jual  beli, sewa menyewa, dan gadai. Bidang ini kemudian disebut fikih muamalah.

4)  Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan sangsi-sangsi terhadap tindak kejahatan kriminal. Misalnya, qiyas, diat, dan hudud. Bidang ini disebut dengan fikih jinayah.

5)  Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan warga negara dengan pemerintahannya. Misalnya, politik dan birokrasi. Pembahasan ini dinamakan fikih siyasah.

6)  Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur etika pergaulan antara seorang muslim dengan lainnya dalam tatanan kehidupan sosial. Bidang ini disebut Ahkam khuluqiyah. 15

Ruang lingkup pembahasan Usul fikih dinyatakan oleh al-Amidiy, sebagai berikut :

ولما كانت مباحث األصللين فى علم االصل  التخرج عن احلا  األدلة الملصلة الى االحكام الشرعية

 

المبحلث عنها فيه، واقسامها، واختالف مراتبها وكيفية استثمار االحكام الشرعية عنها على وجه كلى 16.

 

Pernyataan diatas menyebutkan bahwa ruang lingkup pembahasan usul fikih tidak keluar dari pembahasan dalil-dalil untuk memperoleh hukum syara`, pembahasan pembagian dalil-dalil, perbedaan tingkatan dan urutannya, dan upaya mendeduksi hukum-hukum syari`at dari dalil-dalilnya.

Secara garis besarnya ruang lingkup pembahasan usul fikih terdiri dari:

 

 


15Dede Rosyada, Hukum Islam dan pranata Sosial, (Jakarta : Raja Grafindo, 1992) hlm. 65-

76.

16Abu al-Hasan `Ali ibn Muhammad al-Amidi, op.cit., hlm. 10.


 

1.                 Pembahasan dalil-dalil sam`iyyat (Alquran dan Sunnah) dalam rangka penetapan hukum-hukum syara`

2.                  Pembahasan hukum-hukum syara` dari segi penetapan dari dalil-dalilnya.

 

Muhammad    Abu    Zahrah    menyebutkan    bahwa    ruang    lingkup pembahasan usul fikih terdiri dari :

1.                  Hukum-hukum syar`i

 

2.                 Yang menetapkan bukum, yaitu Allah Swt. dan cara-cara mengetahui hukum- hukum Allah, yaitu mengetahui dalil-dalil dan mengetahui sumber-sumber syari`at untuk mengetahui hukum-hukum syara`.

3.                  Cara-cara istinbat.

 

4.                  Al-Mustanbit (mujtahid).

 

Pengetahuan tentang kaedah-kaedah interpretasi cukup penting dalam memahami nas hukum secara tepat, karena memahami nas Alquran dan sunnah secara tidak tepat menimbulkan tidak adanya hukum yang dapat dideduksi dari padanya, terutama bila nas itu bukan merupakan dalil yang berdiri sendiri. Pemahaman yang memadai tentang metodologi dan kaedah-kaedah interpretasi lebih diharapkan akan sampai pada ketepatan pemakaian nalar dalam suatu sistem hukum yang bersumber dari wahyu Allah Swt. Dengan demikian akan tercapai tujuan puncak usul fikih, yaitu untuk sampai pada pengetahuan hukum-hukum syar`iyyah dan dengan hukum-hukum syar`iyyah itulah diperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.

Usul fikih juga memuat pokok bahasan tentang sumber-sumber hukum syara’ baik yang disepakati kehujjahannya, yaitu Alquran dan Sunnah, maupun yang diperselisihkan sebagai dalil hukum syara’, seperti istihsan, maslahah mursalah,


 

istihsab dan lain-lain. Dalam pembahasan tentang Alquran dan Sunnah, usul fikih melakukan kajian dari segi lafaznya baik dalam bentuk amr, nahy, ‘am, khas, mutlaq dan muqayyad.

Lebih lanjut usul fikih membahas lafaz amr dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib, lafaz nahy dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan haram, lafaz  umum (‘am) yang  menunjukkan terhadap semua  yang dapat dimasukkan dalam pengertian tersebut, begitu juga lafaz-lafaz  lainnya harus digunakan terhadap sasaran yang ditunjukkannya. Kesemuanya dituangkan dalam kaidah-kaidah yang disebut Kaidah Hukum Umum (Hukum Kuli) yang diambil dari dalil kulli17

Di samping ruang lingkup tersebut di atas, usul fikih mempunyai sasaran  dasar, yaitu mengatur ijtihad dan menuntun faqih dalam upaya mendeduksi hukum dari sumber-sumbernya. Kebutuhan terhadap usul fikih merupakan ilmu yang sangat penting ketika orang-orang yang tidak memenuhi syarat berusaha melakukan ujtihad, sehingga akibat terjadinya kekeliruan dalam pengeluaran hukum dapat dihindari.

D.     Tujuan dan Kegunaan fikih dan Usul Fikih

 

Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa tujuan akhir yang hendak dicapai dari ilmu fikih adalah penerapan hukum syariat kepada amal perbuatan manusia, baik tindakan maupun perkataannya.18 Dengan mempelajarinya orang akan tahu  mana yang diperintah dan mana yang dilarang, mana yang sah dan mana yang batal, mana yang halal dan mana yang haram, dan lain sebagainya. Ilmu ini diharapkan muncul sebagai rujukan bagi para hakim pada setiap keputusannya, bagi para ahli hukum di

 


 

2-3.


17M.Asywadie Syukur, Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih, (Surabaya: P.T. Bina Ilmu, 1990),

 

18Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 14.


 

setiap pendapat dan gagasannya, dan juga bagi setiap mukallaf pada umumnya dalam upaya mereka mengetahui hukum syari`at dari berbagai masalah yang terjadi akibat tindak tanduk mereka sendiri.19

Kegunaan fikih adalah untuk merealisasikan dan melindungi kemaslahatan  umat manusia, baik kemaslahatan individu maupun masyarakat. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam hukum Islam menyangkut  seluruh aspek kepentingan manusia. Aspek-aspek kepentingan manusia itu, menurut para ulama dapat diklasifikasikan menjadi tiga aspek yaitu : dharuriyyat (primer) hajjiyat  (sekunder) dan tahsiniyyat (stabilitas sosial).

Usul fikih mengandung dua tujuan pokok, yaitu: Pertama, menerapkan kaidah-kaidah yang  ditetapkan oleh ulama-ulama terdahulu untuk menentukan bahwa sesuatu masalah baru; yang tidak ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab terdahulu. Kedua, mengetahui lebih mendalam bagaimana upaya dan metode yang harus ditempuh dalam merumuskan kaidah, sehingga berbagai masalah yang muncul dapat ditetapkan hukumnya20

Adapun kegunaan usul fikih adalah sebagai berikut:

 

1.                  Untuk mengetahui kaidah-kaidah dan metodologi ulama-ulama mujtahid dalam mengistinbatkan hukum.

2.                  Untuk memantapkan pemahaman dalam mengikuti pendapat ulama mujtahid, setelah mengetahui alur berpikir yang dipergunakannya.

3.                  Dengan memahami metode yang dikembangkan para mujtahid, dapat menjawab berbagai kasus-kasus hukum yang baru.

 


19Alaiddin Koto, op.cit., hlm. 10.

20Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 14-15.


 

4.                  Dengan memahami usul fikih, hukum agama terpelihara dari  penyalahgunaan dalil.

5.                  Berdaya guna untuk memilih pendapat yang terkuat di antara berbagai pendapat, berikut dengan alasan-alasannya.

Bila dicermati, penjelasan di atas mengarah pada dua kelompok orang, yakni jika memang berkecimpung secara praktis dalam  hukum  Islam,  maka  memahami usul fikih akan sangat bermanfaat bagi para mujtahid untuk meminimalisir kesalahan mengambil keputusan hukum. Bagi peminat studi hukum Islam khususnya, juga bagi segenap umat Islam umumnya, usul fikih membuat kita dapat beramal ilmiah.21

E.      Perbedaan Fikih dan Usul Fikih

 

Dari uraian di atas terlihat perbedaan yang nyata antara ilmu fikih dan ilmu  usul fikih. Kalau ilmu fikih berbicara tentang hukum dari sesuatu perbuatan,  maka ilmu ushul fikih bicara tentang metode dan proses bagaimana menemukan hukum itu sendiri. Atau dilihat dari sudut aplikasinya, fikih akan menjawab pertanyaan “apa hukum dari suatu perbuatan”, dan ushul fikih akan menjawab pertanyaan “bagaimana proses atau cara menemukan hukum yang digunakan sebagai jawaban permasalahan yang dipertanyakan tersebut”. Oleh karena itu, fikih lebih bercorak  produk sedangkan ushul fikih lebih bermakna metodologis. Dan oleh sebab itu, fikih terlihat sebagai koleksi produk hukum, sedangkan ushul fikih merupakan koleksi metodis yang sangat diperlukan untuk memproduk hukum.22

Untuk mengetahui perbedaan mendasar antara usul fikih dengan fikih, maka terlebih dahulu dikemukakan ruang lingkup fikih. Adapun ruang lingkup

 


21Wahbah az-Zuhaili, op.cit., hlm. 31.

22Prof.Dr.H.Alaiddin Koto, M.A., ibid., hlm. 4-5.


 

pembahasan fikih meliputi semua perbuatan mukallaf, yakni  perbuatan-perbuatan yang menyangkut hubungannya dengan Tuhan, dengan keluarga dengan masyarakat dan negara, baik berupa ketaatan maupun pelanggaran.

Untuk menetapkan hukum perbuatan mukallaf tersebut, baik menyangkut ibadah, mu’amalah, munakahat maupun jinayah, ulama fikih menyesuaikan/mengembalikannya kepada hukum kulli yang ditetapkan oleh usul fikih. Begitu juga dalil yang digunakan oleh ulama fikih sebagai dalil juz`i, harus disesuaikan dengan dalil-dalil yang dibuat oleh ulama usul fikih.23

Dapat dipahami bahwa usul fikih membahas dalil kulli yang menghasilkan hukum kulli; sedang ulama fikih menjadikannya sebagai dasar/rujukan dalam kasus- kasus tertentu. Sebagai contoh: usul fikih menetapkan “al-amr li al-wujub”, maka semua nas yang menunjukkan amr adalah menunjukkan wajib.  Amr  adalah  dalil  kulli, sedang wujub (ijab) adalah hukum kulli. Dalam Alquran surah al-Ma`idah ayat  1 terdapat amr untuk menepati janji. Nas ayat tersebut adalah dalil juz`i, sedang hukum yang dikandungnya (wajib menepati janji) adalah hukum juz`i.

Dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup usul fikih adalah sumber- sumber/dalil-dalil hukum, jenis-jenis hukum, cara istinbat hukum dan ijtihad dengan berbagai permasalahannya. Dalam kaitan ini usul fikih membahas dalil kulli yang menghasilkan hukum kulli. Sedang fikih, ruang lingkupnya adalah semua perbuatan mukallaf dari segi hukum syara’. Dalam hubungan ini fikih membahas  dalil  juz`i yang menghasilkan hukum juz`i. Cukup jelas bahwa usul fikih menjadi dasar hukum fikih.

 

 


23M.Asywadie Syukur, op.cit., hlm. 3


 

F.    Sejarah dan Perkembangan Fikih dan Usul Fikih

 

Pertumbuhan usul fikih tidak terlepas dari pertumbuhan fikih sejak periode Rasulullah saw sampai tersusunnya usul fikih sebagai suatu ilmu. Ketika Rasulullah masih hidup tuntunan yang  diperlukan dan jalan keluar untuk berbagai masalah diselesaikan dengan baik, baik melalui wahyu maupun putusan langsung dari Rasulullah. Ketika itu sumber hukum Islam hanya Alquran dan Sunnah. Hukum yang ditetapkan dalam Alquran atau Sunnah terkadang dalam bentuk jawaban dari suatu pertanyaan atau karena munculnya suatu kasus.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah saw menetapkan hukum dengan menggunakan qiyas; antara lain ketika menjawab pertanyaan Umar bin Khattab, apakah batal puasa seseorang yang mencium isterinya. Rasulullah saw bersabda (maknanya) “Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa apakah puasamu batal? Umar menjawab:  Tidak apa-apa (tidak batal), Rasulullah saw bersabda: Teruskan puasamu” (H.R. Bukhari, Muslim dan Abu Daud).

Cara Rasulullah saw dalam menetapkan hukum seperti dalam hadis di atas merupakan cikal bakal munculnya ilmu usul fikih, bahkan para ulama usul fikih menyatakan bahwa keberadaan usul fikih bersamaan dengan munculnya hukum fikih sejak periode Rasulullah saw.24

Dekatnya para sahabat dari masa hidup nabi dan pengetahuan mereka yang mendalam mengenai berbagai peristiwa memberikan kewenangan kepada mereka untuk memutuskan masalah-masalah praktis tanpa adanya kebutuhan mendesak terhadap metodologi.

 


24Nasrun Haroen, Ushul Fikih 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm.7.


 

Pada periode sahabat muncul bermacam peristiwa yang belum pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Untuk menetapkan hukumnya para sahabat harus berijtihad. Dalam berijtihad, adakalanya dihasilkan kesepakatan pendapat di antara para sahabat yang  kemudian dinamakan ijma’ dan terkadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan asar.25 Dengan demikian, munculnya usul fikih telah berlangsung sejak zaman Rasulullah  saw, semakin  jelas dan eksis  pada  masa Sahabat. Penggunaan usul fikih semakin berkembang pada masa  Sahabat, oleh tuntutan peristiwa yang semakin beragam dan bertambah rumit.

Setelah Rasulullah saw wafat, ijtihad para sahabat sudah merupakan sumber hukum. Di antara contoh ijtihad sahabat periode sahabat bahwa Umar bin Khattab tidak menjatuhkan hukum potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan, mengingat yang bersangkutan mencuri karena darurat/terpaksa.26

Contoh lain, ketika Ali bin Abi Thalib berpendapat bahwa hukuman  orang yang meminum khamar disamakan dengan hukuman orang yang melakukan qazab (menuduh orang lain berbuat zina), yaitu  80 kali dera. Ali bin Abi  Thalib mengemukakan argumentasi bahwa orang yang minum khamar akan mabuk, orang yang mabuk akan mengigau. Bila sudah mengigau, ucapannya tidak terkontrol dan akan menuduh orang lain berbuat zina.27

Pada periode sahabat sering terjadi perbedaan pendapat (perbedaan ijtihad) dalam menetapkan hukum suatu masalah; antara lain tentang ‘iddah seorang wanita yang sedang hamil dan suaminya meninggal. Menurut Umar bin Khattab, ‘iddahnya sampai lahir anak berdasarkan Alquran surah at-Thalaq ayat 4. Sedang menurut Ali


25M.Asywadie Syukur, op.cit., hlm. 5. 26Kamal Mukhtar, dkk., op.cit., hlm. 13. 27Nasrun Haroen, op.cit., hlm. 8.


 

bin Abi Thalib dipilih ‘iddah yang paling lama di antara ‘iddah yang hamil dengan ‘iddah kematian suami (4 bulan 10 hari menurut surah al-Baqarah ayat 234), yakni bila lahir anak sebelum 4 bulan 10 hari maka ‘iddahnya harus ‘iddah kematian suami (4 bulan 10 hari), tetapi bila sesudah 4 bulan 10 hari, anak belum  lahir  maka ‘iddahnya harus sampai lahir anak.28

Hasil-hasil ijtihad sahabat pada periode ini belum dibukukan sehingga belum dapat dianggap sebagai ilmu, hanya sebagai pemecahan masalah terhadap kasus yang mereka hadapi. Oleh sebab itu hasil ijtihad mereka belum disebut fikih/usul  fikih.  Pada periode sahabat, sumber-sumber hukum Islam adalah Alquran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Memasuki masa tabi’in, tabi’ut tabi’in dan imam-imam mujtahidin (abad kedua dan ketiga Hijriyah), daerah yang dikuasai umat Islam semakin luas dan cukup banyak bangsa yang non Arab memeluk agama Islam. Dengan demikian kemungkinan munculnya berbagai kasus yang  belum pernah terjadi pada masa sebelumnya semakin besar.

Mengingat banyaknya kejadian dan problem yang  muncul  ke  permukaan yang perlu mendapat penyelesaian hukum, maka ulama-ulama tabi’in dan  imam-  imam mujtahidin terpanggil melakukan ijtihad untuk menetapkan hukum masing- masing kasus tersebut. Pada kurun ini mereka bukan  hanya  membahas  hukum tentang kejadian/peristiwa yang muncul, bahkan mereka perluas mencakup kasus- kasus yang mungkin terjadi pada masa-masa mendatang; sehingga pembahasan hukum fikih cukup luas.

 

 

 


28Muhammad al-Khudari, Tarikh al-Tasyri` al-Islamy, (Mesir: al-Maktabat al-Tijariyat al- Kubra, 1965),     hlm. 120.


 

Pada periode ini telah dimulai gerakan pembukuan fikih, Sunnah dan ilmu- ilmu lainnya. Dalam menuliskan  pendapat tentang hukum-hukum fikih mereka lengkapi dengan dalil-dalil pendapat tersebut baik dari Alquran atau dari Sunnah maupun sumber-sumber lainnya seperti ijma’, qiyas, istihsan, mashlahah mursalah dan lain-lain.

Pada masa ini, ulama-ulama yang berkecimpung dalam ilmu fikih (digelar fuqaha) dan ilmu pengetahuan mereka disebut fikih. Tercatat dalam sejarah hukum Islam bahwa yang  pertama sekali mengambil inisiatif membukukan hukum  fikih adalah Imam Malik bin Anas dalam kitabnya “Muwatta”. Dalam kitab ini beliau mengumpulkan hadis-hadis sahih (menurut pandangannya), fatwa-fatwa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Berarti Muwatta Imam Malik29 adalah kitab hadis dan  fikih.30 Kitab ini menjadi pegangan ulama-ulama Hijaz.

Kemudian muncul Imam Abu  Yusuf sahabat Abu  Hanifah menyusun beberapa kitab fikih yang menjadi pegangan ulama-ulama Irak. Muncul pula Imam Muhammad bin al-Hasan (sahabat Abu  Hanifah)  menulis  kitab “Zahiru ar Riwayat as Sittahyang dikumpulkan oleh al-Hakim al-Syahid dalam kitabnya al-Kafi, disyarahkan oleh as-Sarkhasi dalam kitabnya al-Mabsut” sebagai rujukan mazhab Hanafi. Berikutnya al-Imam Muhammad bin Idris al-Syafi’i di Mesir menyusun kitab “al-Ummyang menjadi pegangan mazhab Syafi’i. Pada kitab-kitab  yang  disusun oleh Imam-imam mujtahid tersebut di atas, tercantum dalil-dalil hukum serta wajah istidlalnya sebagai suatu bagian dari Ilmu usul fikih dengan  catatan  belum merupakan ilmu tersendiri.

 


29Imam Malik sendiri memang dikenal sebagai pakar, baik pada ilmu hadis maupun fikih.

30Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 260


 

Para ahli usul fikih menganggap bahwa yang mula-mula mengumpulkan dan menyusun ilmu Usul fikih adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya  al-Risalah”.31 Ulama-ulama yang muncul sesudahnya berusaha melanjutkan dan menyempurnakan karya Imam Syafi’i ini, seperti Ahmad bin Hanbal,  ulama-ulama  Hanafiyah, Malikiyah maupun Syafi’iyah.32

Imam Syafi`i memiliki kekayaan pemikiran di bidang hukum dan melakukan pendalaman argumentasi mengenai masalah-masalah metodologis, tetapi karya-karya yang telah ada tidak terlepas dari perbedaan pendapat yang harus di saring melalui pedoman-pedoman yang disusun oleh Imam Syafi`i dalam teori hukumnya.

Ditulisnya kitab ar-Risalah yang secara khusus membahas tentang Usul fikih yang diakui secara luas bahwa kitab tersebut merupakan karya otoritas  pertama dalam bidang usul fikih, karena tepatlah apabila dikatakan bahwa fikih mendahului usul fikih,

sebab sepanjang abad pertama tidak ada kebutuhan yang mendesak terhadap usul fikih, dan baru abad kedua perkembangan-perkembangan penting terjadi di bidang ini.

Dengan meluasnya wilayah Islam, Imam Syafi`i  menjumpai  kontroversi antara ahli hukum Madinah dan ahli hukum Iraq, yang dikenal sebagai Ahl al-Hadis dan Ahli al-Ra`y. Imam Syafi`i mengkhawatirkan tercemarnya kemurnian syari`at Islam dan bahasa Alqur`an, maka disusunnyalah kitab al-Risalah, yang merumuskan pedoman ijtihad dan menguraikan kaedah-kaedah Usul fikih.


31Abdul Halim al-Jundi (1966:273-293), mengelaborasi latar belakang Syafi’i yang memungkinkannya menjadi wadi’ al-usul dalam banyak halaman bukunya, dan secara khusus membahas dan menunjukkan sistematisasi al-Risalah yang membuktikan kitab tersebut pantas disebut sebagai kitab usul fikih pertama.

32Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 15-17.


 

Imam al-Raziy menyatakan bahwa kesepakatan tentang penyusun Usul fikih yang pertama ialah Imam Syafi`i, dialah yang menyusun bab-babnya, menjelaskan urutan dalil dari segi kekuatan dan kelemahannya.33

Ibn Khaldun juga menyatakan bahwa yang  pertama  menyusun  Usul  fikih ialah Imam syafi`i, yang ditulisnya dalam al-Risalahnya, membicarakan amr, nahy, bayan, khabar, naskh dan kemudian Fuqaha` Hanafiyyah mentahqiq  qawa`id tersebut, demikian pula dengan mutakallimin.34

Pada mulanya kitab yang ditulis oleh Imam Syafi`i mengenai Usul fikih tidak disebutnya al-Risalah, tetapi dinamakannya dengan al-Kitab, dan dinamakan al- Risalah pada masanya, karena disampaikannya kepada `Abd al- Rahman ibn Mahdiy.35

Imam al-Syafi`i menulis al-Risalah dua kali, pertama sebelum beliau pergi ke Mesir, yang dikenal dengan al-Risalah al-Qadimah. Dan yang kedua pada saat beliau berada di Mesir, yang  dikenal dengan al-Risalah al-Jadidah. Yang ditemukan sekarang hanyalah al-Risalah al-Jadidah, dan merupakan kitab pertama yang ditulis dalam Usul fikih.

 

BAB II

HUKUM DAN DALIL-DALIL HUKUM

A.      Pengertian Hukum

 

Para ahli ushul menta`rifkan hukum dengan :

خطاب هللا المتعلق بأفعا  المتكلفين طلبا أوتخييرا أو وضعا

 

 


 

hlm.55.


33Fakhruddin ar-azi, Al-Mahsul fi ilmi Ushul al-Fiqh, (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988),

 

34Ibn Khaldun, Mukaddimat, ( t.t.: Maktabat Mustafa Mahmud, t.th.) hlm. 455.

35Al-Syafi`I, al-Risalah, (Mesir : Syirkah Ma`tabah wa Mathba`ah Mustafa al-Baaby al-


Khalaby wa Auladih, 1970), hlm. 12.


 

Artinya : Perintah Allah Swt. yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan ( perintah dan larangan) atau pilihan (kebolehan) atau wadh`i (menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat dan penghalang bagi suatu hukum).

Dari definisi di atas menunjukkan bahwa yang menetapkan hukum itu adalah Allah Swt. hanya Allah hakim yang maha tinggi dan maha kuasa, Rasulullah penyampai hukum-hukum Allah kepada manusia. Oleh karena Allah yang menetapakan hukum, maka sumber hukum yang pertama dan paling utama adalah wahyu Allah yaitu Alquran, kemudian sunnah Rasul sebagai sumber hukum yang ke dua dan sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad.

B.      Pembagian Hukum Islam

 

Pada dasarnya hukum Islam dibagi menjadi lima dasar yaitu :

1)   Wajib (fardhu)

Wajib (fardhu) adalah suatu keharusan, yakni segala perintah Allah Swt. yang harus kita kerjakan. Di bawah ini ada beberapa pembagian dalam hukum Islam yang disebut wajib (fardhu) :

a.                  Wajib Syar`i adalah suatu ketentuan yang apabila dikerjakan mendatangkan pahala, sebaliknya jika ditinggalkan terhitung dosa. Contohnya salat lima waktu sehari semalam.

b.                 Wajib Akli adalah suatu ketetapan hukum yang harus diyakini kebenarannya karena masuk akal atau rasional. Contohnya adanya alam ini menunjukkan ada yang menciptakan.

c.                  Wajib Aini adalah suatu ketetapan yang harus dikerjakan oleh setiap muslim antara lain salat lima waktu, salat jum`at, puasa wajib bulan Ramadhan dan lain sebagainya.

d.                 Wajib Kifayah adalah suatu ketetapan yang apabila sudah dikerjakan oleh sebagian orang muslim, maka orang muslim lainnya terlepas dari kewajiban itu. Akan tetapi jika tidak ada yang mengerjakannya, maka berdosalah semuanya. Contohnya adalah mengurus jenazah mulai dari memandikan, mengkafankan, mensalatkan dan memakamkannya.


 

e.                  Wajib Mukhayyar adalah suatu kewajiban yang boleh dipilih salah satu dari bermacam pilihan yang telah ditetapkan untuk dikerjakan. Contohnya tebusan apabila kita berhubungan suami istri pada siang hari di bulan Ramadhan, boleh memilih antara memerdekakan hamba atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin.

2)   Sunnah

Sunnah adalah perkara yang apabila dikerjakan akan mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak berdosa. Dibawah ini ada beberapa pembagian dalam hukum Islam yang disebut sunnah :

a.                  Sunnah Muakkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan. Misalnya, salat tarawih dan salat Idul Fitri.

b.                 Sunnah Ghairu Muakkad adalah sunnah biasa. Misalnya, memberi salam kepada orang lain, dan puasa pada hari senin kamis.

c.                  Sunnah Haiah adalah perkara-perkara dalam salat yang sebaiknya dikerjakan, seperti mengangkat kedua tangan ketika takbir, mengucap Allahu Akbar ketika ruku`, sujud dan sebaginya.

d.                 Sunnah Ab`ad adalah perkara-perkara dalam salat yang harus dikerjakan, dan kalau terlupakan maka harus menggantinya dengan sujud sahwi, seperti membaca tasyahud awal dan sebagainya.

3)   Haram

Haram adalah suatu perkara yang dilarang mengerjakannya, seperti minum- minuman keras, mencuri, judi dan lain sebagainya. Apabila dikerjakan terhitung dosa, sebaliknya jika ditinggalkan memperoleh pahala.

4)   Makruh

Makruh adalah sesuatu hal yang tidak disukai/diinginkan. Akan tetapi apabila dikerjakan tidak berdosa, dan jika ditinggalkan berpahala, seperti merokok, dan lain sebagainya.

5)   Mubah

Mubah adalah suatu perkara yang apabila dikerjakan atau ditinggalkan tidak berpahala dan juga tidak berdosa.

1.         Taklifi


 

Hukum Taklifi ialah hukum yang : 1) menuntut mukallaf melakukan perbuatan. 2) menuntut mukallaf meninggalkan perbuatan, atau 3) menuntut mukallaf memilih antara melakukan atau meninggalkan perbuatan.

2.   Macam-macam hukum taklifi

Berdasarkan isi tuntutannya berikut ini macam-macam hukum taklifi adalah sebagai berikut :

1)    Contoh hukum taklifi yang menuntut mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan. Berpuasa di bulan Ramadhan, seperti terlihat jelas dalm QS. al-Baqarah/2: 183.

ياأيها الذين أمنلا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقلن ( البقرة : 381 ) berpuasa kamu atas Diwajibkan ! beriman yang orang-orang Wahai : Artinya

sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa’.

·         Melakukan ibadah haji bagi yang mampu. Cermati QS. Ali Imran/ 3:97.

 

 

 

فيه أيات بينات مقام ابراهيم ومن دخله كان امنا وهلل على الناس حج البيت من استطاع إليه سبيال ومن كفر فإن

) 79 : عمران  ا( . العالمين عن غنى هللا Artinya : Dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan

perjalanan kesana.

2)    Contoh hukum taklifi yang menghendaki mukallaf untuk meninggalkan perbuatan, makan bangkai, darah, dan daging babi. Seperti tertera dalam QS. al-Maidah /5:3.

.... الخنزير ولحم والدم الميتة عليكم حرمت Artinya : Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi.

·         Berkata tidak sopan kepada kedua orang tua, seperti tersurat dalam QS. al- Isra`/17:23

 

.أف لهما  تق فال Artinya: Maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan

ah”.

Dua contoh ayat tersebut berisi larangan yang tegas, sehingga kita tidak diperbolehkan mengerjakannya.

3)       Contoh hukum taklifi yang membebaskan mukallaf untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan perbuatan.


 

·         Seusai melaksanakan salat Jum`at, kita dibebaskan untuk bertebaran atau berdiam diri di rumah. Lihat surah al-Jumu`ah/62:10 berikut :

 

فإذا قضيت الصالة فانتشروا فى األرض وابتغلا من فض  هللا واذكروا هللا كثيرا لعلكم تفلحلن )31( bumi. di kamu bertebaranlah maka dilaksanakan, telah salat Apabila Artinya:

·         Mengqasar salat ketika bepergian jauh seperti tertera dalam QS. an- Nisa`/4:101 berikut :

وإذا ضربتم فى األرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصالة إن خفتم أن يفتنكم الذين كفروا إن الكافرين

مبينا عدوا لكم كانلا Artinya:  Dan  apabila  kamu  bepergian  di  bumi,  maka  tidaklah  berdosa  kamu

mengqasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir.

Berdasarkan ketegasan isi tuntutannya, melihat definisi di atas, maka hukum taklifi bisa berupa tuntutan (thalabun), Meninggalkan (tarkun) atau memilih (takhyirun). Sementara isi ketiga hal tadi bisa jadi disampaikan tegas (sharih) atau tidak tegas. Jika tuntutan disampaikan secara tegas maka menjadi haram, jika tuntutan meninggalkan disampaikan secara tidak tegas maka menjadi makruh, jika tuntutan memilih antara melakukan atau meninggalkan maka menjadi mubah.

2. Wadh`i

Hukum wadh`i ialah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai suatu sebab adanya yang lain, atau syarat bagi sesuatu yang lain, atau penghalang (mani`) adanya sesuatu yang lain. Jadi, jenis hukum wadh`i adalah sebab, syarat dan penghalang (mani`).

1.  Sebab ialah sesuatu yang oleh syari` (pembuat hukum, Allah) dijadikan sebagai sebab adanya sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya. Ketiadaan sebab menjadikan sesuatu yang lain menjadi tidak ada. Dalam hukum, keberadaan sebab bersifat mutlak. Ketiadaan sebab menjadikan hukum tidak ada. Contohnya, kewajiban salat menjadi sebab kewajiban mengambil wudu`, mencuri menjadi sebab adanya hukum potong tangan, atau orang yang berhasil memenangkan peperangan menjadi sebab kebolehan merampas harta benda musuh.

2.  Syarat ialah sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum. Dengan tidak adanya syarat, hukum pun menjadi tidak ada. Misalnya, kemampuan


 

melakukan perjalanan ke Baitullah merupakan syarat adanya kewajiban haji bagi seorang mukallaf, kehadiran saksi dalam akad pernikahan merupakan syarat bagi sahnya akad nikah dan wudu sebagai syarat untuk sahnya shalat.

3.  Penghalang (mani`) ialah sesuatu yang keberadaannya dapat meniadakan atau membatalkan hukum. Mani` hanya muncul ketika sebab dan syarat itu telah tampak secara jelas. Contohnya, si anak adalah ahli waris dari orang tuanya, namun, ia bisa tidak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya karena ada penghalang (mani`). Penghalang itu bisa berupa kemurtadan si anak atau kematian orang tuanya yang disebabkan pembunuhan oleh si anak.

C.      Dalil hukum Islam

 

Dalil secara bahasa artinya petunjuk pada sesuatu yang bersifat material maupun yang bersifat non material.Sedangkan menurut istilah dalil adalah suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum syara` yang bersifat praktis, baik yang kedudukannya qath`i (pasti) atau dzanni (relatif).

Dalil ditinjau dari segi asalnya terbagi dua :

a.   Dalil Naqli yaitu dalil-dalil yang berasal dari nash langsung. Yaitu Alquran dan Hadis. Dalil naqli yang bersumber dari Alquran ini merupakan dalil yang sudah jelas dan kebenarannya tidak diragukan lagi, karena berasal dari Allah Swt. dan dijamin kemurnian dan keasliannya. Demikian juga dalil naqli yang berasal dari Hadis yang merupakan ucapan, perbuatan dan pengakuan Rasulullah Saw. yang selamanya berada dalam bimbingan Allah Swt.

b.  Dalil Aqli yaitu dalil-dalil yang berasal bukan dari nash langsung, akan tetapi dengan menggunakan akal pikiran manusia yaitu ijtihad. Pendapat lainnya yang mengemukakan, bahwa sumber hukum islam berasal dari potensi-potensi sumber ilahi dan insani atau dengan kata lain sumber naqliyah dan aqliyah. Dalil aqli yang bersumber dari potensi insani dengan menggunakan akal pikirannya yang berupa ijtihadi muncul apabila hukum tersebut tidak dapat ditemukan pada dalil naqli. Oleh karenanya Allah dan Rasulnya memberikan kewenangan kepada potensi


 

insani yang berupa akal untuk menggali sehingga mampu menemukan serta menetapkan hukumnya, namun tetap hal ini yang menjadi sandaran pokoknya adalah Alquran dan hadis.

Dalil-dalil hukum (sumber pengambilan hukum) terbagi kepada dua yaitu :

1)    Dalil hukum Muttafa (disepakati) yaitu Alquran, Sunnah, ijma` dan qiyas.

2)        Dalil hukum Ghairu Muttafa` (tidak disepakati) yaitu Istihsan, Istishab, Maslahatul mursalah, saddu al-Zara`i.

·       Dalil hukum Muttafa` (disepakati) :

 

1.   Alquran

Alquran menurut sebagian ahli, diantaranya al-Syafi`i (150-204 H / 67-820 M), al-Farra` (207 H / 823 M), dan al-Asy`ari (206-324 H / 873-935 M), bahwa kata Alquran ditulis dan dibaca tanpa hamzah.36

Menurut al-Lihyani (w. 215 H/831 M) dan al-Zajjaj (w. 311 H / 298 M), bahwa kata Alquran sewazan (sepadan) dengan fu`lan dan karenanya harus dibaca dan ditulis ber-hamzah, meskipun dalam qira`at ada yang membacanya dengan Quran tanpa hamzah itu semata-mata karena pertimbangan teknis yang lazim disebut dengan mengalihkan harakat hamzah (fathah) kepada huruf yang sebelumnya (ra) yang sukun.

Seperti halnya perbedaan para pakar bahasa arab mengenai tulisan dan bacaan Alquran, mereka juga berbeda persepsi tentang asal-usul kata Alquran. Ada yang mengatakan bahwa Alquran adalah ism `alam (nama benda) yang tidak diambil dari kata apapun. Menurut as-Syafi`i kata Alquran yang kemudian di ma`rifah-kan dengan `alif lam tidak diambil dari kata apapun, mengingat Alquran adalah nama khusus yang diberikan Allah Swt. untuk nama Kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. semisal Zabur bagi Nabi Daud as., Taurat bagi Nabi Musa as., dan Injil bagi Nabi Isa as.37

 

 


36Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Alquran, jilid 1, cet.1, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2000) hlm. 18

37Pembahasan lebih jauh mengenai bacaan, tulisan, dan asal-usul kata Alquran dapat dibaca dalam al-Suyuthi, al-Itqan fi `Ulum Alquran, jilid 1, (Beirut-Libanon : Dar al-Fikr, tt.), hal. 51, Manna al-


 

Pendapat lain, bahwa kata Quran yang kemudian di ma`rifat-kan dengan `alif lam itu adalah ism musytaq (kata jadian) yang diambil dari kata lain, hanya saja, mereka berlainan pendirian mengenai kepastian asl kata Alquran tersebut. Ada pula yang mengatakan diambil dari kata qara`in jama` dari kata qarinah, yang berarti indikator, juga ada yang menduga berasal dari kata qarana dan al-qar`u / al-qaryu, yang masing-masing berarti menggabungkan dan kumpulan / himpunan yang juga bermakna kampung (kumpulan rumah-rumah).38

Para ahli ilmu-ilmu Alquran pada umumnya berasumsi bahwa kata Quran berasal dari kata qara`a-yaqra`u-qira`atan-wa qur`anan, yang secara harfiah berarti “bacaan”. Kata Quran sebanding dengan kata fu`lan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swat. Dalam surah al-Qiyamah ayat 17-18 yang berbunyi:

Artinya:

“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan membuatmu pandai membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu”.39

Arti Alquran secara terminologi ditemukan dalam beberapa perumusan. Menurut Syaltut Alquran adalah lafaz Arabi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang dinukilkan kepada kita secara mutawatir. Menurut Syaukani Alquran adalah kalam Allah Swt. yang diturunkan kepada Nabu Muhammad Saw. yang tertulis dalam bentuk mushaf, dinukilkan secara mutawatir. Sedangkan menurut Abu Zahrah Alquran adalah kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw.40

Dengan menganalisa dan membandingkan defenisi yang lain tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Alquran secara terminologi ialah “Lafaz yang berbahasa Arab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang dinukilkan secara mutawatir”. Sedangkan menurut sebagian besar ulama Usul fikih, Alquran adalah “kalam Allah Swt. yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada penutup para Nabi dan Rasul melalui perantara malaikat Jibril, yang dinukilkan kepada generasi


Qaththan, Mabahits fi `Ulum Alquran, (Riyadh : Mansyurat al-`Ashar al-Hadis, 1393 H/1973 M.) hlm. 20 : Shubhi al-Shalih, Mabahits fi `Ulum Alquran, (Beirut-Libanon: Dar al-`Ilm li al-Falayin, 1988) hlm. 18-19, dan Masyfuk Zuhdi, Pengantar `Ulumul Qur`an, (Surabaya: Bina Ilmu, 1982) hlm.2

38Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 19

39Disebutkan pula dalam Alquran (56) : 77 dan (69) ;36

40Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, cet II, ( Jakarta : Bumi Aksara, 1992), hlm.

24


 

sesudahnya secara mutawatir, ditulis dalam masahif, membacanya merupakan ibadah, dimulai dari surat al-Fatihah dan ditutup dengan surat al-Nash”.41

Dari beberapa definisi Alquran tersebut, maka ia mengandung beberapa unsur pokok yang menjelaskan hakikat dari Alquran itu :

1.                 Alquran itu berbentuk lafaz yang mengandung arti bahwa lafaz tersebut sampai kepada kita sesuai dengan apa yang disampaikan Allah Swt. melalui malaikat Jibril, namun dilafazkan oleh Nabi Saw. sendiri tidaklah disebut Alquran (seperti hadis Qudsi).

2.                 Alquran itu berbahasa Arab yang berarti jika dialih bahasakan ke dalam bahasa lainnya bukanlah Alquran.

3.                 Alquran itu diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. yang mengandung arti bahwa wahyu Allah Swt. yang disampaikan kepada nabi-nabi terdahulu tidaklah disebut Alquran. Sebaliknya apa-apa yang dikisahkan dalam Alquran tentang kehidupan dan syari`at yang berlaku bagi ummat terdahulu adalah Alquran.42

4.                 Alquran dinukilkan secara mutawatir yang mengandung arti bahwa ayat-ayat Alquran tidak diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. sekaligus berupa satu kesatuan mushaf, namun dinukilkan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu.

Alquran yang diturunkan secara berangsur-angsur selama sekitar 23 tahun, dimana 13 tahun diturunkan di Makkah sebelum nabi Muhammad Saw. hijrah ke Madinah dan 10 tahun diturunkan di Madinah setelah Nabi hijrah ke Madinah atau dalam masa 22 tahun, 2 bulan dan 22 hari. Ciri-ciri khas yang menonjol mengenai isi pada masing-masing tempat turunnya Alquran antara lain :

1.                 Ayat Makkiyah pada umumnya pendek-pendek, sedangkan ayat Madaniyyah panjang-panjang

2.                 Banyaknya surat Makkiyah sekitar 19/30 dari isi Alquran, sedangkan surat Madaniyyah sekitar 11/30 dari isi Alquran.


41Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, jilid 1, (Beirut : Dar al-Kutub al- Islamiyah,1983), hlm.82, Rachmat Syafe`i, Ilmu Ushul Fiqh, cet 1, ( Jakarta: Pustaka setia, 1999), hlm. 50, dan Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 24.

42Ismail Muhammad syah, op.cit., hlm. 24-26.


 

3.                 Dalam surat Makkiyah lazimnya terdapat perkataan “ya ayyuhannasdan sedikit sekali terdapat perkatan “ya ayyuhalladzinaamanu”, sedangkan dalam surat Madaniyyah malah sebaliknya.

4.                 Ayat Makkiyah pada umumnya mengandung hal-hal yang berhubungan dengan masalah keimanan, ancaman dan pahala, kisah-kisah umat yang terdahulu yang mengandung hukum-hukum, seperti hukum kemasyarakatan, hukum ketatanegaraan, dan lainnya.43

5.                 Alquran adalah syari`at Islam yang bersifat menyeluruh. Ia merupakan sumber dan rujukan yang pertama bagi syari`at, karena di dalamnya terdapat kaidah-kaidah yang bersifat global yang perlu dijelaskan dengan sunnah dan metode pengambilan istinbat hukum.

Menurut Ibnu Hazm bahwa setiap bab dalam fikih pasti mempunyai landasan dalam Alquran yang dijelaskan oleh al-Sunnah.44 Hal ini sebagaimana firman Allah Swt. QS. (6) :38 yang artinya : “…. Tiadalah kami lupakan sesuatupun di dalam al- Kitab…”.

Kandungan isi Alquran sebagai sumber hukum antara lain :

1)  Ajaran-ajaran (konsepsi) mengenai kepercayaan (aqidah) yang fokusnya adalah tauhid (monoteisme) dan sistem pengaturan hubungan antara khaliq (pencipta) dan makhluk (manusia).

2)  Berita (riwayat) tentang keadaan umat manusia sebelum Nabi Muhammad Saw. menjadi Rasul, baik mengenai umat yang beriman dan yang tidak, beserta ganjaran hikmah yang didapatkannya.

3)  Berita yang menggambarkan apa yang akan terjadi pada masa mendatang, terutama pada kehidupan akhirat

4)  Peraturan-peraturan kemanusiaan, dalam hal ini adalah hubungan interaksi selaku makhluk individu maupun sosial.

2.   Al-Sunnah

 

 

 


43Suparman Usman, Hukum Islam, cet 1, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hlm. 39

44Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, alih bahasa Saefullah Ma`sum dkk., cet. VII ( Jakarta : Pustaka Firdaus, t.th ), hlm.


 

Al-Sunnah adalah sumber pokok hukum islam kedua setelah Alquran. Kata sunnah secara etimologi berarti “yang biasa dilakukan”.45 Sunnah dalam istilah ulama usul fikih adalah apa-apa yang diriwayatkan dari nabi Muhammad Saw. baik dalam bentuk perkataan, perbuatan maupun pengakuan Nabi Saw. yang berhubungan dengan hukum. Sedangkan sunnah menurut ulama fikih adalah sifat hukum bagi perbuatan yang dituntut untuk dilakukan dengan pengertian diberi pahala bagi orang yang melaksanakannya dan tidak berdosa bagi orang yang meninggalkannya.46

Perbedaan ahli usul fikih dalam memberikan istilah pada sunnah, sebagaimana disebutkan di atas karena perbedaan dalam segi sudut pandang. Ulama usul menempatkan sunnah sebagai salah satu sumber atau dalil hukum syar`i. mereka mengatakan bahwa hukum itu ditetapkan dengan sunnah, sedangkan ahli fikih menempatkan sunnah sebagai salah satu hukum syara` yang lima. Mereka mengatakan bahwa perbuatan itu hukumnya sunnah, dalam pengertian ini sunnah adalah hukum dan bukan dalil hukum.

Menjadikan sunnah sebagai sumber hukum sesuai dengan firman Allah dalam Alquran (3) : 32 yang berbunyi :

ق  اطيعلهللا والرسل  فان تلللافإن هللا اليحب الكفرين. kamu jika Rasulnya, dan Allah kepada sekalian kamu ta`atlah Katakanlah, Artinya:

berpaling, ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir.

Sunnah menurut pengertian ahli usul terbagi menjadi tiga (3) macam :

1.  Sunnah Qauliyah, yaitu ucapan Rasulullah Saw. yang didengar oleh sahabat dan disampaikannya kepada orang lain. Contohnya, sahabat berkata bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Menuntut ilmu itu wajib bagi muslim laki-laki dan perempuan”.

2.  Sunnah Fi`liyah, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. yang dilihat atau diketahui oleh sahabat kemudian disampaikannya kepada orang lain. Contohnya, sahabat berkata : “Saya melihat Rasulullah Saw. melakukan salat sunnat dua rakaat sesudah salat zuhur”.

3. 


Sunnah Taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang dilakukan dihadapan atau sepengetahuan Rasulullah Saw.. tetapi tidak dicegah oleh Rasulullah Saw.,

45Ismail Muhammad syah, op.cit., hal.37

46Muin Umar dkk., op.cit., hlm. 89 . Ismail Muhammad Syah, loc.cit., hlm. 38


 

diamnya Rasulullah Saw. tersebut disampaikan sahabat kepada yang lain. Misalnya seorang sahabat memakan daging dab dihadapan Rasulullah Saw. sehingga Rasulullah Saw. mengetahui apa yang di makan sahabatnya, tetapi Rasullullah Saw. tidak melarangnya. Kisah tersebut disampaikan sahabat kepada lainya dengan ucapan : “Saya melihat seorang sahabat memakan dab di dekat Nabi, Nabi mengetahui tetapi Nabi tidak melarangnya”.

Sunnah merupakan sumber kedua setelah Alquran, karena  Sunnah merupakan penjelasan dari Alquran, maka yang dijelaskan berkedudukan lebih tinggi daripada yang menjelaskan. Kedudukan Sunnah terhadap Alquran sekurang- kurangnya ada tiga hal sebagaimana berikut :

1.  Sunnah sebagai ta`qid (penguat) nash Alquran. Dalam hal ini, Sunnah memberi ketegasan hukum sesuai dengan ketegasan nash Alquran, sebagai contoh : Sunnah banyak yang menerangkan tentang kewajiban dan keutamaan puasa, shalat dan sebagainya.

2.  Sunnah sebagai bayanu tasyri` (penjelas) nash Alquran. Dalam hal ini sunnah berfungsi untuk menjelaskan secara praktis dari nash Alquran, sehingga menghindarkan dari kekeliruan dalam mengklasifikasikan apa yang terkandung dalam Alquran. Menurut Rachmat Syafe`I47, penjelasan Sunnah terhadap Alquran dapat dikatagorikan menjadi empat bagian :

a.                  Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya salat dalam Alquran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan lainnya. Maka hal ini dijelaskan oleh Rasulullah Saw. : “Salatlah kamu sekalian sebagaimana kamu telah melihat saya salat”.

b.                 Penguat secara mutlaq, Sunnah merupakan penguat terhadap dalil- dalil umum yang ada dalam Alquran.

c.                  Sunnah sebagai takhsis terhadap dalil-dalil Alquran yang masih umum.

d.                  Sebagai Musyarri` ( pembuat syari`at)

Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat diantara ulama:

 

 


47Muin Umar, dkk. Loc.cit., hlm.89


 

1)  Sunnah itu memuat hal-hal baru yang belum ada dalam Alquran

2)  Sunnah tidak memuat hal-hal yang tidak ada dalam Alquran, tetapi hanya memuat hal-hal yang ada landasanya dalam Alquran.

Ditinjau dari segi periwayatannya, maka sunnah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu:

1.                  Sunnah yang bersambung mata rantai perawinya (muttasil al-Sunnah)

2.                 Sunnah yang tidak bersambung mata rantai perawinya (ghairu muttasil al- sanad)

Sunnah yang bersambung mata rantai perawinya (muttashil al-sanad) jika dilihat dari segi jumlah perawinya terbagi menjadi tiga macam, yaitu :

1)  Sunnah mutawatir ialah Sunnah yang diriwayatkan dari Rsulullah Saw. oleh sekelompok perawi yang menurut kebiasaannya mereka tidak mungkin bersepakat untuk berbohong. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang banyak dan diperoleh dari perawi yang terdahulu, yang sifatnya juga demikian sehingga sampai sanadnya kepada Rasulullah Saw.

2)  Sunnah Masyhur ialah sunnah yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. oleh seseorang atau dua orang atau kelompok yang keadaannya tidak sampai kepada tingkatan mutawatir yang kemudian tersebar luas sehingga diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin bersepakat bohong. Sunnah atau hadis masyhur menurut Abu Hanifah menunjukkan ilmu yang pasti (al-`Ilm al-Yaqin) walaupun derajadnya masih dibawah Sunnah Mutawatir, dan menurut mazhab ini pula, hadis masyhur dapat berfungsi memperkuat ayat Alquran, sedangkan sebagian ahli fiqh menganggapnya sebagai dasar yang zhan sebagaimana Hadis Ahad.

3)  Sunnah Ahad atau khabar khassash menurut Imam Syafi`I ialah setiap hadis yang diriwayatkan dari Rasulullah Saw. oleh seorang atau dua orang yang belum mencapai tingkatan syarat hadis masyhur. 48 Sunnah Ahad memberi

 


48Rachmat Syafe`I, op.cit., hlm. 66-67


 

faidah ilmu yang pasti. Tentang kehujjahannya, para ulama berpendapat bahwa Sunnah Ahad itu bisa dijadikan hujjah jika tidak ada dalil yang lain yang lebih kuat, namun tidak dalam hal akidah, karena masalah akidah memerlukan dasar yang pasti.

Adapun dengan sunnah yang tidak bersambung mata rantai perawinya (ghair muttasil al-sanad) kepada Rasulullah Saw. dinamakan oleh sebagian ulama dengan sebutan Sunnah/Hadis Mursal, sedangkan sebagian ulama lain menamakannya Hadis Munqathi`, dalam hal penggunaannya sebagai hujjah terjadi perbedaan pendapat. Imam Ahmad tidak memakai hadis mursal ini sebagai hujjah kecuali tidak ditemukannya hadis lain pada kasus tersebut, Imam Syafi`I juga tidak memakainya kecuali apabila tabi`in yang meriwayatkan hadis tersebiut telah tersohor dan banyak bertemu dengan kalangan sahabat.

3.       Ijma` (konsensus)

Ijma` adalah kesepakatan para imam mujtahid dari umat Islam atas hukum syara` (mengenai suatu masalah) pada suatu masa sesudah Nabi Muhammad Saw. wafat.49

Pengertian lain dari ijma` sebagaimana diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khallaf, yaitu : “Kesepakatan seluruh Imam mujtahid dari kalangan kaum muslimin dalam salah satu kurun dari kurun-kurun yang banyak sesudah wafat Rasulullah Saw. terhadap suatu peristiwa hukum syara`”.50

Adapun Ibnu Taimiyyah memberi batasan pengertian ijma` sebagaimana berikut: “Makna Ijma` adalah kesepakatan ulama kaum muslimin mengenai suatu hukum dari beberapa hukum”.51

Ijma` merupakn sumber yang kuat dan merupakan salah satu metode pengembangan ijtihad untuk meneruskan dan menerapkan hukum-hukum Islam. Jika sudah terjadi kemufakatan atas suatu hukum, maka sudah barang tentu ada dalil (alasan) yang menjadi sandarannya, sebab tidak masuk akal kalau para ulama bersepakat atas sesuatu hukum tanpa mempunyai dalil syara`. Hal ini sesuai dengan


 

 

hlm. 234


49Ibid..

50Muhammad Salam  Madkur, Al-Madkhal  lil  Fiqh  al-Islamy, (Cairo : Dar  al-Nahdah, 1960),

 

51Dahlan  Idhamy,  Karakteristik  Hukum  Islam,  (Surabaya:  al-Ikhlas,  1985)  hlm.  84. Adbul


Wahhab Khallaf, Op.cit., hlm. 45


 

hadis Rasulullah Saw. : “Ummatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan”. (H.R. Abu Daud dan al-Turmudji).52

Alasan menempatkan ijma` sebagai dasar hukum setelah Alquran dan Sunnah juga dikuatkan oleh beberapa Asar sahabat Nabi Muhammad Saw. diantaranya sebagaimana disampaikan Umar ibn al-Khattab kepada Syuraih : “ Putuskanlah (perkara itu) menurut hukum yang ada dalam kitab Allah, kalau tidak ada (dalam Alquran), maka putuskanlah sesuai dengan hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah Saw. kalau tidak ada (dalam sunnah Rasulullah Saw.) putuskanlah berdasarkan hukum yang telah disepakati oleh (ummat) manusia”.

Dalam riwayat lain : “Putuskanlah menurut hukum yang telah ditetapkan oleh orang- orang saleh”.

Dasar lain, sebagaimana yang dikatakan Ibn Mas`ud : “Siapa yang ditanya tentang (hukum) suatu masalah seyogyanya ia memberikan fatwa berdasarkan hukum yang ada dalam kitab Allah, Kalau tidak ada (dalam Alquran), maka berfatwalah menurut hukum yang ada dalam Sunnah Rasulullah Saw. dan kalau tidak ada (dalam Hadis), hendaklah berfatwa menurut hukum yang telah disepakati oleh umat manusia (umat Islam).53

Objek ijma` ialah semua peristiwa atau kejadian yang tidak ditemukan dasarnya dalam Alquran dan Sunnah atau peristiwa yang berhubungan dengan  ibadah ghairu mahdah (ibadah yang tidak langsung ditujukan kepada Allah Swt.) bidang muamalah, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Alquran dan Hadis.54

Ijma` ditinjau dari cara terjadinya, menurut ahli Ushul Fiqh dibagi menjadi dua, yaitu Ijma` Bayani (disebut juga Ijma` Qauli, Ijma` Sharih atau Ijma` Haqiqi) yaitu kemufakatan yang dinyatakan atau diucapkan oleh mujtahidin, termasuk dalam katagori ini tulisan mujtahidin yang diakui oleh para mujtahidin lainnya. Yang kedua Ijma` Sukuti disebut juga dengan Ijma` I`tibari, yaitu kebulatan yang dianggap ada

 

 

 


52Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Fiqh Islam, cet II, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 2002), hlm. 118.

53Muin Umar,dkk, Op.cit., hlm. 100

54Muhammad Amin Suma, op.cit., hlm. 117


 

apabila seseorang mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan diketahui oleh mujtahid lainnya, akan tetapi mereka tidak menyatakan persetujuan atau bantahannya.55

Sedangkan Abdu al-Rahman dalam bukunya Shari`ah The Islamic menambahkan pembagian tersebut dengan Ijma` Fi`li, yaitu kesepakatan para mujtahid dengan melakukan tindakan yang tidak dinyatakan bantahan atau persetujuan terhadap tindakan tersebut.56

Adapun kriteria Ijma` menurut sebagian ulama ushul adalah :

1)             Kesepakatan sekelompok fuqaha /ulama

2)             Pada kurun waktu tertentu

3)             Di ruang lingkup suatu wilayah atau kawasan tertentu pula.

 

Dengan penjelasan di atas, maka sebenarnya Ijma` sangat efektif untuk :

1)                 Menjadi asas Ijtihad Jama`I (Ijtihad kolektif)

2)                Melandasi penemuan serta pengembangan hukum kontekstual menurut kondisi ruang dan waktu. Dari sini lebih jelas tampak bahwa hukum Islam memiliki sifat kelenturan (elastisitas dan Fleksibelitas).

4.       Qiyas (Analogi)

I.             Pengertian Qiyas

 

Kata   qiyas   merupakan   derivasi   (bentukan)   dari    يقااي - قااا" ,   artinya mengukur.57 Secara etimologi, term al-qiyas mengandung  beberapa  makna,  dan yang terpenting ialah makna “persamaan” (al-musawah) dan “pengukuran” (al- taqdir). Makna “persamaan” itu dalam arti mutlak, baik  yang  bersifat indrawi, misalnya, ungkapan “qasa al-tsaub bi al-tsaub”( pakaian ini menyamai pakaian itu) dan ungkapan “qistu al-burtuqalah bi al-burtuqalah” ( saya menyamakan jeruk ini dengan jeruk itu). Sedangkan makna persamaan yang bersifat non indrawi terlihat pada ungkapan “fulan yuqasu bi fulan” (si fulan tidak disamakan dengan si fulan). Sedangkan makna pengukuran (al-taqdir) terdapat pada ungkapan “qasa al-tsaub bi

 

 

 


55Ibid., hlm. 118

56Muin Umar, dkk. Op.cit., hlm. 106.

57Louis Ma`luf, al-Munjid fi al-Lugah, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), hlm. 665.


 

al-mitr” ( dia mengukur pakaian itu dengan alat meteran), dan ungkapan “qasa al- ard bi al-qasbah” ( dia mengukur tanah itu dengan bambu). 58

Sedangkan secara terminologi, terdapat berbagai rumusan yang dikemukakan oleh para ulama ushul fiqh, berbagai rumusan definisi qiyas yang mereka kemukakan dapat dikategorisasikan sebagai berikut :

حكمه علة فى  ألص فرع مساوة Artinya: Persamaan far`u dengan asl dalam hal `illat hukumnya.59

حم  معللم على معللم فى إثبات حكوم لهموا أو نفيوه عنهموا بوأمر جوامم بينهموا مون إثبوات حكوم أو صوفة أونفيهموا

عنهما60.

Artinya: Menghubungkan sesuatu kepada sesuatu yang lain perihal ada atau tidak adanya hukum berdasarkan unsur yang  mempersatukan keduanya, baik berupa penetapan maupun peniadaan hukum /sifat dari keduanya.

Menurut Abu Zahrah, qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nas hukumnya kepada perkara baru yang ada nas hukumnya karena keduanya berserikat dalam ‘illat hukum. Sedangkan menurut Ibnu Qudamah qiyas adalah:

حم  فرع على أص  فى حكم بجامم بينهما

Artinya: Menghubungkan furu’ kepada asl dalam hukum karena ada hal yang sama (yang menyatukan) antara keduanya.61

Para ahli usul menyatakan bahwa qiyas adalah menerangkan hukum sesuatu yang tidak ada nasnya baik dalam Alquran maupun hadis dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nas.62 Dapat dipahami secara tidak langsung bahwa qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nas (Alquran dan hadis) kepada sesuatu yang disebutkan hukumnya karena serupa makna hukum yang disebutkan.


58Ibnu Manzhur, Lisan al-`Arab, (Beirut: Dar al-Shadir, tt.) juz ke-8, hlm. 70. Lihat juga Abu Zakariyya Syaraf al-Nawawi, Tahdzib al-Asma` wa al-Lugah, ( Beirut: Dar al-Tiba`ah al-Muniriyyah, tt.) juz ke-9, hlm. 225

59Ibnu al-Hajib, Mukhtasar Ibnu al-Hajib, ( Kairo : Maktabah al-Kulliyyat al-Azhariyyah,1993), Juz 2, hlm. 205.

60Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min `ilm al-Usul, (beirut : Dar al-Ihya`, 1990), Juz 2, hlm. 254. Lihat juga Fakhruddin al-Razi, al- Mahsul fi `Ilm al-Usul, (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), Juz 2, hlm. 2. Lihat Dr. Asmawi, M.Ag., Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta : Amzah,2013) hlm. 94.


 

 

hlm.22


61Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 147.

62Abd al-Wahhab al-Khallaf, Masadir al-Tasyri` al-Islamiy, (Kuwait : Dar al-Qalam, 1982),


 

Dengan demikian, ketetapan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nasnya dapat dikatagorikan sebagai qiyas, dengan dalil harus memenuhi keempat rukunnya.

II.             Rukun Qiyas

 

Rukun qiyas terdiri dari empat unsur, yaitu:

1.  AL-Asl (pokok) yaitu sumber hukum yang terdiri dari nas yang menjelaskan tentang hukum, sebagian besar ulama menyebutkan bahwa, sumber hukum yang dipergunakan sebagai dasar qiyas harus berupa nas, baik nas Alquran, hadis maupun ijma`, dan tidak boleh mengqiyaskan sesuatu dengan hukum yang  ditetapkan dengan qiyas.63 Asl disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran), Mahmul `alaih atau musyabbah bih (tempat menyamakan).

2.  Al-Far`u (cabang) yaitu sesuatu yang tidak ada ketentuan nasnya. Artinya, kasus yang ada tidak diketahui hukumnya secara pasti. Al-Syafi`i, dalam hal ini mengatakan, bahwa far` itu adalah suatu kasus yang tidak disebutkan hukumnya secara tegas dan diqiyaskan kepada hukum aslnya.64 Al-Far’u disebut juga maqis (yang diukur), mahmul atau musyabbah (yang diserupakan).

3.  Al-Hukm, yaitu hukum yang terdapat pada asl. Hukum disini adalah hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, baik secara tegas maupun ma`nawi. Ini berarti, hukumnya harus berdasarkan Alquran dan Hadis, harus dapat dicerna  akal tentang tujuannya dan hukum yang  ditetapkan bukan masalah rukhsah dan khusus.

4.  ‘Illat, secara bahasa dapat berarti al-maradh, yaitu penyakit, atau al-sabab, yaitu sebab yang melahirkan atau menyebabkan adanya sesuatu Dalam konteks qiyas,


63Sya`ban Muhammad Isma`il, op.cit., hlm.205. Lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Usul al- Fiqh, alih bahasa oleh Saefullah Ma`sum, dkk, (Jakarta : P3M,1994), hlm. 353. Lihat juga al-Syafi`I, al- Risalah, (Mesir : Dar al-Saqafah, 1973), hlm.25.

64Al-Syafi`i, Ibid., hlm.43


 

maka pengertianya yang kedua, yaitu “sebab” adalah lebih sesuai, karena `illat tersebut menyebabkan tetapnya hukum pada far`u yang dituntut untuk menetapkan hukumnya.65


Al-Juwayni mendefenisikan Illat sebagai berikut :


والعلة هى الجالبة للحكم بمناسبتها له. 66


Artinya: `Illat itu adalah sesuatu yang melahirkan ketentuan hukum karena keserasiannya bagi ketentuan hukum tersebut.

Menurut al-Ghazali, bahwa `illat itu adalah sifat yang berpengaruh terhadap adanya hukum dengan sebab ditetapkan Allah, sedangkan menurut al-Syafi`i,  `illat  itu wasf yang zahir, mundabit dan mu`arrif . hukum furu` sama dengan hukum pada asl. Artinya, bahwa `illat itu harus dapat dicerna oleh panca indra dan harus nyata. Bilamana sifat ini ditemukan pada furu`, status hukum yang terdapat pada asl menjadi berlaku pula pada furu. Inilah maksud dari ungkapan : al-hukm yaduru ma`a

`illatihi   wujud-an   wa   `adam-an   (keberadaan   hukum  itu   mengikuti keberadaan

`illat).67

Untuk lebih jelasnya pemahaman  terhadap masing-masing rukun qiyas  tersebut dikemukakan contoh sebagai berikut: Bagaimana  hukum  menjual  harta  anak yatim. Nasnya tidak ada; yang ada makan harta anak yatim. Jadi hukumnya haram berdasarkan Surah an-Nisa` ayat 10.

1.                  Makan harta anak yatim disebut asl.

 

2.                  Menjual harta anak yatim disebut furu’.

 

3.                  Haram makan harta anak yatim disebut hukum asl.

 

4.                  Makan harta anak yatim itu sifatnya mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim, disebut ‘illat.

 

 


65`Abd al-Hakim `Abd al-Rahman As`ad al-Sa`di, Mabahits al-`Illat fi al-Qiyas `ind al-Usuliyin

(Beirut : Dar al-Basya`ir al-Islamiyyah, 1406 H/1986 M), hlm. 68-69.

66Al-Juwayni, al-Waraqat fi al-Usul pada margin Irsyad al-Fuhul ila al-Syawkani (Beirut : Dar al-Fiqh, tt.) hlm. 212

67Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasfa min `Ilm al-Usul, Juz 2, hlm. 325


 

Menjual harta anak yatim sifatnya juga mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim tersebut. Berarti menjual harta anak yatim sama sifatnya (‘illatnya) dengan makan harta anak yatim. Dengan demikian  menjual harta anak yatim hukumnya haram menurut Qiyas”. 68

Alquran dan hadis secara eksplisit tidak pernah membicarakan qiyas, namun sebagaimana diketahui, bahwa keduanya adalah sumber hukum utama yang sifatnya terbatas dan hanya memuat kansep-konsep umum dalam rangka menjawab setiap persoalan yang muncul. Keduanya memberi peluang bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dengan qiyas.

Firman Allah dalam Q.S. an-Nisa` (4:59) yang berbunyi :

يايها الذين امنوا اطيعوا هللا واطيعوا الرسول واولى األمر منكم فان تنازعتم في شيئ فردوه الى هللا

.تأويال واحسن خير ذلك األخر واليوم باهلل تؤمنون كنتم ان والرسول Artinya:    Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah rasul dan pemimpin-pemimpin diantara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang

sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alqur`an) dan Rasul (al- Hadis) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kiamat. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.

Kata-kata  "  والرسول  هللا  الى  فردوه  "  mengandung  arti,  mengembalikan  semua peristiwa yang muncul kepada Alqur`an dan hadis meliputi berbagai cara, termasuk dengan menghubungkan suatu peristiwa yang tidak ada nas hukumnya karena ada kesamaan `illat. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Alquran maupun hadis telah menjawab segala persoalan yang muncul baik secara tekstual maupun isyarat.69

Disamping itu, hadis juga menggambarkan praktek qiyas melalui ijtihad. Seperti peristiwa Muaz bin Jabal ketika diutus Rasul ke Yaman. Sebagaimana disebutkan, salah satu landasan menetapkan hukum disamping Alquran dan hadis adalah ijtihad, termasuk menganalogikan peristiwa yang tidak ada nasnya kepada yang ada nasnya dengan persamaan `illat70.

 

G.   Dalil hukum Ghairu Muttafa` (tidak disepakati)

 


68Kamal Mukhtar, dkk., jilid I, op.cit., hlm. 118-119

69Abd al-Wahhab Khallaf, op.cit., hlm.31

70Ibid., hlm.32


 

a.       Istihsan

Sebelum lebih lanjut membicarakan istihsan, perlu diutarakan pengertian metode ijtihad. Metode ijtihad adalah jalan yang ditempuh seseorang mujtahid dalam memahami, merencanakan dan merumuskan suatu hukum syara’  amaly.  Ada beberapa macam metode ijtihad sebagai hasil rumusan mujtahidin. Ada metode ijtihad yang merupakan ciri khas seseorang mujtahid yang tidak digunakan oleh mujtahidin lainnya, sehingga berimplikasi munculnya perbedaan hasil ijtihad antara seorang mujtahid dengan mujtahid lainnya.

Metode ijtihad lazim digunakan dan dipandang sebagai metode ijtihad yang paling tinggi kualitasnya dan digunakan hampir semua ulama fikih adalah qiyas. Metode-metode ijtihad itu cukup banyak, yaitu istihsan, maslahat mursalah, istishab, ‘ urf, saddu al-zari’ah, qaul al-sahabi dan syar’u man qablana.71

Istihsan menurut lughawi berarti memperhitungkan sesuatu lebih baik atau mencari yang lebih baik untuk diikuti. Secara istilah, istihsan menurut pendapat Ibnu Subki adalah beralih dari penggunaan suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat dari padanya. Menurut pendapat asy-Satibi dari Malikiyyah adalah menggunakan kemaslahatan yang bersifat juz`i sebagai pengganti yang  bersifat  kulli.  Sedangkan Ibn Qudamah dari Hanabilah menyatakan, “sesuatu yang dianggap lebih baik oleh seorang mujtahid berdasarkan pendapat akal”. Al-Ghazali mengatakan “semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.72

Dilihat dari sisi dalil yang digunakan, istihsan terbagi tiga macam, yaitu:

1.  Beralih dari qiyas jali kepada qiyas khafi karena dipandang lebih tepat. Contoh: mewakafkan sebidang tanah yang di dalamnya ada jalan dan sumber air, apakah dengan semata mewakafkan sebidang tanah tersebut termasuk jalan dan sumber airnya? Menurut qiyas jali disamakan dengan akad jual beli, berarti tidak termasuk jalan dan sumber air. Namun lebih tepat disamakan dengan sewa-

 

 

 


71Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh I, Cet. I, (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 303-304.

72Rahmat Syafe`I, Ilmu Ushul Fiqih, ( Bandung : Pustaka Setia, 1999) hlm. 111, Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 305-306


 

menyewa (qiyas khafi, karena persamaan ‘illatnya lemah) sehingga jalan dan sumber air termasuk dalam akad.

2.  Beralih dari pengertian umum yang dituntut suatu nas kepada hukum yang bersifat khusus. Contoh: sanksi hukum terhadap pencuri. Menurut nas (surah al- Maidah ayat 37), sanksi hukumnya adalah potong tangan. Namun bila pencurian itu dilakukan pada musim kelaparan, maka tidak dikenakan hukum potong  tangan.

3.  Beralih dari hukum yang bersifat umum kepada hukum pengecualian. Contoh: Islam melarang memperjualbelikan sesuatu yang tidak dilihat. Namun berdasarkan istihsan dibolehkan seperti jual beli saham, muzara’ah dan lain- lain.73

Ulama-ulama Hanafiyah mengakui  istihsan  sebagaimana Abu Hanifah banyak menggunakan istihsan. Ulama-ulama Malikiyah berpendapat bahwa istihsan adalah dalil yang kuat sebagaimana Imam Malik banyak berfatwa menggunakan istihsan.74 Tetapi al-Jalal dan al-Mahalli menyatakan bahwa istihsan diakui oleh Abu Hanifah, tetapi ulama-ulama lain mengingkarinya termasuk golongan Hanabilah. Adapun ulama-ulama Syafi’iyah telah masyhur tidak mengakui istihsan, dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Bahkan Imam Syafi’i berkata: “barang siapa menggunakan istihsan berarti ia telah membuat syariat”75

b.       Istishab

 

Istishab menurut etimologi berarti “selalu menemani”; selamanya menyertai. Menurut terminologi istishab adalah “mengukuhkan apa yang pernah ada” (definisi ini dikemukakan oleh Mhd. Rida Muzaffan dari kalangan Syi’ah). Menurut asy- Syaukani istishab adalah “apa yang pernah berlaku secara tetap pada masa lalu, pada

 


73M.Asywadie Syukur, op.cit, hlm. 114.

74Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa asy-Syatibi, al_Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, jilid IV, (t.tp: Dar al-Fikr, t.t.), hlm. 15.

75Abd al-Wahhab Khallaf, op.cit., hlm. 83.


 

prinsipnya tetap berlaku pada masa akan datang”.76 Sedangkan menurut asy-Syatibi, istishab adalah “segala keputusan yang telah ditetapkan pada masa lalu, hukumnya tetap berlaku pada masa sekarang.”77

Ulama Hanafiyah menyatakan sebenarnya istishab itu hanyalah untuk mempertahankan berlakunya hukum yang telah ada, bukan menetapkan hukum yang baru. Dengan demikian istishab dapat dijadikan dasar hujjah sebagaimana digunakan sebagian besar pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zahiri.

Menurut Ibn qayyim istishab terbagi tiga bentuk, yaitu:

1.                  Istishab al-bara`ah al-asliyah, berarti bersih atau bebas dari beban hukum yakni pada dasarnya seseorang bebas dari beban hukum, kecuali ada petunjuk berlakunya beban hukum kepada yang bersangkutan.

2.                  Istishab al-sifat, yakni mengukuhkan berlakunya hukum pada suatu sifat baik memerintahkan maupun melarang, sampai sifat tersebut mengalami perubahan yang mengakibatkan berubahnya hukum.

3.                  Istishab hukmi al-ijma’, yakni mengukuhkan pemberlakuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’.78

Contoh-contoh hukum berdasarkan istishab:

1)                 Seorang laki-laki “A” beristri “B”, kemudian berpisah tempat cukup lama.

 

Karena cukup lama, “B” ingin kawin dengan “C”. Berdasarkan istishab, “B” masih tetap istri “A”, dan “B” tidak boleh kawin dengan “C”.

2)                Seseorang yang telah berwudu’, wudu’nya tetap berlaku sampai  dia  yakin telah batal.

3)                Pemilikan   harta   bagi   seseorang   tetap berlaku  selama     tidak ada bukti kepemilikannya telah beralih kepada orang lain.


76Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 342 77Mukhtar Kamal, dkk., jilid 1, op.cit., hlm. 152. 78Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 347-348.


 

4)                Dihalalkan bagi manusia makan apa saja yang ada di muka bumi ini (surah al-Baqarah ayat 29), kecuali ada dalil yang  mengatakan haram. Maka berdasarkan istishab, kita boleh makan apa saja  kecuali ada dalil yang mengatakan tidak halal dimakan.

c.       Maslahat Mursalah

 

Maslahat mursalah secara lughawi berarti manfaat atau kebaikan yang tidak ada nasnya. Maslahat mursalah secara istilah adalah:

1.                  Menurut asy-Syaukani: maslahat yang tidak diketahui apakah syara’

 

menolaknya atau memperhatikannya.

 

2.                 Menurut Ibn Qudamah: maslahat yang tidak ada petunjuk tertentu membatalkanya dan memperhatikanya.

3.                 Menurut Abdul Wahab Khallaf: maslahat yang tidak ada dalil syara’ untuk mengakuinya atau menolaknya (Syarifuddin, 1997:333-334).

4.                 Menurut Ibn Taimiyyah dalam artikelnya  yang dikutip Muhammad Abu Zahrah 79 “sesuatu yang dipandang oleh mujtahid sebagai perbuatan  yang sarat dengan manfaat dan tidak ada ketentuan syara’ yang menafikannya.

Imam Malik dan pengikutnya menggunakan maslahat mursalah sebagai metode ijtihad. Sebagian ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah  juga  menggunakan maslahat mursalah (penjelasan Ibn Qudammah dari Hanabilah).  Sementara al- Ghazali sebagai pengikut Imam Syafi’i menyatakan bahwa ia menerima penggunaan maslahat mursalah dengan syarat menyangkut kebutuhan pokok dalam  kehidupan dan menyeluruh secara kumulatif. Sedang menurut para ulama Hanabilah, maslahat mursalah tidak memiliki kekuatan hujjah dan tidak boleh melakukan ijtihad melalui metode ini.


Dapat dilihat bahwa dalam penggunaan maslahat mursalah ada yang pro dan ada yang kontra. Menurut al-Amidi kelompok yang menolak adalah golongan

79Muhammad Abu Zahrah, op.cit., hlm. 495


 

mayoritas (jumhur). Perlu ditegaskan bahwa lapangan maslahat mursalah adalah mu’amalah dan adat. Ada beberapa argumentasi para ulama yang menggunakan maslahat mursalah antara lain:

1.  Ada persetujuan Rasulullah menurut penjelasan Mu’az bin Jabal, boleh menggunakan ra`yu (daya nalar) bila tidak menemukan ayat-ayat Alquran dan Sunnah dalam menyelesaikan kasus hukum.

2.  Telah cukup meluas di kalangan sahabat tentang penggunaan maslahat mursalah, seperti pencetakan mata uang pada masa Umar bin Khattab; penyatuan qira`ah Alquran zaman Usman; memerangi orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat masa Abu Bakar; dan diberlakukannya azan dua kali pada zaman Usman.

3.  Apabila maslahat sesuatu sudah cukup nyata dan sesuai dengan maksud hukum syara’ maka menggunakan maslahat mursalah berarti memenuhi tujuan syara’. Sebaliknya bila tidak digunakan berarti melalaikan tujuan hukum syara’.

4.  Bila tidak boleh menggunakan maslahat mursalah sebagai metode ijtihad, dalam masalah tertentu akan menjadikan umat dalam kesulitan, padahal Allah menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya.

Ulama-ulama yang menolak maslahat mursalah sebagai metode ijtihad, mengemukakan beberapa alasan, antara lain:

1.  Sesuatu yang tidak ada petunjuk syara’ membenarkannya berarti bukan suatu maslahat. Mengamalkan sesuatu di luar petunjuk syara’ berarti mengakui kurang lengkapnya Alquran dan Sunnah, padahal Alquran dan Sunnah sudah lengkap meliputi semua hal.

2.  Mengamalkan sesuatu yang tidak memperoleh pengakuan tersendiri dari nas

 

berarti menuruti kehendak hati dan kemauan hawa nafsu.


 

3.  Menggunakan maslahat dalam ijtihad tanpa nas berarti bebas  menetapkan hukum, hal ini dilarang dalam Islam.

4.  Bila dibolehkan berijtihad dengan maslahat yang tidak mendapat dukungan dari nas, besar kemungkinan terjadi perubahan hukum syara’ karena perubahan  waktu dan tempat, atau karena berlainan tinjauan seseorang dengan orang lain, sehingga tidak ada kepastian hukum. Hal ini tidak sejalan dengan prinsip hukum syara’ yang bersifat universal dan meliputi semua umat Islam.

d.       Saddu al-Zari’ah

 

Saddu berarti penghalang, penghambat, penutup. Zari’ah berarti jalan. Saddu zari’ah berarti penghalang atau penutup jalan.80 Menurut Ibn Qayyim, istilah al- zari’ah diartikan dengan “apa-apa yang menjadi perantara dan jalan kepada sesuatu”. Menurut Badran al-zari’ah adalah “sesuatu yang  menyampaikan kepada yang terlarang yang mengandung kerusakan.”81

Perlu dikemukakan bahwa menurut Ibn Qayyim, zari’ah itu ada dua macam, yaitu bertujuan kepada yang dilarang dan bertujuan kepada yang dianjurkan. Yang bertujuan kepada yang dianjurkan disebut fathu al-zari’ah.82

Para ulama usul fikih membagi zari’ah dari dua sudut tinjauan:

1.                  Dilihat dari sisi tingkat kerusakan yang ditimbulkannya, terbagi empat macam, yaitu:

a.  Membawa kepada kerusakan secara pasti. Misalnya: menggali lobang dekat tangga dapat, dipastikan pemilik rumah akan jatuh ke dalamnya.

b.  Kemungkinan besar menimbulkan kerusakan. Contoh: menjual anggur ke pabrik pengolahan minuman keras.

 

 

 


80Kamal Mukhtar, dkk., op.cit., hlm. 156.

81Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 399.

82Nasrun Haroen, op.cit., hlm. 160-161


 

c.  Menurut kebiasaan akan menimbulkan kerusakan. Contoh: menjual senjata kepada musuh. Jual beli secara kredit, biasanya menimbulkan riba.

d.  Belum tentu menimbulkan kerusakan tetapi dapat menimbulkan kerusakan.

 

Contoh: menggali lobang di kebun (jarang dilalui orang) mungkin juga ada orang yang jatuh di dalamnya

2.                  Dilihat dari sudut dampak kerusakan yang ditimbulkannya menurut Ibn Qayyim terbagi dua:

a.  Perbuatan itu pada dasarnya mengakibatkan kerusakan. Contoh: meminum minuman keras.

b.  Perbuatan itu pada dasarnya boleh, tetapi dijadikan melakukan yang haram.

 

Contoh: menikahi wanita yang ditalak tiga suamianya, tujuannya supaya bisa nikah lagi dengan suami pertama (hukumnya haram).83

Saddu al-Zari’ah menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat diterima sebagai dalil hukum, sedang ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah dapat menerimanya  dalam masalah-masalah tertentu saja. Seperti, sakit dan musafir boleh meninggalkan shalat Jum’at dan menggantinya dengan shalat zhuhur, tetapi harus secara sembunyi supaya tidak muncul fitnah. Begitu juga boleh tidak puasa karena sakit, tetapi jangan makan/minum di depan orang banyak. Ulama-ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah menerima saddu al-zari’ah sebagai dalil hukum, bila kerusakan diyakini pasti terjadi atau diduga keras terjadi.84

 

BAB III

IJTIHAD, ITTIBA` DAN TAQLID

 

 

1.  IJTIHAD

A.      Pengertian dan Dasar Hukum Ijtihad


83Nasrun Haroen, op.cit., hlm. 162-166.

84Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 167-169


 

Berdasarkan sejarah, istilah ijtihad pada mulanya dipergunakan untuk mengungkapkan sebuah upaya penalaran dan pemikiran yang mendalam tentang suatu persoalan yang membutuhkan pemecahan hukum. Ijtihad masih dipahami sebatas pertimbangan bijaksana yang adil atau pendapat seorang ahli serta belum terdefinisikan dan terumuskan dalam metode-metode tertentu.

Secara etimologis berarti bersungguh-sungguh atau berusaha keras.85 Kata ijtihad dalam sintaksis Arab mengikuti wazan ifti’al yang  menunjukkan arti mubalagah dalam suatu tindakan atau perbuatan.86 Sedangkan pengertian terminologisnya, ada beberapa rumusan yang dikemukakan oleh para ulama, antara lain:

1.                  Menurut Imam asy-Syaukani (1349 H : 250)

 

بذ  اللسم فى ني  حكم شرعى عملى بطريق االستنباط

 

Artinya : Mengerahkan kemampuan dalam memperoleh hukum syar’i yang bersifat amali melalui cara istinbat.

2.                  Menurut Imam al-Ghazali87 “usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid

 

untuk mengetahui hukum-hukum syariat”.88

 

3.                  Menurut kebanyakan ahli usul: “pencurahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan sesuatu hukum syara’ yang sifatnya zanniy89  Adapun   dasar hukum ijtihad cukup banyak, baik berdasarkan ayat-ayat Alquran maupun Sunnah dan juga dalil aqli. Di antara ayat-ayat Alquran yang menunjukkan/menyuruh ijtihad adalah surah an-Nisa ayat 105. Maknanya: “sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu al-Kitab dengan benar agar

 


85Ibn Manzur, Lisan al-Arab, Jilid III, (Beirut : Dar as-Sadr, t.t.) hlm. 103.

86Yusuf al-Qardhawi, al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyyah ma`a Nazarat Tahliliyyah fi al- Ijtihad al Mu`asir, terj. Ahmad Syathari, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) hlm. 1.

87Kamal Mukhtar, dkk., jilid 1, op.cit., hlm. 116

88Imam Zaid juga memberikan definisi yang hampir sama. Lihat: Muhammad Abu Zahrah,

Abu Hanifah : Hayatuh wa `Asruh `Ara`uh wa Fiqhuh, ( Kairo : Dar al-Fikr al-`Araby, 1952) hlm. 453

89Tim Penyusun Text Book, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta : Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama / IAIN Pusat, 1981) hlm. 136


 

engkau menetapkan di antara manusia dengan jalan yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu”.

Di antara Sunnah yang menunjukkan boleh berijtihad adalah hadis yang diriwayatkan oleh Umar ra. Maknanya: jika seorang hakim menetapkan hukum dengan ijtihadnya dan benar maka dia mendapat dua pahala dan bila salah maka ia mendapat satu pahala. 90

Dari segi dalil aqli dikemukakan sebagai berikut:

Kehidupan umat manusia tambah maju dan semakin  kompleks, sehingga muncul berbagai kasus baru, sedang penetapan hukumnya tidak ditemukan secara tegas dalam Alquran maupun dalam Hadis. Apabila ijtihad tidak diperbolehkan tentu terlalu banyak kasus yang tidak mendapat penyelesaian hukum dan kita yakin bahwa syariat Islam tidak membolehkan penganutnya mendiamkan kasus-kasus tersebut.91

 

B.      Kedudukan dan Fungsi Ijtihad

Ijtihad dilakukan apabila  menghadapi suatu masalah  yang memerlukan penetapan hukum syara’ sedang pada ayat-ayat Alquran dan Hadis tidak ditemukan secara tegas penetapan hukumnya, begitu juga ijma’ sahabat belum  ada yang membicarakannya.

Ulama-ulama yang boleh bahkan wajib melakukan ijtihad adalah yang sudah ahli, seperti pada zaman mujtahid yang empat. Pendapat-pendapat yang mereka kemukakan baik berupa qiyas, termasuk ijtihad. Begitu juga pendapat-pendapat yang tidak termasuk dalam qiyas seperti istihsan yang digunakan oleh Imam Hanafi atau maslahat mursalah oleh Imam Maliki dan pengikutnya termasuk ijtihad. Para Imam mujtahid melakukan ijtihad dalam rangka menuntun umat berada dalam batas-batas yang ditetapkan hukum syara’.

Dapat disimpulkan bahwa ijtihad mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam syariat Islam. Lebih lanjut dapat dipahami bahwa ijtihad berfungsi melahirkan ketenteraman bagi umat karena masalah yang mereka hadapi mendapat penyelesaian berdasarkan ijtihad tersebut.92

C.      Objek dan Macam-macam Ijtihad


90Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 102

91Tim Penyusun Text Book, op. cit., hlm. 138

92Kamal Mukhtar, dkk., Jilid I, op.cit., hlm. 122


 

Objek ijtihad adalah masalah hukum syara’ yang tidak memiliki dalil yang qat’iy. Apabila ada nas yang keberadaannya zanniy seperti hadis ahad maka yang menjadi lapangan ijtihad dalam hal ini adalah meneliti bagaimana sanadnya, derajat para perawinya dan lain-lain. Manakala ada nas yang petunjuknya zanniy, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah bagaimana maksud nas tersebut  dengan menggunakan kaidah bahasa Arab, kaidah ‘am, khas dan lain-lain. Berkenaan dengan masalah syara’ yang tidak ada nasnya, maka yang menjadi lapangan ijtihad adalah seluk-beluk masalah tersebut secara keseluruhan.93

Dilihat dari segi dalil yang dibuat sebagai pedoman, ijtihad terbagi tiga macam, yaitu:

a.  Ijtihad bayani; yaitu ijtihad untuk menemukan hukum yang terkandung dalam nas yang petunjuknya zanniy. Ijtihad dalam hal ini memberikan bayan (penjelasan) yang positif dari dalil nas tersebut. Contoh: pengertian tiga quru’ pada surah al-Baqarah ayat 228; bisa berarti tiga kali suci, bisa  berarti tiga kali haid. Imam Syafi’i berijtihad mengambil pengertian tiga kali suci, sedang Imam Hanafi mengambil pengertian tiga kali haid.

b.  Ijtihad qiyasi, yaitu menetapkan hukum suatu peristiwa berdasarkan

 

qiyas/menurut metode qiyas.

 

c.  Ijtihad istislah, yaitu menetapkan hukum sesuatu permasalahan dengan menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah/mengambil kemaslahatan.

D.      Syarat-syarat Mujtahid

 

Seseorang ulama mujtahid harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

1.                  Mengetahui seluk-beluk bahasa Arab dalam semua seginya, yaitu nahu, saraf, bayan, ma’ani dan badi’; dapat mengetahui lafaz-lafaz yang zahir, sarih, mujmal, haqiqat, majaz, ’am, khas, muhkam, mutasyabih, mutlaq dan muqayyad.


93Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 107


 

2.                  Memiliki pengetahuan yang  cukup baik tentang Alquran; mana lafaz yang mantuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, sarih, kinayah, nasikh-mansukh; mengetahui sebab nuzul dan lain-lain.

3.                  Memiliki pengetahuan yang luas tentang sunnah; yakni mengetahui mana hadis yang mutawatir, ahad, sahih makna haqiqat, majaz, dan lain-lain.

4.                  Memiliki pengetahuan yang luas tentang ijma’ dan qiyas.

 

5.                  Menyatakan maksud syara’ dalam menetapkan hukum.

 

6.                  Memiliki pengetahuan yang luas tentang usul fikih. Al-Razi berkata “Ilmu usul fikih adalah ilmu yang paling penting dimiliki setiap mujtahid.94

E.      Tingkatan Mujtahidin

 

Menurut sebagaian ulama,  ulama-ulama mutjtahidin terbagi tiga tingkat,

yaitu:

1.  Mujtahid Mutlaq; melakukan ijtihad berdasarkan kemampuan sendiri,  telah memenuhi syarat-syarat mujtahid, seperti empat imam mazhab.

2.  Mujtahid Muntasib; telah memenuhi syarat-syarat mujtahid tetapi menggabungkan diri kepada suatu mazhab; seperti Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan dalam mazhab Hanafi; al-Muzanni dalam mazhab Maliki.

3.  Mujtahid Muqayyad; yaitu mujtahid yang mengikuti salah satu imam mazhab, walaupun berhasil menetapkan hukum sebagai temuannya namun tetap menisbahkannya kepada imam mazhabnya seperti Hasan ibn Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dari mazhab Maliki dan al-Buwaiti dari mazhab Syafi’i.

2.  ITTIBA`

a)               Pengertian Ittiba`

 

 


94Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 257-264


 

Ittiba` secara bahasa berarti iqtifa` (menelusuri jejek), qudwah (bersuri teladan) dan uswah (berpanutan). Ittiba` menurut istilah menerima perkataan atau ucapan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dalil Alquran maupun hadis yang dapat dijadikan hujjah /alasan. Sedangkan orang yang mengikuti dengan adanya dalil, dinamakan muttabi`95. Firman Allah swt. dalam surah An-Nahl ayat 43 berbunyi :

. التعلملن كنتم إن الذكر  اه فسئللآ Artinya: Maka tanyakanlah olehmu kepada orang yang tahu jika kamu tidak

mengetahuinya.

Dan dalam surah al-A`raf ayat 2:

كتب انز  اليك فال يكن فى صدرك حرج منه لتنذربه وذكرى للمؤمنين . dan Tuhanmu  dari   kepadamu  diturunkan   yang   keterangan  Turutilah   :   Artinya

janganlah kamu ikuti pemimpin-pemimpin yang lain dari Allah.

Dalam ayat pertama terdapat kalimat “tanyakanlah” yaitu suatu perintah yang memfaedahkan hal yang wajib untuk dilakukan. Maksudnya kewajiban kamu bertanya kepada orang yang tahu berdasarkan dari kitab dan sunnah. Sedangkan pada ayat kedua terdapat pula kalimat “turutilah” yaitu suatu perintah, yang tiap-tiap perintah wajib untuk dilakukan.96 Sabda Rasulullah Saw.

عليكم بسنتى وسنة خلفاء الراشدين من بعدي (رواه ابل داود وغيره ) Rasyidin  Khulafaur  sunnah  dan  caraku  atau  sunnahku  turuti  Wajib  :  Artinya

sesudahku. (H.R.Abu Dawud dan lainnya).

b)              Tujuan Ittiba`

 

Dengan adanya Ittiba` diharapkan agar setiap kaum muslimin, sekalipun ia orang awam, ia dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh keyakinan, tanpa diselimuti keraguan srdikitpun. Suatu ibadah atau amal jika dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusukan. Keikhlasan dan kekhusukan merupakan syarat sahnya suatu ibadah atau amal yang dikerjakan.

c)               Jenis-jenis Ittiba`

i.                             Ittiba` kepada Allah dan Rasul-Nya

 


95A. Hanafi, Ushul Fiqih (Jakarta : Widyaya, tth) hlm. 154

96Ramayulis, Sejarah dan Pengantar Usul Fiqih, hlm. 208


 

Ulama sepakat bahwavseluruh kaum muslimin wajib mengikuti segala perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya. “ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan jangan kamu ikuti selain Dia sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran. (QS. al-A`raf 7: 3).

ii.                               Ittiba` kepada selain Allah dan Rasul-Nya

Ulama berbeda pendapat tentang ittiba` kepada ulama atau para mujtahid. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa ittiba` itu hanya dibolehkan kepada Allah dan Rasul-Nya, dan para sahabatnya saja. Tidak boleh kepada yang lain. Hal ini dapat di ketahui melalui perkataan beliau kepada Abu Dawud, yaitu : “Berkata Daud, aku mendengar Ahmad berkata, Ittiba` itu adalah seorang yang mengikuti apa yang berasal dari Nabi Saw. dan para sahabatnya”.97

3.  TAQLID

a)              Pengertian Taqlid

 

Taqlid adalah mengikuti atau meniru pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber, alasan dan tanpa adanya dalil. Menurut istilah menerima suatu ucapan orang lain serta memperpegangi suatu hukum agama dengan tidak mengetahui keterangan dan alasan-alasannya. Orang yang menerima cara tersebut disebut muqalid.98

b)              Syarat-syarat Taqlid

 

Syarat-syarat taqlid dapat dibagi dua, yaitu syarat orang yang bertaqlid dan syarat orang yang di taqlidi.

·     Syarat ber-taqlid :

Orang yang diperbolehkan untuk bertaqlid adalah orang awam atau orang biasa yang tidak mengetahui cara-cara mencari hukum syari`at. Ia boleh mengikuti pendapat orang yang pandai dan mengamalkannya.

Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri hukum- hukum syari`at maka harus berijtihad sendiri, bila waktunya masih cukup.


97Drs. Sudarsono, SH., Pokok-Pokok Hukum Islam, Pustaka Ceria.

98A.Hanafi, op.cit., hlm. 157


 

Tetapi bila waktunya sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain (dalam soal-soal ibadah), maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang pandai lainnya.

·     Syarat-syarat orang yang ditaqlidi

Syarat orang yang ditaqlidi terbagi menjadi dua hukum yaitu :

A.   Hukum akal

Dalam hukum akal tidak boleh ber-taqlid kepada orang lain seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sifatnya dan hukum akal lainnya. Karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedangkan setiap orang punya akal. Jadi tidak ada gunanya jika bertaqlid dengan orang lain. Allah Swt. mencela taqlid, sebagaimana firman-nya :

 

وإذا قي  لهم التبعلا ما انز  هللا قالله ب  نتبم ماالفينا عليه اباءنا اوالل كان آباؤهم التعقللن شيئا والتهتدون . Allah, diturunkan yang perintah ikutilah mereka, kepada dikatakan Apabila Artinya: peroleh kami yang apa-apa mengikuti kami tetapi : menjawab mereka maka

dari orang tua kami. Meskipun orang tua mereka tiada memikirkan sesuatu apa pun dan tidak pula mendapat petunjuk. (al-Baqarah :170)

B.   Hukum syara`

Hukum syara` dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a.                  Yang diketahui dengan pasti dari agama seperti wajib salat lima waktu, puasa, zakat dan haji, juga tentang haramnya zina dan minuman keras. Dalam soal-soal tersebut tidak boleh taqlid, karena semua orang dapat mengetahuinya.

b.                 Yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti soal-soal ibadah yang kecil, dalam hal semacam ini diperbolehkan taqlid.

Tidak hanya taqlid yang diperbolehkan saja yang ada, tetapi taqlid yang diharamkan juga ada, yaitu :

1)  Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan Alquran dan Hadis.


 

2)  Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.

3)  Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.99

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB IV

KAEDAH-KAEDAH USULIYYAH

 

 

A.      Pengertian Kaedah Usuliyyah


99Ibid., hlm. 158.


 

Istinbat al-Ahkam dari nas Alquran dan Hadis bisa ditempuh  melalui  dua cara, yaitu pendekatan kaidah-kaidah lughawiyah (usuliyyah); dan pendekatan kaidah-kaidah tasyri’iyyah. Sebelum dijelaskan lebih lanjut terlebih dahulu dikemukakan pengertian dari kaidah usuliyyah tersebut.

Kaedah berarti aturan umum. Usuliyyah berarti pokok dan meyeluruh, yakni bukan hanya suatu hukum tertentu. Dengan demikian kaedah usuliyyah adalah aturan umum yang digunakan untuk menggali hukum. Kaedah usuliyyah berkaitan dengan lafaz dan dalalahnya atau lebih tepatnya berkaitan dengan kebahasaan (Arab)100 Pembahasan yang berkaitan dengan kebahasaan cukup banyak antara lain wadih dan mubham, ‘am dan khas, amr dan nahi, mutlaq dan muqayyad dan lain-lain.

 

B.      ‘Am dan Khas

 

‘Am menurut ulama Hanafiyyah adalah setiap lafaz yang mencakup banyak baik dari segi lafaz maupun makna. Menurut Syafi’iyyah suatu lafaz yang dari satu segi menunjukkan dua makna  atau lebih.101 Sementara Uddah (dari  Hanbali) membuat rumusan suatu lafaz yang mencakup dua hal atau lebih.102

Lafaz-lafaz yang menunjukkan ‘am ada sepuluh macam.103 yaitu:

 

1.        Suatu Lafaz yang diidafahkan kepada ma’rifah.

 

صالة الجمعة   , نعمة هللا Contoh:

2.        Alif lam masuk kepada isim jama’.

 

Seperti:   الرجال

3.        Isim mufrad yang memakai alif lam, disebut alif lam jinsiyyah.

 

االنسان   Seperti:

4.        Isim syarat, yaitu man, ma, ayyu dan aina.

 


فمن شهد Contoh:


ما تنفقوا,


أي كتاب,


أين ما تكون,


 

 

100Kamal Mukhtar dkk., op. cit., hlm.186. Lihat juga: Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 147.

101Ibid., hlm. 193.

102Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 46-47.

103Kamal Mukhtar, dkk., jilid II, op. cit., hlm. 8-16


 

5.        Isim mausul.

 


Seperti:


الذى


الذين ,


6.        Isim nakirah dimasuki nafi, nahi atau syarat.

 

ال تبطلوا صدقاتكم ,ال وصية لوارث , ان جاءكم فاسق Contoh:

7.        Isim nakirah yang diberi sifat dengan sifat umum.

 

رجل صالح , عبد مؤمن Seperti:

8.        Lafaz-lafaz yang menunjukkan berlaku umum.

 

سائر , معشر , عامة , كافة Seperti:

9.     Kata yang diidafahkan kepada     كل    dan جميع

جميع الناجحين , كل عمل   Seperti:

10.   Lafaz `amr ditujukan kepada jama’.

أقيموا الصالة     Seperti:

Menurut Al-Khudari Bek, khas adalah suatu lafaz yang menunjukkan  suatu arti secara mandiri. Al-Amidi merumuskan khas adalah suatu lafaz yang tidak patut digunakan bersama oleh jumlah yang banyak.104 Lafaz khas itu menunjukkan kepada sesuatu yang tertentu seperti Musa, atau menunjukkan suatu macam/jenis seperti rajulun (seorang laki-laki), imra`atun (seorang wanita) atau bilangan tertentu seperti tiga, seratus, seribu. Lafaz khas itu dapat ditujukan kepada  benda  yang konkrit seperti contoh-contoh di atas, atau yang abstrak seperti ilmu, kecerdasan, kebodohan dan lain-lain.105

Menurut jumhur ulama usul, lafaz ‘am pada umumnya ditujukan kepada sebagian satuan-satuannya saja, sehingga dikalangan ulama terkenal kaidah ماا

 خا اال عاام مان    (tidak  ada  sesuatu  yang  umum  melainkan  dibatasi).  Lebih  jelasnya bahwa menurut jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, dilalah ‘am adalah zanniy. Ibnu Abbas berkata:

ليس فى القران عام االخصص اال قلله تعالى : وهللا بك  شيء عليم

 

Artinya: Semua lafaz umum dalam Alquran ada takhsisnya, kecuali firman-Nya: “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.


104Amir Syarifyddin, op.cit., hlm. 83.

105Kamal Mukhtar, dkk., jilid II, op.cit., hlm. 6.


 

Menurut Hanafiyah dilalah ‘am itu qat’iy, kecuali ada dalil yang mengubahnya. Dengan demikian, menurut jumhur ulama, hadis ahad dapat mentakhsis lafaz Alquran yang dilalahnya zanniy, sedang menurut Hanafiyah, hadis ahad tidak dapat mentakhsis ayat Alquran.

Karena itulah ulama Hanafiyah berpendapat tidak wajib “ tertib    dalam wudu` sebab ayat wudu` (surah al-Ma`idah ayat 6) jelas tidak memerintahkan tertib berwudu`, walaupun ada hadis  yang menyatakan wajib tertib berwudu`,  hadis tersebut tidak dapat mengkhususkan (mentakhsis) keumuman ayat wudu`.

Sedang menurut jumhur wajib tertib dalam berwudu` dengan  hadis. Maknanya: Allah tidak menerima shalat seseorang sehingga ia bersuci sesuai tertib pelaksanaanya, maka hendaklah ia membasuh wajahnya kemudian dua tanggannya (hadis ini mengkhususkan ayat wudu`). Lain pula pendirian  Imam  Malik  tentang tertib dalam wudu`. Walaupun beliau sependapat dengan jumhur, bahwa hadis ahad dapat mentakhsis lafaz ‘am Alquran, hadis ahad tersebut harus didukung oleh pengamalan Ahlu Madinah. Berhubung hadis di atas tidak didukung  pengamalan Ahlu Madinah, maka Imam Malikpun tidak mewajibkan tertib dalam wudu`.106

 

C.     Amr dan Nahi

Amr adalah suatu tuntutan dari atasan kepada bawahan untuk mengerjakan suatu pekerjaan.107 Sigat (bentuk kata) yang menunjukkan Amr ada  enam macam yaitu :

1.        Fi’il amr

 

2.       Fi’il mudari’ yang dimasuki lam amr, seperti: ولتكن

 

3.        Isim fiil amr seperti: أنفسكم عليكم   (jagalah dirimu)

 

4.       Masdar pengganti fiil amr, seperti: احسانا وبالوالدين

 

5.        Jumlah khabariyyah yang mengandung arti insya`iyyah seperti:

 

 

 


106Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 194-198.

107Muhammad Adib Salih, Tafsir an-Nusus fi al-Fiqh al-Islami, jilid I, ( Beirut : al-Maktab al- Islami, 1984), hlm. 234


 

والمطلقت يتربصن بأنفسهن ثالثة قرؤ

Artinya: Wanita-wanita yang ditalak suaminya, hendaklah menunggu ‘iddah

mereka tiga quru’.

6.        Kata-kata yang mengandung makna perintah, seperti “amara, farada, kutiba”.108

 

Makna lafaz amr menurut aslinya adalah menunjukkan wajib. Tetapi digunakan juga kepada makna lain (bukan wajib). Makna yang bukan wajib tersebut dapat dipahami dari pekerjaan yang akan dilakukan atau perbuatan yang disuruh dengan amr yang bersangkutan. Makna-makna amr tersebut antara lain : 109

1.  Nadab (sunat dikerjakan), seperti membuat perjanjian dengan budak yang ingin dimerdekakan, kelihatannya mampu menebus dirinya dengan sejumlah pembayaran. Firman Allah pada surah an-Nur ayat 33:

فكاتبلهم ان علمتم فيهم خيرا

Artinya: Maka hendaklah kamu buat perjanjian  dengan mereka jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka.

2.  Irsyad (memberi tuntunan), seperti suruhan mengambil saksi dalam jual-beli tertentu. Firman Allah pada surah al-Baqarah ayat 282:

وأشهدوا اذا تبايعتم

Artinya: Dan persaksikanlah apabila kamu berjual-beli.

3.  Ta’dib (bersopan santun); seperti: “makanlah apa yang ada di dekatmu”.

 

4.  Ibahah (boleh dilakukan atau tidak dilakukan), seperti: “makan dan minumlah kamu: (surah al-Baqarah ayat 60).

5.  Tahdid (mengancam), seperti: “lakukanlah apa yang kamu kehendaki” (surah

 

Fhussilat ayat 40).

 

6.  Ikram (memuliakan), seperti: “Masuklah kamu ke dalamnya (surga) dengan selamat dan tentram” (surah al-Hijr ayat 46).

 


108Kamal Mukhtar, dkk., jilid II, op.cit., hlm. 27-29.

109Ibid., hlm. 30-34.


 

7.  Taskhir (menghina), seperti: “Jadilah kamu kera yang hina” (surah al-Baqarah

 

ayat 65).

 

8.  Ta’jiz (menunjukkan kelemahan mukhatab), seperti: “Buatlah satu  surat  saja  yang setara dengan Alquran” (surah al-Baqarah ayat 23).

9.  Do’a, seperti: “Turunkanlah rahmat kepada kami”.

 

Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan dari yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Sigat yang menunjukkan nahi ada tiga macam : 110

1.   Fiil mudari’ yang didahului la nahi, seperti: الزنا تقربوا ال

 

2.   Perintah meninggalkan suatu pekerjaan, seperti: الزور قول اجتنبوا

 

3.   Lafaz-lafaz yang menunjukkan haram, seperti: الربا حرم , رفث فال

 

Adapun makna nahi pada dasarnya menunjukkan haram. Namun digunakan juga kepada makna lain, yaitu : 111

1.                          Makruh, seperti hadis yang menyatakan: “janganlah minum dengan tangan kirimu”.

2.                          Irsyad (memberi bimbingan), seperti:  “janganlah  kamu  menanyakan hal-hal yang jika diterangkan akan menyusahkan kamu” (surah al-Ma`idah ayat 10).

3.                          Al-Dawam/berkekalan, langgeng, seperti: “sekali-kali janganlah kamu menyangka bahwa Allah lalai dari pada yang diperbuat orang-orang zalim” (surah Ibrahim ayat 42).

4.                          Menerangkan akibat, seperti: “janganlah kamu mengira bahwa mereka yang gugur di jalan itu mati, tetapi mereka itu hidup” (surah Ali Imran ayat 169).

5.                          Menyatakan keputusan, seperti: “Hai orang-orang kafir janganlah kamu membuat alasan (untuk dapat diampuni) pada hari ini” (surah Ibrahim ayat 7).

 


110Ibid., hlm. 27-29.

111Ibid., hlm. 49-52


 

6.                          Menghibur, seperti: “Janganlah berduka cita, sesungguhnya Allah bersama kita” (surah at-Taubah ayat 40).

7.                          Tamanni (berangan-angan) seperti: “Hai malam panjanglah!”

 

8.                          Mencaci, seperti: “Janganlah  engkau melarang orang berperilaku dengan perbuatan yang jelek sedang engkau sendiri melakukan yang sama dengannya”.

9.                          Tahdid (menghardik, mengancam), seperti: “Jangan dengarkan nasehatku!”

 

10.                     Do’a, seperti: “Ya Allah, janganlah azab kami pada hari kiamat”.

 

11.                     Iltimas (ucapan kepada teman), seperti: “Janganlah banyak merokok!”.

 

 

D.     Mutlaq dan Muqayyad

Mutlaq adalah lafaz yang belum ada batasannya atau belum ada ikatannya dengan kata lain, seperti guru, siswa, buku, burung, kayu dan sebagainya.  Bila dibatasi dengan lafaz lain, umpamanya: guru madrasah, siswa Aliyyah, buku pelajaran fisika, burung beo, kayu jati, maka jangkauan  pengertian masing-masing lafaz tersebut telah dibatasi atau semakin sempit bila dibandingkan dengan sebelum dihubungkan dengan lafaz lain. Masing-masing lafaz tersebut setelah dikaitkan/dihubungkan dengan lafaz lain, disebut muqayyad.

Para ulama usul fikih merumuskan defenisi mutlaq dan muqayyad yang  redaksinya berbeda-beda namun  pengertiannya sama  dengan pengertian di atas, antara lain: Mutlaq adalah lafaz yang memberi petunjuk kepada hakikat  sesuatu tanpa ada ikatan apa-apa.”112Muqayyad adalah suatu lafaz yang menunjukkan hakikat sesuatu yang  dibatasi dengan suatu pembatasan yang  mempersempit keluasan artinya.”113

Berbicara tentang hukum mutlaq dan muqayyad, ada empat macam hukum yang telah disepakati ulama, yaitu:

1.   Lafaz mutlaq sesuai dengan mutlaqnya, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kepada muqayyad. Contoh, haram menikahi ibu si istri (surah an-Nisaayat 23).


112Amir Syarifuddin, op.cit., hlm. 116

113Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 212


 

Dalam ayat ini mutlaq ibu istri baik seseorang itu telah mencampuri istrinya atau belum.

2.         Lafaz mutlaq yang ada taqyidnya, maka diamalkan secara muqayyad. Contoh: lafaz wasiyyat pada surah an-Nisa` ayat 11 adalah mutlaq tanpa batas apakah separuh, sepertiga atau seluruh harta peninggalan. Tetapi pada hadis ditemukan bahwa wasiat itu maksimal sepertiga. Dengan demikian lafaz wasiyyat pada ayat tersebut menjadi muqayyad dengan hadis.

3.       Lafaz muqayyad diamalkan tidak muqayyad karena ada dalil yang menghapuskan muqayyadnya. Contoh: pada surah an-Nisa’ ayat 23 dinyatakan  haram  mengawini anak tiri dengan dua batasan. Batasan pertama berada dalam pemeliharaan ayah tiri. Batasan kedua bahwa ibu kandung anak tiri itu sudah dicampuri. Menurut batasan pertama yakni anak tiri yang dalam  pemeliharaan ayah tiri yang haram dikawini. Bila anak tiri itu tidak dalam pemeliharaan  ayah  tiri berarti boleh dikawini ayah tiri. Namun dalam hal ini, lafaz yang menyatakan “dalam pemeliharaan  ayah tiri” sebagai lafaz muqayyad  tidak  diamalkan, sehingga semua anak tiri baik dipelihara di rumah ayah tiri maupun berada di tempat lain tetap haram dikawini  bila ibunya sudah dicampuri. Dalil yang menujukkan bahwa batasan yang pertama tidak diamalkan dengan dua alasan:

a.  Pada ayat itu dinyatakan bahwa boleh mengawini anak tiri bila ibunya tidak dicampuri, tidak disebutkan bila anak tiri itu berada dirumah lain.

b.  Bila anak tiri yang berada di rumah lain boleh dikawini, tentu seseorang akan mengawini seorang perempuan bersama-sama dengan anak perempuan tersebut. Ini tidak mungkin dibenarkan dalam Islam.

4.       Lafaz Muqayyad, diamalkan tetap sebagai muqayyad, karena tidak ada dalil yang menghapuskan batasan/taqyidnya. Contoh: kifarat zihar adalah memerdekakan seorang budak, kalau tidak ada atau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut


 

turut sebelum mencampuri istrinya (surah al-Mujadilah ayat 3-4). Puasa dua  bulan berturut-turut sebelum bercampur adalah lafaz muqayyad. Bagi yang menzihar istrinya wajib mengamalkan kifarat tersebut. 114(Mukhtar, dkk., 1995b:56-59).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


114Kamal Mukhtar


 

 

 

 

 

 

BAB V

KAEDAH-KAEDAH FIQHIYYAH

 

 

A.  Definisi Kaedah Fiqhiyyah

 

Telah diungkapkan pada bagian awal bab sebelumnya bahwa dalam  memahami nas, ditempuh dua cara agar pesan-pesan imperatif yang terkandung pada setiap nas tersebut dapat ditangkap dengan baik dan pada gilirannya terealisasikan dengan baik pula. Setelah mengemukakan seperlunya kaedah usuliyyah yang titik tekannya ada pada aspek kebahasaan, maka pada bab ini dijelaskan kaedah fiqhiyyah yang menekankan pada jiwa atau semangat ajarannya.

Seperti telah termaklumi bahwa kaedah berarti aturan umum yang menjadi pedoman bagi kasus-kasus yang bersifat spesifik (furu’). Jika kata kaedah tersebut dirangkaikan dengan fiqhiyyah (susunannya berbentuk na’at dan man’ut, dengan penambahan ya nisbah pada kata fiqh) berarti aturan umum bertalian dengan masalah-masalah fikih, atau patokan-patokan hukum fikih yang bersifat umum yang diambil dari dalil-dalil yang bersifat umum (Alquran dan Sunnah)

Terdapat beberapa definisi yang dirumuskan oleh para ulama usul (usuliyyin) mengenai kaedah fiqhiyyah, satu di antaranya adalah pendapat Ali  Hasaballah,115 yang menyatakan “sekumpulan aturan (pedoman) yang dibuat oleh syari’ dalam menetapkan hukum (tasyri’) dan tujuan-tujuan yang diinginkan dalam membuat pembebanan hukum (taklif)”.

Mengingat kaedah-kaedah fiqhiyyah ini bersifat kulli (umum) maka disebut juga kaedah kulliyah. Perlu dimaklumi bahwa masing-masing kaedah fiqhiyyah dirumuskan berdasarkan cukup banyaknya masalah  furu’ yang masuk dalam cakupannya, dalam arti tidak tertutup kemungkinan terdapat satu atau beberapa masalah furu’ yang tidak tepat digolongkan dalam kaedah-kaedah fiqhiyyah tersebut..

 

 


115Ali Hasaballah, Usul at-Tasyri` al-Islami, (Kairo : Dar al-Ma`arif, t.t.), hlm. 293


 

Untuk lebih jelasnya pengertian kaedah fiqhiyyah tersebut diambil salah satu contoh kaedah yang berbunyi:

االجتهاد الينقض باالجتهاد

 

Maksudnya: Hasil ijtihad yang sudah lalu tidak dibatalkan  dengan  Ijtihad yang datang kemudian.116 (Rahman, 1986:10).

 

B.   Urgensi Kaedah Fiqhiyyah

Area pembahasan fikih Islam itu sangat luas, mengingat fikih Islam menetapkan hukum yang mencakup hubungan hamba dan Khaliqnya, antar hamba dengan hamba baik urusan pribadi, maupun menyangkut masyarakat, bangsa dan negara serta hubungan internasional bahkan menyangkut dengan jenazah, juga mengatur perlakuan terhadap hewan-hewan, dan alam lingkungan.

Memperhatikan luasnya cakupan pembahasan fikih Islam, cukup berat bagi para mujtahid untuk menetapkan hukum setiap masalah furu’ yang tidak terhitung jumlahnya dan terus berkembang. Para ulama usul fikih membuat  kaidah-kaidah fiqhiyyah, di mana setiap kaidah memiliki cakupan yang cukup banyak masalah furu’nya sehingga masalah-masalah furu’ tersebut dikelompokkan menjadi beberapa kumpulan tersendiri, setiap kumpulan bernaung di bawah satu kaidah.

Dengan demikian para mujtahid merasa lebih mudah untuk menetapkan hukum suatu masalah yakni dengan menempatkannya pada salah satu kaidah fiqhiyyah yang lebih tepat untuk masing-masing masalah furu’.  Dapat  dipahami bahwa kaidah fiqhiyyah adalah perluasan secara umum dari  hukum-hukum  furu’ yang banyak jumlahnya dan seragam. Mengetahui kaidah-kaidah fiqhiyyah, berperan memudahkan memberi fatwa.

Dapat disimpulkan bahwa urgensi kaidah-kaidah fiqhiyyah adalah sebagai berikut:

1.                  Sebagai salah satu jalan mendalami fikih

 

2.                  Mengantarkan seseorang fakih mampu menganalisis berbagai masalah fikih.

 

3.                  Memudahkan untuk memahami hukum suatu kasus.

 


116 Asjmuni A Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 16-19


 

 

 

 

 

C.  Perbedaan Kaidah Fiqhiyyah dengan Kaidah Ushuliyyah

 

 

1.   Objek kaedah fiqhiyyah adalah perbuatan mukallaf, sedang objek kaidah usuliyyah

adalah dalil hukum.

2.     Ketentuan kaedah fiqhiyyah berlaku pada sebagian besar hukum-hukum furu’ (bukan semuanya), sedang kaidah usuliyyah berlaku pada semua hukum-hukum furu’.

3.   Kaedah fiqhiyyah bersifat ukuran/keadaan suatu masalah, sedang kaidah usuliyyah

bersifat kebahasaan.

4.       Kaedah fiqhiyyah pada dasarnya untuk memudahkan memahami hukum fiqih, sedang kaidah usuliyyah sebagai sarana untuk mengistinbatkan hukum.117

D.  Kaedah Asasiyyah

 

Kaedah asasiyyah berarti aturan umum/undang-undang yang pokok, maksudnya kaedah asasiyyah tersebut menjadi rujukan/tempat berpijak atau dasar semua kaedah fiqhiyyah. Sebagian ulama menetapkan bahwa seluruh  kaedah fiqhiyyah (jumlahnya ada yang mengatakan 40 buah, 86 buah, 160  buah dan lain-  lain) merujuk kepada lima buah kaedah yang disebut “Panca Kaedah Kulliyah/Fiqhiyyah”.

Syekh ‘Izzuddin Ibnu Abdis Salam mengembalikan semua kaedah fiqhiyyah kepada satu kaedah saja yaitu “Dar al-mafasid wa jalbu al-mashalih” (menolak kerusakan dan menarik kemaslahatan). Ini sesuai dengan hakikat ketentuan hukum yang keseluruhannya dimaksudkan demi memenuhi kebutuhan manusia.118

Panca kaedah fiqhiyyah tersebut adalah:

1.                     Al-umuru bi maqasidiha. ( بمقاصدها األمر (

 

2.                     Al masyaqqah tajlibu al-taisir  .( التيسير تجلب المشقة )

 


117Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 254-255

118Muhammad Sa`id Ramadan al-Buti, Dawabit al-Maslahah fi asy-Syari`ah al-Islamiyyah,

(Damaskus: Ad-Dar al-Muttahidah, 1992) hlm. 69.


 

3.                     Al-Dararu yuzal.  (  يزال الضرر )

 

4.                    Al-Yaqinu la yuzalu bi al-syak.  ( بالشك يزال ال اليقين ) 5. Al ‘adatu muhakkamah. (محكمة العادة ).119

 

E.       Kaedah-kaedah yang Berkaitan dengan Kaedah Asasiyyah

Bagian ini memuat pembahasan beberapa kaedah yang masuk dalam cakupan masing-masing kaedah asasiyyah yang terdiri dari lima kaedah. Telah disebutkan bahwa kaedah-kaedah fiqhiyyah merujuk kepada lima buah kaedah pokok tersebut.

1.   Kaedah pertama, Al umuru bi maqasidiha ( بمقاصدها األمر ) Artinya semua pekerjaan itu menurut maksud pelakunya. Kaedah-kaedah yang  termasuk  dalam cakupan  ini antara lain:

-3 ماال يشترط التعرض له جملة او تفصيال اذا عينه و أخطأ لم يضر

 

Artinya: Suatu amal yang tidak disyaratkan penjelasannya baik secara global atau terinci walaupun ditentukannya dan ternyata salah, tidak merusak amal tersebut.

Contoh: Dalam shalat tidak disyaratkan niat menyebutkan jumlah rakaat, walaupun meniatkan shalat maghrib 4 rakaat tapi dilaksanakan 3 rakaat,  shalatnya tetap syah.

-2 النية فى اليمين تخصص اللفظ العام والتعم الخاص

 

Artinya: Niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz yang  umum, bukan mengumumkan lafaz yang khusus.

Contoh: Jamal bersumpah tidak akan berbicara dengan seseorang,  maksudnya  dengan Latief, maka sumpahnya hanya berlaku kepada si Latief saja, tidak kepada semua orang.120

2.          Kaedah   kedua:   التيسااير تجلااب المشااقة.   Artinya:   kesukaran   itu   mendatangkan kemudahan. Kaedah-kaedah yang bernaung di bawah kaedah ini, antara lain:

-3  األمر اذا ضاق اتسم

 

Artinya:    Suatu masalah apabila sempit  menjadi luas


119 Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 270-274

120Rahmat Syafe`I, op.cit., hlm. 277-279.


 

Contoh: Seseorang yang sakit boleh berbuka puasa, boleh shalat fardhu dengan berbaring.

-2 الرخص ال تناط بالمعاصى

 

Artinya: Keringanan-keringanan itu tidak boleh dikaitkan dengan kemaksiatan. Contoh: Musafir untuk melakukan maksiat tidak boleh berbuka puasa.

3.       Kaedah Ketiga: يازال الضارر      Artinya: Kemudratan itu harus dihilangkan.   Kaedah- kaedah dalam cakupannya antara lain:

-3 الضرورات تبيح المحظلرات

 

Artinya: Kemudaratan itu membolehkan melakukan yang dilarang.

Contoh: Seseorang yang kelaparan boleh makan daging babi bila hanya daging babi yang ada.

-2 ما أبيح بالضرورة يقدر بقدرها

 

Artinya: Apa yang dibolehkan karena kemudaratan di ukur menurut kadar kemudlratannya.

Contoh: Kebolehan makan daging babi, jangan sampai kenyang, cukup sekedarnya saja.

4.    Kaedah  keempat:  بالشاك يازال ال اليقاين  Artinya:    Keyakinan  tidak  dapat  dihilangkan dengan adanya keraguan. Kaedah-kaedah yang  tergolong dalam kelompok kaedah ini antara lain:

-3 األص  بقاء ما كان على ما كان

 

Artinya: Hukum asal, tetap keadaannya menurut keadaan yang telah lalu.

Contoh: Seorang debitur mengatakan telah melunasi utangnya kepada kreditur, sedang kreditur bersumpah belum menerimanya maka dihukumkan debitur belum melunasi utangnya, kecuali ada bukti lain.

-2 ان ما ثبت بيقين ال يرتفم اال بيقين

 

Artinya: Sesuatu yang sudah ditetapkan dengan yakin tak dapat dihilangkan kecuali dengan yakin pula.

Contoh: Seseorang yang telah berwudu’ ia tetap suci dari hadas kecuali ia yakin

wudu`nya telah batal.


 

5.       Kaedah  kelima:   محكماة العاادة  Artinya:   Adat  kebiasaan  dapat  ditetapkan  sebagai hukum. Perlu diperjelas  bahwa adat yang  ditetapkan sebagai hukum adalah kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan  nas serta jiwa syariat Islam. Kaedah-kaedah yang  termasuk  dalam  wilayah  kaedah ini, antara lain:

-3 استعما  الناس حجة تجب العم  بها

 

Artinya: Apa yang biasa dilakukan orang banyak, merupakan dalil yang wajib diamalkan.

Contoh: Benda-benda berat yang diperjualbelikan, biaya mengangkutnya ke rumah pembeli ditanggung oleh penjual.

-2 التعيين بالعرف كالتعيين بالنص

 

Artinya: Menentukan sesuatu berdasarkan ‘urf seperti menentukan berdasarkan nas.

Contoh:   Makan    di    rumah    makan    terlebih    dahulu    dimakan    baru    ditanya harganya/dibayar.121

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


121Kamal Mukhtar, dkk. Jilid II, op.cit., hlm. 198-216.


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB VI MAQASID AS-SHAR`IYYAH

 

A.   Pengertian Maqasid as-Shar`iyyah

Secara lughawi, Maqasid as-Shari`iyyah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan as-shar`iyyah. hubungan Maqasid dengan as-Shari`iyyah dalam bentuk mudhaf dan mudhafun ilaih. Maqasid adalah bentuk jama` dari maqsud yang berarti kesengajaan,  maksud atau tujuan.  Syariat secara  bahasa  berarti الماء الى yang berarti jalan menuju sumber air.

Jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok kehidupan. Kata syariah yang sejatinya berarti hukum Allah, baik yang ditetapkan sendiri oleh Allah, maupun ditetapkan Nabi sebagai penjelas atas hukum yang ditetapkan Allah atau dihasilkan oleh mujtahid berdasarkan apa yang ditetapkan oleh Allah atau dijelaskan oleh Nabi.

Dihubungkannya kata syariat kepada kata maksud, maka kata syariat berarti pembuat hukum atau syari`. Dengan demikian kata Maqasid as-Shar`iyyah berarti apa yang dimaksud oleh Allah dalam menetapkan hukum, apa yang dituju Allah dalam menetapkan hukum atau apa yang ingin dicapai oleh Allah dalam menetapkan suatu hukum.122

Adapun tujuan syariat (maqasid as-syar`iyyah) adalah untuk kemaslahatan manusia. As-Syatibi menulis :

هذه الشريعة وضعت لتحقيق مقاصد الشارع فى قيام مصالحهم فى الدين والدنيا معا di manusia kemaslahatan mewujudkan bertujuan itu syariat Sesungguhnya : Artinya

dunia dan di akhirat.123

 


122 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jakarta : CV. Mulya, 1996, hlm. 78

123Jumantoro, Totok & Munir, samsul, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta : Amzah, 2008, hlm.

196


 

 

 

B.   Pembagian Maqasid as-Syar`iyyah.

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari mensyariatkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :

1.                 Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia (Maqashid al-Dharuriyyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu : Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab), dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing- masing lima perkara itu, hukum yang menjamin realisasinya dan pemeliharaannya, lantaran dua jaminan hukum ini, terpenuhilah bagi manusia kebutuhan primernya.

a)        Agama

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum dan undang- undang yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhan-nya (hubungan vertikal) dan hubungan antara sesama manusia (hubungan horizontal). Agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi dan sempurna seperti dinyatakan dalam Alquran surat al- Maidah ayat 3. Yang berbunyi :

Artinya :

Pada hari ini telah aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.

Beragama merupakan kekhususan bagi manusia, merupakan kebutuhan utama yang harus dipenuhi karena agama lah yang dapat menyentuh nurani manusia, seperti perintah Allah agar kita tetap berusaha menegakkan agama, seperti firman Allah dalam surat asy-syura ayat 13.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidah, ibadah dan akhlaknya atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran islam dengan berbagai paham dan aliran yang batil. Walaupun begitu, agama Islam memberi perlindungan dan kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan


 

melaksanakan ibadah menurut agama yang diyakininya, orang-orang islam tidak memaksa seseorang untuk memeluk agama Islam. Hal ini seperti yang telah ditegaskan Allah dalam firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 256.

b)        Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan hukuman qisas (pembalasan yang seimbang), diyat (denda) dan kafarat (tebusan) sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan pembunuhan, berfikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati, maka seseorang yang  membunuh tersebut juga akan mati.

Berikut adalah salah satu contoh ayat yang melarang pembunuhan terjadi di dunia, yaitu surat al-Isra` ayat 33

Artinya :

“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.

c)        Memelihara Akal

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna di antara seluruh makhluk ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal.

Untuk menjaga akal tersebut, Islam telah melarang minum khamar (jenis minuman keras) dan setiap yang memabukkan atau menggunakan jenis apa saja yang dapat merusak akal.dan menghukum orang yang meminumnya. Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini, termasuk kepada binatang ternak, kurma hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat an-

Nahl ayat 66-69.

d)        Memelihara Keturunan


 

Islam telah mengatur pernikahan dan mengharamkan zina, menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini, bagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus dipenuhi,  sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tidak hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbuatan dan apa saja yang dapat membawa pada zina.

e)        Memelihara Harta Benda

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama` kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apapun, maka Islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu, Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai muamalah seperti jual beli, sewa menyewa, gadai dan lain-lain.124

2.                 Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder manusia (Maqashid al-Hajiyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang menyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah ( tukar menukar). Islam telah mensyariatkan sejumlah hukum dalam berbagai ibadah, muamalah dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.

Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsah (keringanan, kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesulitan dalam melaksanakan hukum Azimah (kewajiban). Contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada siang hari bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak) dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti


124Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta : Bumi Aksara, 1992, hlm. 67-101


 

jual beli, syirkah (perseroan), mudharabah (berniaga dengan harta orang lain) dan lain-lain.

3.                  Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap manusia (Maqashid al-Tahsini).

Manusia mempunyai kepentingan-kepentingan yang bersifat pelengkap, ketika Islam mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat menyempurnakannya seperti tertib. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tatahawwu`), maka Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya, sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya sebelum sempurna.

Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari hasil bekerja yang halal. Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan pelengkapnya, atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu di antara tiga kepentingan tersebut.125

 

C.   Kedudukan Maqashid as-Syar`iyyah

Dalil-dalil syariat Islam menegaskan bahwa setiap hukum-hukumnya mempunyai maqashid atau maksud yang tertentu Tujuan pensyariatan itu untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Maqasid as-Syar`iyyah merupakan tolak ukur dalam menilai sesuatu. Dengan kata lain, dalam memahami sesuatu hukum harus seiring dengan maqashid yang telah digariskan oleh syara`. Fenomena ini jelas terlihat di dalam Alquran dan al-Sunnah. Jumhur ulama telah berpendapat bahwa hukum-hukum syara` mengandung hikmah dan maqashid tersendiri, yang berkisar tentang menjaga kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Pengamatan terhadap hukum-hukum ini telah menghasilkan satu jalinan yang kuat antara hukum syara` dan maqashidnya.

 


125Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 333-343.


 

Dalam proses memahami hukum, seorang faqih perlu memahami dalil-dalil hukum dan memandang lebih jauh lagi aspek maqasid hukum tersebut disyariatkan. Malah dapat dikatakan hukum fiqih tanpa maqasid sama seperti jasad yang tiada ruhnya.

Dalil-dalil yang mengukuhkan kedudukan maqashid sebagai hujjah yang mengikat :

·     Alquran

Alquran merupakan sumber primer maqashid as-Syar`iyyah sama ada secara langsung atau pun tidak, dari Alquran dapat diketahui maqashid pengutusan rasul-rasul, penurunan Alquran, pentaklifan mukallaf dengan tanggungjawab dan pembalasannya dan maqashid kejadian alam dan manusia.

·     Al-Sunnah

Sebagai sumber kedua setelah Alquran, al-Sunnah mempunyai peranan penting dalam menguatkan apa yang dibawa oleh Alquran. Menafsirkan Alquran, menjelaskan dan menguraikannya agar lebih jelas dan mudah dipraktekkan. Banyak sekali al-Sunnah menerangkan sesuatu hukum turut menekankan aspek maqshid hukum tersebut. Contoh hadis Rasulullah Saw. yang artinya : “Sesungguhnya agama itu mudah”. Hadis ini menunjukkan maqashid memudahkan ummat tidak membebankan dan senang untuk diamalkan. Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda : “Jika tidak memberatkan ummatku niscaya aku suruh mereka bersiwak untuk setiap kali shalat” dari hadis ini jelas menunjukkan bahwa syariat Islam bertujuan memudahkan ummat dan memastikan kemaslahatan mereka terjamin.

·     Ijtihad

Pada masa sahabat mereka telah mengaplikasikan konsep maqashid as- syar`iyyah dalam setiap ijtihad yang mereka lakukan. Jika dibandingkan dengan masa Rasul Saw. penggunaan konsep maqashid as-syar`iyyah pada masa sahabat lebih banyak digunakan karena banyaknya perkara-perkara baru yang tidak ada nas nya.


 

Pemahaman para sahabat terhadap Alquran sangat istimewa dibandingkan dengan pemahaman orang lain, karena mereka bukan saja memahami zahir ayat Alquran tetapi menjangkau tujuan dibalik turunnya Alquran. Kita dapati ijtihad-ijtihad mereka sesuai dengan kehendak syara` untuk menjamin kemaslahatan ummat. Contoh ijtihad sahabat mengumpulkan Alquran dalam satu mushaf, menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz, tidak membagikan tanah rampasan perang kepada tentara, dan lain-lain.

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abidin, Slamet, dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat 1, Bandung : CV.

Pustaka Setia

ad-Dabusi, Abu Zaid ‘Abd Allah ibn ‘Umar. t.t. Taqwim al-Adillah. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.

al-Amidi, Abu al-Hasan ‘Ali ibn Muhammad. 1404 H. Al-Ihkam fi Usul al- Ahkam. Beirut: Dar al-Kutub al-Arabi. Jilid II.

 

Al-Anshary, Abu Yahya Zakariya, t.t., Fath al-Wahhab, Singapura : Sulaiman Mar`iy.

 

Al-Asfahani, al-Raghib, Mu`jam Mufradat Alfaz Alquran, Beirut : Dar al-Fikr, t.t.

al-Bazdawi, Fakhr al-Islam ‘Ali ibn Muhammad ibn al-Husain. 1308 H. Kasyf al-Asrar ‘ala Usul al-Fiqh. ttp.: Maktab as-Sanayi’. Jilid I.

 

al-Bukhari, Abd al-‘Aziz. 1307 H. Kasyf al-Asrar Syarh Usul al-Bazdawi. ttp.: Maktab as-Sanayi’. Jilid I.

 

al-Buti, Muhammad Sa’id Ramadan. 1992. Dawabit al-Maslahah fi asy- Syari’ah al-Islamiyyah. Damaskus: Ad-Dar al-Muttahidah. Cet. VI.

 

Al-Fayumi, Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Maqri, 1994, al-Misbah al-Munir fi Gharib al-Syarh al Kabir li al-Rafi`I, Beirut : Dar al-Kutub al- Islamiyah.

 

Al-`Ikk, Khalid Abdurrahman, 2009, Fikih Wanita, Semarang : Pustaka Rizki Putra.

Al-Jassas. t.t. Usul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyah.

 

Al-Jawi, Muhammad Nawawi bin Umar Al-Bantani, t.t., Qutb al-Habib al- Gharib, Tausyikh `ala Fath Al-Qarib al-Mujib, Semarang: Toha Putera.

Al-Jundi, Abdul Halim. 1966. Al-Imam al-Syafi’i: Nasir al-Sunnah wa Wadi’ al- Usul. t.t.p: Dar al-Qalam.

Al-Jurzani. 1943. Manahil al-‘Irfan. Mesir: Issa al-Bab al-Halabi. Jilid I.

 

Al-Jurjani, Al-Syarif Ali bin Muhammad, 1988, Kitab Al-Ta`rifat, Beirut : Dar al-Kutub al-`Ilmiyah.


 

Al-Kahlaniy, Muhammad bin Ismail, t.t., Subul al-Salam, Bandung : Dahlan

 

Al-Khinn, Mustafa Sa’id. 1982. Asar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fiqh. Beirut: Mu`assasah ar-Risalah. Cetakan Pertama.

 

Al-Khudari, Muhammad, 1965, Tarikh al-Tasyri’ al-Islamy, Mesir: Al- Maktabat Al-Tijariyat al-Kubra.

 

Al-Mahalli, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad, 2001, Kanz al-Raghibin Syarh Minhaj al-Talibin, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, cet. 1.

 

Al-Mishri, Ibnu Manzhur Abu al-Fadhal Jamaluddin Muhammad bin Makram bin al-Afriqi, t.t., Lisan al-`Arab, Beirut : Dar al-Shadir, jilid VII

 

Al-Nawawi, Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf bin Murri, t.t., Nihayah al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi`in, Beirut : Dar al-Fikr, cet 1.

 

Al-Qardhawi, Yusuf. 1987. al-Ijtihad fi asy-Syariah al-Islamiyyah ma’a Nazarat Tahliliyyah fi al-Ijtihad al-Mu’asir, terj. Ahmad Syathari. Jakarta: Bulan Bintang.

 

Al-Qardhawi, Yusuf, 1994, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw, terj.

Muhammad al-Bagir, Bandung : Kharisma.

 

Al-San’ani, 1988, Subul al-Salam, Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Jilid IV. Al-Syafi`I, 1961, al-Umm, Maktabah al-Kulliyah al-Azhariyyah, jilid VII.

Al-Syarbini, Muhammad al-Khatib, t.t., Mughni al-Muhtaj, Beirut : Dar al-Fikr.

 

Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, 2014, Fikih Thaharah, Jakarta : Darus Sunnah Press, cet 1.

 

Al-Zarqani, Muhammad ‘Abd al-Azim, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ul­m al-Qur’an, Beirut : Dar al-Fikr, Juz 1.

 

Anis, Ibrahim, dkk., 1972, al-Mu`jam al-Wasit, Mesir: Majma` al-Lughah al- Arabiyyah.

 

Ash-Shiddieqy, Hasbi, 1954, Kuliah Ibadah, Jakarta : Bulan Bintang.


 

 

 

Asy-Sarkhasi, Abu Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahl, 1382 H, Usul as- Sarkhasi, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Jilid I.

 

Asy-Syatibi, Al-Imam Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa, t.t., Al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam, t.t.p: Dar al-Fikr, Jilid IV.

 

Asy-Syaukani, 1349 H, Irsyad al-Fuhul, t.t.p.: Matba’ah Sabih.

 

Audah, Abdul Qadir, 1992, al-Tasyri` al-Jina`I al-Islami Muqaranan bi Al- Qanun Al-Wad`I, Beirut : Mu`assasah al-Risalah. Jilid !!

 

Az-Zuhaili, Wahbah. 1986a. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.

Jilid I. Cetakan Kelima Belas.

 

Az-Zuhaili, Wahbah. 1986b. Usul al-Fiqh al-Islami. Damaskus: Dar al-Fikr.

Jilid II.

 

Az-Zuhaili, Wahbah, 1989, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar al-Fikr, Darajat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf, jilid 2.

Dikbud, Dep, 1994, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka,

 

Ghazaly, Abd.Rahman, 2006, Fiqh Munakahat, Jakarta : Kencana.

Ghazali, Imam, dan A.Ma`ruf Asrori (eds), 2004, Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Surabaya: Diantama.

 

Hakim, Abdul Hamid, t.t. Al-Bayan, Jakarta :Bulan Bintang

 

Hamid, Abdul, Beni Ahmad Saebani, 2009, Fiqh Ibadah, Bandung:Pustaka Setia,

Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh I. Jakarta: Logos Wacana Ilmu. Hasaballah, Ali. t.t. Usul at-Tasyri’ al-Islami. Kairo: Dar al-Ma’arif. Ibn Manzur. t.t. Lisan al-Arab. Beirut: Dar as-Sadr. Jilid III.

Irfan, M. Nurul, Masyrofah, 2013, Fiqh Jinayah, Jakarta : Amzah.


 

 

 

Khallaf, Abdul Wahab. 1968. Ilm Usul al-Fiqh. t.t.p.: Ad-Dar al-Kuwaitiyyah.

Cetakan Kedua.

 

Ma`luf, Louis, 1986, al-Munjid fi al-Lughat wa al-A`lam, Beirut : Dar al- Masyriq Mathba`ah Katolikiyah,

 

Mughniyah, Muhammad Jawad ,1996, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lintera,

 

Mukhtar, Kamal, dkk. 1995a. Ushul Fiqh I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.

 

Mukhtar, Kamal, dkk. 1995b. Ushul Fiqh II. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Munawwir, A.W., 1997, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,

Surabaya : Pustaka Progressif, cet. 14.

 

Nasution, Zakaria, t.t., Dasar-dasar Agama Islam,t.tp.

 

Qasim, M.Rizal, 2009, Pengalaman fikih, Solo : PT. Tiga Serangkai Mandiri. Rahman, Asjmuni A. 1986. Qaidah-Qaidah Fiqih. Jakarta: Bulan Bintang.

RI, Depag, 1984/ 1985, Ilmu Fiqh, Jakarta : Dirjen Bimbaga Islam. Rifa`I, moh, 1978, Fiqih Islam, Semarang : PT.Karya Toha Putra

 

Rida, Muhammad Rasyid. t.t. Tafsir Al-Qur`an Al-Hakim Al-Masyhur bi Tafsir Al-Manar. Lebanon: Dar Al-Ma’rifah. Jilid II.

 

Rasjid,  Sulaiman,  2015,     Fiqih Islam, Bandung : Sinar Baru Algensindo Offset, cet. 70

 

Rofiq, Ahmad, 2001, Fiqh Mawaris, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

 

Rusyd, Ibnu, t.t., Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut : Dar al-Fikr.

 

Sabiq, Sayyid, 1995, Fiqih Sunnah, Beirut : Dar al-Fikr, jilid I,

 

Salih, Muhammad Adib. 1984. Tafsir an-Nusus fi al-Fiqh al-Islami. Beirut: Al- Maktab al-Islami. Jilid I.

 

Shihab, M. Quraish. 1994. Membumikan Al-Qur`an. Bandung: Mizan.


 

Sinaga, Ali Imran, 2011, Fikih II, Bandung: Citapustaka Media Perintis. Sudarko, 2008, Fiqih, Semarang : Aneka Ilmu,

 

Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.

 

Syalabi, Ahmad. 1984. Sejarah Pembinaan Hukum Islam, terj. Abdullah Badjirei, Jakarta: Jaya Murni.

Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqh I, Jakarta : Logos Wacana Ilmu, cet. 1. Syukur, M. Asywadie. 1990. Pengantar Ilmu Fikih dan Ushul Fikih. Surabaya:

P.T. Bina Ilmu.

 

Tim Penyusun Text Book. 1981. Pengantar Ilmu Fiqh. Jakarta: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN Pusat.

 

Walindayani, 2012, Perkawinan Beda Agama, ed. Pagar Hasibuan, Fikih Perbandingan, Dalam Masalah-masalah Aktual, Bandung : Cita Pustaka Media Perintis.

 

Wer, Hans. 1980. A Dictionary of Modern Written Arabic: Arabic-English.

London: Macdonald & Evans Ltd. Cetakan Ketiga.

 

Ya`la, Abu, 1983, al-Ahkam al-Sultaniyyah, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.

 

Zahrah, Muhammad Abu. t.t. (a) Malik Hayatuh wa ‘Asruh-`Ara`uh wa Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.

 

Zahrah, Muhammad Abu. t.t. (b) Ibn Hazam: Hayatuh wa’Asruh- `Ara`uh wa Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.

 

Zahrah, Muhammad Abu. 1952. (c) Abu Hanifah: Hayatuh wa ‘Asruh- `Ara`uh wa Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby. Cetakan kedua.

 

Zahrah, Muhammad Abu. t.t. (d) Al-Imam Zaid: Hayatuh wa ‘Asruh-`Ara`uh wa Fiqhuh. Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby.


 

 

 

Zahrah, Muhammad Abu. t.t. (e) Ibn Taimiyyah: Hayatuh wa ‘Asruh-`Ara`uh wa Fiqhuh. t.t.p.: t.p.

 

Zainuddin,Djedjen, dan Mundzier Suparta, 2008, Pendidikan Agama Islam Fikih, Semarang: Toha Putra.

YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi

  YASPEND Ar-Ridha Peringati Tahun Baru Islam dengan Zikir, Tausiyah, dan Penyerahan Anugerah Bintang Prestasi Langkat, 27 Juni 2025 — Yay...